*
Erlina memejamkan matanya. Untuk kesekian kalinya ia membayangkan tangannya menyentuh jari-jemari seseorang. Badannya ia dorong mendekat ke sepasang pundak, bersandar lebih rendah dari gapaian angin. Mulai ia susun kata-katanya seirama dengan sebait lagu. Di bawah kanopi daun rambat yang dipenuhi bulir-bulir hujan, ia mendekap orang yang mungkin akan mencintainya juga.
Perempuan ini tahu betul bagaimana rasanya mengungkapkan kebencian pada seseorang. Ia hapal semua langgam yang mencitrakan rangkai ketidaksenangan dan pandang rendah yang membuatnya jemawa.
"Aku tidak akan menyanyi apapun di depan orang seperti dia. Tidak. Tidak. Sher, kamu tahu sendiri aku punya banyak hal penting untuk dipikirkan ketimbang orang seperti..."
"Bayu?" sergap si teman itu. Sheron sudah lima tahun menjalin pertemanan dengan Erlina, dan menurutnya ia kadung paham apa yang diinginkan, dan yang dibutuhkan perempuan karibnya ini. Sedikit banyak ia bisa menebak berdasarkan pengalamannya sendiri.
"Jangan sebut namanya," balas Erlina sewot.
"Kenapa? Apakah karena kamu membencinya, kamu jadi tidak sudi menyebut namanya? Bukankah kamu berani dengan siapa saja?"
Selama sejam terakhir dua sahabat ini menjalari langkah mereka melewati dua pusat perbelanjaan sebelum akhirnya terdampar di sebuah tempat duduk tembok di dekat jajaran pedagang asongan. Tak ada tas belanja ataupun bungkus es krim.
Ini sebetulnya tempat favorit Sheron sepulang kuliah, tapi Erlina pun akhirnya tidak pungkir kalau dirinya suka suasana seperti ini. Ia tak perlu berpikir angin dan keriuhan bisik acak ini akan menyimaknya. Tenang dan tak banyak bicara. Perbincangan mereka mengalir dalam ruang rahasia yang menghangatkan.
"Aku berani terutama pada orang-orang yang nampak salah di mataku." Erlina membalas.