Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Koloni (bagian 6-habis)

30 November 2013   18:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:29 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* (Sebelumnya....)

“Apa? Dalang?” Enam orang di ruangan itu serempak bertanya dengan nada sedikit berteriak. Tentu saja, kecuali Taryadi dan seorang lainnya.

“Benar,” ujar lelaki bernama Adam itu, santai, terarah. “Kita mulai lagi dari hipotesis bahwa Paulinus memengaruhi kondisi kejiwaan dan pikiran Supardi dengan obat perangsang halusinasi. Obat ini jarang kita dengar namanya tapi tidak banyak yang tahu efeknya: nitro oksida. Bisa jadi dicampur  beberapa bahan lain, tapi cairan penghasil gas ini sebetulnya mudah ditemukan di beberapa tempat. Bentuknya cari sehingga tempat penyimpanan yang paling masuk akal adalah kemasan saset atau jerigen, yang pasti terbuat dari plastik. Tahun 1993 setelah melakukan pemberian nitrooksida dengan sengaja yang membuat korban Supardi mengalami halusinasi yang luar biasa, Paulinus menghilangkan jejak semua barang bukti dengan menyingkirkan kemasan-kemasan obat itu. Sayangnya, ia lupa bahwa bahan plastik sulit terdegradasi di tanah bahkan setelah dikubur selama sembilan belas tahun. Saat akhirnya Taryadi dipekerjakan untuk merapikan pekarangan perpustakaan KATALOGIS pertama kali, ia menemukan jerigen-jerigen itu dengan cara apa, Pak Taryadi?”

Orang tua itu kini pasrah, ia tertunduk. Mungkin takut digedor senjata. “Saya tidak sengaja ketemukan waktu menggali lubang untuk pondasi bata merah taman, Pak.”

“Digali, tepat sekali. Ketika Taryadi menggali itulah, sekitar magrib tanggal 4 Juni, Paulinus menyadari kesalahan masa lalunya. Ini yang lalu jadi pemantik mengapa orang itu menghampir Anda dan sampai pertengkaran terjadi. Mungkin Taryadi kalap juga waktu itu kenapa Paulinus begitu kasar memarahinya cuma karena galian, mungkin juga karena memang kesal dengan perlakuan tidak profesional majikan yang tidak membayar gaji berkebunnya selama beberapa bulan. Nah, kemudian terjadilah kelalaian yang menyebabkan kematian itu. Yang menarik adalah, bukti-bukti pamungkas dari Pak Zain, Eno dan kawan-kawan kepolisian malah mengungkap tidak hanya bahwa Taryadilah yang paling bertanggung jawab terhadap matinya Pak Paulinus, tapi juga bahwa ada seseorang lagi yang diam-diam merencanakan pembunuhan terhadap saudara Paulinus Petor.

“Saudara Angga…,” Adam menunjuk muka. Hal itu membuat pemuda dua puluh enam itu menggeleng keras dengan ketakutan.

“Bukan saya orangnya, Pak. Bukan….”

“Memang bukan,” ujar Adam tersenyum, membuat pemuda itu lega. “Sebulan terakhir, kalau tidak salah, tepat tanggal em… dua puluh tiga Mei. Anda ingat seseorang telah datang ke tempat Anda bekerja dan membeli suatu alat, sebentuk tabung erlemenier atau gelas kimia?”

“Ada banyak pembeli datang dan pergi selama sebulan terakhir, Pak. Saya tidak bisa ingat semuanya.”

“Baiklah. Kalau begitu, maukah Anda mengonfirmasi bahwa struk beli ini berasal dari perusahaan tempat Anda bekerja?” Adam maju, mengeluarkan secarik kertas dan memperlihatkannya kepada kasir berseragam itu. Pemuda itu mengangguk, dan Adam puas.

“Nah. Pada tanggal 23 Mei terdapat transaksi yang sejak awal jadi pertanyaan besar buat saya dalam mengikuti kasus ini. Mendengar hasil pemeriksaan semua saksi, termasuk yang di Bulukumba, Pak Zain…” Adam melirik ke arah petinggi polisi yang menunjukkan raut terheran itu. “Saya menyimpulkan bahwa kasus terbunuhnya Paulinus sebetulnya merupakan rencana pembunuhan yang berantakan.”

Semua polisi di ruangan itu terdiam dan menyimak, sementara Robi, Angga dan pemilik kos Atne mulai tidak sabar mendengar akhir cerita ini.

“Sebuah alat, dibeli di toko alat-alat kesehatan, kemudian digunakan untuk menganalisa zat yang digunakan untuk melukai kejiwaan Letnan Kolonel Supardi, sembilan belas tahun lalu. Alat itu, kini sudah ada pada kami, dan begini penjelasannya: Jadi pada dasarnya Pak Taryadi di sini hanya menjalankan tugas dari seseorang yang menyuruhnya melakukan pekerjaan tambahan selain berkebun di rumah Pak Paulinus. Seseorang ini, membayar Taryadi untuk menemukan bukti-bukti yang mengarah pada kasus terserangnya Letkol Supardi pada 1993 oleh cairan gas saraf. Setelah akhirnya Taryadi menemukan jerigen-jerigen plastik untuk kesekian kalinya di halaman itu, semua barang itu kemudian dibawa sampelnya --mungkin satu atau dua-- untuk diserahkan kepada seseorang yang melakukan pengamatan dan analisis akademiknya sendiri. Seseorang ini akan melakukan pembuktian sendiri bahwa Paulinus yang melakukan penyerangan kimia waktu itu, untuk kemudian mungkin, melancarkan dendam kesumat yang sudah bertahun-tahun dipendam. Sekarang, Bu Atne, tolong maju.”

Pemilik kos itu maju setelah merapikan baju dasternya, melangkah hati-hati kemudian menghadap ke semua saksi. Segurat senyum terangkat di wajahnya. Belum pernah ia tampil dan dianggap sebagai pahlawan di depan orang-orang seperti ini.

“Saya ingin tanya, tolong dijawab serius dan jujur. Saya seminggu terakhir mengunjungi indekos ibu kan?”

“Betul, Pak.”

“Nah, Anda yang membantu saya menemukan struk ini?”

“Betul, Pak.”

“Di mana kita menemukannya?”

“Di tempat sampah, Pak. Tepatnya, tempat sampah di depan kamar kos, di dekatnya. Tidak tersapu.”

“Untungnya tidak tersapu!”

Mendengar pertanyaan pengalih perhatian yang bertele-tele begitu, Paulina geram. “Tolong selesaikan saja!”

Ada lagi-lagi tersenyum, ia sudah paham apa yang akan dikatakannya. “Bu Atne…,” tanyanya lagi. “Mau katakan sekarang, kamar siapa yang paling dekat dengan tempat kita menemukan struk belanjaan ini?”

Sang pemilik kos Atne itu, dengan senyum tapi gemetar, mengangkat tangannya dan menunjuk hidung seseorang di antara saksi. Seseorang yang, dengan gelagapnya, kemudian gemetaran dan berkeringat. Adam tersenyum puas, begitu pula dengan semua polisi di ruangan itu. Pengungkapan kasus hampir benar-benar selesai.

“Saudara Baso, Andalah otak kasus ini.”

Mahasiswa dua puluh satu tahun itu tak kuasa mengelak. Bahkan setelah dilirik dengan ketakutan oleh Taryadi, ia tidak berani mengangkat wajahnya. Ia tak bisa ke mana-mana lagi.

“Bu Paulina. Di mana Anda pada sekitar jam sepuluh malam sebelum kematian korban?”

“Di warung dekat rumah, Pak. Saya beli beras dan beberapa perlengkapan.”

“Baiklah. Menurut pengakuan saudara Baso, ia berpapasan dengan Anda malam itu, tapi Anda tidak menyadari dan menyapanya.”

“Oh, sebenarnya saya juga sadar waktu itu, Pak. Cuma saya memang tidak menyapa.”

Dasar sombong!” Pemuda bernama Baso itu berbisik kepada dirinya sendiri, mengumpulkan berlapis-lapis kegeraman yang menggeletukkan gigi-giginya dan membuat urat di semua lapisan kepalanya berkontraksi.

Adam menyilangkan lengannya di depan dada. “Baso anak kimia. Entah dia sengaja sejak awal masuk jurusan itu untuk melakukan kejahatan ini atau tidak, kita belum tahu. Yang jelas, tabung kimia yang saya simpan sebagai barang bukti ini ditemukan di kamarnya beserta struk-struk pembelian  beberapa alat lain selama dua bulan terakhir. Alat itu dipakai untuk menguji kandungan nitro oksida yang membuat Letkol Supardi meninggal sembilan belas tahun lalu. Satu-satunya pertanyaan adalah, mengapa Anda repot-repot mau membalaskan dendam kejahatan kemanusiaan di masa lampau padahal Anda tidak ada hubungannya?”

“Siapa bilang tidak ada hubungannya dengan saya….”

Kalimat yang baru saja dikatakan oleh Baso lantas membuat semua orang di ruangan itu diam, tak terkecuali Adam dan Zain yang saling pandang dengan puas. Penyelidikan mengarah ke posisi yang benar. Pemuda itu mulai mendapatkan ruangnya di kursi dengan lebih leluasa, karena baik Paulina, Robi teman tetangga kamarnya, dan Angga sudah menyingkir dan mengambil sisi lain ruangan itu. Praktis, di kursi kayu panjang yang kini pesakitan itu tinggal duduk berdua Baso, dan Taryadi. Dua pelaku kejahatan yang mungkin merasa dirinya cuma sedang berada di waktu dan tempat yang tidak tepat.

“Waktu saya tiga tahun, kedua orang tua saya meninggal akibat penyakit aneh. Menderita dalam keadaan yatim piatu, ada seorang Ibu paruh baya yang mau berbaik hati mengangkat saya sebagai anaknya. Meski kami tidak ada hubungan darah sama sekali, ibu ini, yang mengaku sudah lama merindukan memiliki seorang anak, memperlakukan saya dengan sangat baik, seperti anak kandungnya sendiri. Dia membelikan saya fasilitas, membiayai sekolah saya sampai sekarang. Belakangan saya ketahui bahwa ibu baru saya ini pernah punya seorang suami, tapi kini suaminya itu hilang. Yang saya tidak ketahui sampai beberapa tahun belakangan ini ialah, bahwa suami ibu saya itu sebetulnya masih hidup, cuma berada dalam keadaan gila yang menyedihkan. Mantan tentara itu ditempatkan di Rumah Sakit Jiwa Pakem selama belasan tahun tanpa ada orang yang tahu siapa dia dan apa latar belakangnya. Tidak ada jengukan dari korps tentara, tidak dari keluarga-keluarganya. Cuma ibu saya yang sesekali mengunjunginya secara diam-diam. Dia perempuan yang tidak mau mengungkit masa lalu dengan menyalahkan siapa-siapa terkait kematian suaminya. Tapi saya, yang telah mendengar semua itu, akhirnya mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi pada letkol Supardi sampai akhirnya menjadi gila begitu. Berharap barang-barang bukti kejahatan di masa lalu masih bisa dipakai untuk mengadili seseorang yang bernapas bebas setelah membunuh banyak orang di masa lalu. Kemudian dengan inisiatif sendiri saya menggali informasi sejarah tentang kejadian antara tahun delapan puluhan, kemudian saya ketahuilah aksi penembakan misterius sekitar waktu-waktu itu, yang menyebut-nyebut nama beberapa teman ayah angkat saya. Dari merekalah saya mendapatkan kejelasan soal kemungkinan siapa yang melakukan kejahatan memalukan itu, dan mengapa mereka membuat ayah saya gila.”

Semua orang di ruangan itu mendengar dengan hikmat. Atne pun sampai meneteskan air mata, sementara Paulina diam saja dengan pandangan nanar ke lantai.

“Saya beberapa kali mengunjungi galeri sejarah LOURDES di Sleman, tempat yang Pak Eno dan temannya ini juga pernah datangi suatu malam beberapa hari yang lalu. Saya membuntuti Anda dan mulai berpikir bahwa cepat atau lambat kematian Paulinus akan terbongkar. Saya baru saja ingin menghentikan aksi Taryadi menggali jerigen sebagaimana yang saya suruhkan padanya malam itu, berpapasan dengan bu Paulina di dekat warung, kemudian menuju perpustakaan. Akan tetapi semuanya terlambat. Taryadi memberitahukan saya bahwa jerigen-jerigen itu tinggal sedikit dan mungkin ia akan timbun kembali agar tidak ketahuan. Kemudian terjadi kecelakaan yang membunuh Pak Paulinus. Saya terkejut. Apalah, seharusnya saya sendiri yang membunuh orang itu! Kejam! Tidak berperasaan, menanggalkan gelar pastornya setelah kejahatan kemanusiaan yang terencanda seperti itu! Dia yang sebenarny setan!”

Adam menggeleng seirama dengan tarikan napas tidak percaya oleh Eno yang memecah keheningan beberapa saat.

“Harusnya saya yang membalas rasa sakit yang dirasakan ayah angkat saya, dan Paulinus harus mati di tangan saya ini. Tapi apa yang…. Ya Allah, ampuni saya….”

Pemuda itu sesengukan di telapak tangannya sendiri. Merasa iba, induk semangnya mendekat kemudian memberi sentuhan penenang kepada Baso, membuat anak itu justru menangis sejadi-jadinya. Semua orang di ruangan itu menikmati keheningan yang menggugah ini sebelum akhirnya deham keras membuyarkan renungan mereka. Zain ikut berdiri dari kursinya kemudian berkata,

“Akhirnya semua telah terungkap. Taryadi, Anda dikenakan pasal penganiayaan yang menyebabkan kematian seseorang, kelalaian. Sementara saudara Baso, saya minta Anda berdiri sebentar.”

Pemuda itu gontai berdiri dari bangkunya, mengusap matanya dalam-dalam, dan meminta maaf berkali-kali dengan bisikan yang masih menyisakan penyesalan dendam tidak kesampaian.

“Seseorang ingin bertemu dengan Anda,” ujar Zain dengan bijaksana. Sejurus kemudian, dari luar ruangan itu terdengar mobil seperti baru saja berhenti dan ditarik tuas rem tangannya. Pintu terbuka dan tertutup, sementara semua orang di ruangan investigasi itu menantikan bunyi langkah sepatu yang mendekat dengan lemah tapi mendekat ke tempat mereka. Tak lama kemudian, sesosok perempuan tua berbaju kemeja semiblus dan rok selutut menutupi kaki-kaki keriputnya, masuk ke ruangan itu dengan anggukan anggun yang penuh hormat. Setelah akhirnya Baso melihat siapa yang datang, ia berjalan menangis, kemudian memeluk perempuan itu.

“Maafkan saya, Bu.” Anak itu merengek seperti anak kecil di pelukan ibu angkatnya. Perempuan paruh baya itu, memberikan isyarat mata kepada semua orang di situ, pertanda terima kasih dan permohonan maaf yang berlapis dengan sendirinya. Eno mendekat ke arah Adam kemudian ikut menyilangkan dua tangannya di depan dada.

“Yang seperti ini tidak setiap hari kamu lihat,” katanya.

**

Eno menikmati teh panasnya ketika terlibat percakapan ringan dengan teman investigatornya di sebuah kafe terbuka di Sleman, sore.

"Jadi sebenarnya, apa hubungan buku-buku yang kita temukan di LOURDES dengan terungkapnya kasus ini?" tanyanya.

Adam lalu mengeluarkan buku berjudul Koloni ke atas mejanya, membuka halaman tertentu yang menyelipkan beberapa foto dan keterangan yang dicoret dengan spidol tinta terang.

"Koloni adalah nama operasi pembantaian etnis dan kelompok aktivis tertentu yang terjadi tahun delapan puluhan, di mana militer yang di antaranya ada Pak Supardi ini terlibat. Buku ini terdiri dari dua jilid, akan tetapi yang kita temukan hanya satu jilidnya, yang belakangan diakui oleh Emir Ansyarullah telah ia gunakan sebagai bahan rujukan beberapa buku pengungkapannya. Nah, buku Koloni jilid dua menurut pengakuan penjaga galeri itu telah hilang sejak sebulan lalu. Tapi kemudian saya temukan di kamar Baso, bersamaan ketika mencari bukti-bukti pembelian alat-alat kimia itu."

Eno mengangguk paham. "Lalu, apa sih istimewanya buku ini, sampai-sampai menginspirasi rencana pembunuhan?"

"Sebenarnya biasa saja. Ini sejumlah fakta kekejaman militer pada orang sipil. Sebagai makhluk berperasaan, manusia mudah tergoda untuk melakukan sesuatu yang ia anggap benar, Eno. Tak terkecuali pembalasan dendam. Mungkin tersangka muda kita menganggap dendam masa lalunya memerlukan penjelasan teori dan daftar nama yang selanjutnya ia jadikan sasaran pembalasan dendam. Dan mungkin juga lainnya. Kau tahu sendiri, bagaimana media semacam buku dan internet bisa menginspirasi banyak orang untuk melakukan kebaikan, juga kejahatan. Entahlah, mungkin di benak Baso, saatnya ia melakukan sesuatu untuk melindungi koloni saat ini yang sudah bebas dari ancaman penembak misterius, dan menunjukkan ke orang-orang siapapun itu, melakukan sesuatu kejahatan di masa lalu, harus bertanggung jawab di masa sekarangnya."

"Luar biasa. Maksud aku, cara kita mengungkap kasus ini. Kukira kita juga ambil pelajaran untuk hidup kita masing-masing kan?"

"Kalau itu wajib."

**

AKBP Zain Abdullah, Eno, dan Adam memberikan tumpangan gratis kepada pemuda yang kini ditahan untuk investigasi selanjutnya itu. Baso tetap tidak bisa berkata apa-apa sejak penuntasan kasus itu tiga hari yang lalu. Setelah menjemput ibu angkatnya yang bersiap di arah selatan kota, rombongan dua mobil itu melaju ke arah utara tepatnya di Rumah Sakit Gangguan Jiwa Pakem, Sleman, empat belas kilometer dari pusat kota. Mereka diantar menyusuri koridor sampai akhirnya berbelok di lantai ketiga menemui seorang pasien yang sudah menunggu sekian lama.

Dari balik kisi berjeruji pintu besi itu, Baso merapalkan wajahnya. Di sampingnya ikut menemani, adalah ibu angkatnya yang setia. Sementara kedua polisi dan seorang sipil itu berdiri beberapa meter di belakang mereka bersama seorang petugas rumah sakit yang ikut terharu menyaksikan pemandangan ini. Baso menangis di depan pintu itu, melihat sosok laki-laki tua di dalam sana yang meringkuk, merapat ke dinding dari sebuah dipan besi tempatnya berdiam, dan melirik dengan pandangan kosong semua wajah yang terlihat dari lubang pintunya. Baso meminta maaf dan menggaruk-garuk pintu itu. Anak itu menyesal, tapi ia sadar tak bisa mengembalikan waktu sebagaimana kondisi lelaki tua yang dijenguknya itu.

Laki-laki tua itu oleh Baso dipanggil “ayah”, tapi dari dalam sana, tidak pernah ada balasan yang jelas, kecuali panggilan-panggilan menghujat bahwa sesuatu telah mengejar-ngejarnya. Laki-laki itu sesekali berteriak, “Setan, setan akan membunuhku!”

“Tidak, setan itu sudah tidak ada, Pak,” kata Baso menangis pilu.

---------------------------------------------

Ilustrasi: convozine.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun