Hanya satu jam setelah menyaksikan program Wide Shot di MetroTV Selasa siang ini, saya tiba-tiba tertarik menulis opini soal bahasa lagi. Memang, media kita hari ini suka lupa soal bahasa, atau pura-pura lupa soal apa yang menjadi urat nadi produksi mereka untuk pemirsa.
Nah, di Wide Shot itu Sumi Yang, satu dari dua pembawa acara cantik harian di program itu menyeletuk soal laporan segmen jurnalisme warga. Katanya, di Malang ada mi setan, dan tampillah tayangan itu. Â Yang membuat saya tersenyum di depan televisi adalah karena Sumi berucap, "Berikut liputan jurnalis warga, LANGSUNG dari Malang."
Mendengar kata langsung saya berpikir mungkin tayangannya LIVE sebagaimana dipahami untuk kebanyakan istilah langsung yang dipakai televisi. Nyatanya, segmen laporan warga soal mi setan di Malang itu --sebagaimana sajian segmen tersebut selama ini-- adalah hasil rekaman yang bahkan melewati proses penyuntingan, pemolesan yang menarik. Tidak ada tayangan langsung.
Nah, kata langsung yang diceletukkan oleh Sumi mungkin akan sedikit menjebak pemirsa, kesannya. Secara normal, penonton mengafiliasi dengan dugaan logis bahwa tayangan langsung  dari tempat kejadian saat mendengar kata langsung dari ....
Tapi rupanya pengucapan kata ini menjadi lebih riuh karena makna "langsung" yang dimaksud bisa berarti hal lain. Langsung menurut Sumi rupanya, adalah direkam langsung dari restoran Mi Setan yang berada di Malang itu, dan disiarkan dari Jakarta untuk pemirsa.
Kelangsungan yang menjadi konteks bahasa televisi bercabang: satu untuk tayangan langsung dalam pengertian waktu nyata/sedang terjadi (real-time report) dan satunya lagi  untuk tayangan rekaman yang bisa disebut langsung, karena direkam di tempat terjadinya sebuah berita.
Berbeda dengan mekanisme teknis delay yang sering terjadi dari tayangan langsung. Antara satu stasiun televisi dengan stasiun televisi yang lainnya sering terpaut 1 hingga 3 detik untuk satu tayangan yang sama. Ini sering dijumpai setiap kali SBY menyiarkan pidatonya. Meski mengambil dari satu relai yang sama, dua televisi bisa menyiarkannya dengan tundaan waktu yang berbeda-beda. Itulah mengapa kalau kita memindahkan saluran pidato SBY, seringkali terdengar kalimat yang seolah-olah diulang, padahal terlambat. Nah, tapi kan tetap saja itu siaran langsung. Yang dibahas di sini jauh berbeda, konteks kelangsungan bisa juga diartikan "sebetulnya tidak langsung."
Ini bukan pertama kalinya. Hal lebih menarik (dan sepertinya fatal) terjadi saat Eddie Baskoro Yudhoyono alias Ibas menggelar jumpa pers untuk mengumumkan pengunduran dirinya dari keanggotaan DPR 14 Februari lalu. Waktu itu, saya persis di depan televisi dan menyadari hanya 2 stasiun televisi yang menyiarkan jumpa pers itu secara langsung (live), yakni Metro TV dan Kompas TV.
Nah TV One, sebagai pesaing berat di percaturan pemberitaan politik, rupanya terlambat menyambungkan laporan jurnalis mereka di Lantai 9 Gedung DPR itu dengan studio, sehingga terlambat menyiarkan Ibas. Jumpa Pers itu baru ditayangkan hampir 1 jam setelah acara nyatanya selesai.
Anehnya, ada titel LIVE di sudut atas layar, persis di bawah logo merah putih itu. Dugaan saya, teknisi pemberitaan TV One sedang khilaf atau terlalu sering mengampu tayangan langsung sehingga. Mereka luput menyadari kalau Ibas yang bercuap-cuap dengan anggunya di depan wartawan dan Ketua Fraksi Demokrat sore itu bukanlah tayangan langsung melainkan rekaman yang dikirim beberapa menit setelah acara kelar. Kalau saya tidak sendiri menyadari keanehan tayangan TV One sore itu, mungkin banyak pemirsa akan senyam-senyum melihat layar.
Ada kesan keluguan oleh stasiun televisi untuk menggunakan kata langsung. Ada kegamangan teknis yang dialami oleh para reporter dan pembaca berita untuk mengarahkan pemirsanya ke sebuah tempat atau hasil rekaman, kemudian mengatakan "langsung dari ...".