Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Inklusi

8 Januari 2014   17:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:01 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

“Coba gunakan satu menitmu untuk berpikir….”

“Apa maksudmu?”

“Berpikir. Satu menit. Kebanyakan orang mengisi pikirannya dengan hal-hal yang sebetulnya tidak ingin mereka pikirkan. Atau, tidak mau memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Sekarang lihat, coba pikirkan. Menurutmu apa yang membuatku begitu yakin kita bisa menerima Drajat?”

Di seberang meja, laki-laki ini, berambut kemerahan dengan mulutnya berdecak-decak, kembali membaca proposal itu ketiga kalinya. Pertemuan mereka di pendopo angkringan Taman Budaya Yogyakarta nyaris batal karena laki-laki ini berpikir itu akan sia-sia saja. Matanya berkedip cepat, mungkin kesakitan. Laki-laki ini mengenakan kacamata yang langsung ia gunakan menatap langit yang menghujaninya dengan gerimis tipis.

“Aku belum bisa mengerti tujuanmu, Wilya.”

Selama dua bulan terakhir Wilya Darajatun mengawal sebuah proposal tanpa menyadari hal besar yang akan terjadi di masa depan. Setiap sabtu atau minggu sore ia sempatkan mengunjungi Balai Besar Batik di Semaki guna meminta referensi lanjutan atas seseorang bernama Drajat Suhyadi.  Balai ini bertanggung jawab memberikan penilaian tahap akhir kepada Dinas Sosial bagi individu-individu yang dinilai layak menjalani proses tahapan sosial yang baru. Proposal itu diberi judul INKLUSI. Dan dari semua orang yang menjadi subjek penelitiannya bertahun-tahun soal psikologi anak berkebutuhan khusus, Wilya justru memperjuangkan seorang laki-laki yang sudah dewasa.

“Demi Tuhan, dia menderita Sindroma Peter Pan.”

Eternal Fuer, aku paham, Grace. Cuma, aku merasa kita masih bisa membantunya. Ini aneh sebetulnya, karena aku merasa ia bisa berkembang baik, justru ketika kita menempatkannya di antara anak-anak. Terima kasih sudah membawanya kemari.”

Rekan Wilya yang terlibat percakapan singkat itu hanya menggeleng. Persahabatannya dengan Wilya yang sudah melampaui hubungan rekan kerja di Yayasan Inteleksia tidak menghentikannya menghargai setiap kejutan yang terlontar dari mulut sahabatnya itu. Meski ia sendiri selalu yakin bahwa solusi penyembuhan orang dengan perilaku sindroma Peter Pan hanya bisa dengan cara melibatkan mereka dalam aktivitas orang dewasa, Grace coba pahami cara berpikir Wilya. Maka ia melepas sahabatnya itu ke ruang keterampilan.

Pintu ditutup dari dalam. Wilya berdiri sejenak, memandangi cahaya yang dipantulkan pepohonan di luar jendela, merapikan susunan kertas resume dan pulpen yang merapat di genggamannya. Ia berdeham, kemudian setelah melempar senyum setulus mungkin, ia menyapa laki-laki bungkuk yang duduk di ranjang.

“Rubik.  Aku juga suka main itu,” ujar Wilya membuka perbincangan. “Drajat suka warna apa dari rubik ini?”

Sapaan itu tidak berbalas. Maka Wilya lekas-lekas mengganti topik dengan meminta izin kepada “tuan rumah” apakah ia boleh duduk. Ia lalu menarik kursi dan coba berkomunikasi kembali.

“Drajat…, bagaimana harimu? Teman-teman mainmu asyik?”

Kembali percakapan belum bersambut. Pasien itu hanya memutar-mutar warna rubik tanpa jelas arahnya ke bentuk seperti apa. Yang dipanggil Drajat terus tertunduk, sesekali merapikan kerah baju yang menjuntai longgar sampai ke pundaknya, menggoyang-goyangkan kaki yang menggantung, sesekali mengeluarkan suara serak dari kerongkongannya tanpa artikulasi kata yang jelas. Jelas sesuatu telah mengganggu pikirannya.

“Dengar, Drajat. Aku ada ide. Bagaimana kalau besok Drajat main di sini? Sama teman-teman Darius, Yoyok, ada Abel, bisa dengan semuanya. Drajat mau?”

“…”

“Drajat bisa main apa saja di sini. Piano ada, main tali atau bola karet di ruang sebelah juga boleh, bareng Kak Grace. Atau berkebun bareng Kak Hikma. Oh! Atau Drajat boleh membawa lukisan batiknya kemari, ajari teman-teman lain melukis batik. Mau?”

Tiba-tiba pasien itu menangis. Ia sesengukan meski jelas sekali bahwa sebenarnya ia ingin menyembunyikan tangisannya. Rubik jatuh memantul ke lantai. Kaki-kaki itu berhenti bergoyang, dan dua tangan menutupi wajah. Wilya mendekat dan memegangi kepala pasiennya, membuat satu-dua orang yang melihat dari luar melalui celah kaca pintu terheran-heran dengan adegan itu. Grace terdiam di koridor, menahan tangannya yang nyaris mendorong pintu. Ia lalu memperlihatkan tulisan di pintu pertanda eksaminasi dalam proses, berharap orang-orang yang berada di situ paham apa yang sebenarnya terjadi. Sentuhan tangan di kepala seorang dewasa bisa diterjemahkan macam-macam, tapi ia berharap orang-orang memahami proses ini.

Setelah jeda panjang dengan napas terengah-engah, pasien itu akhirnya berbicara. Dari bawah pantatnya ia keluarkan sebuah kertas lusuh, penuh warna cokelat dengan latar putih. Motif-motif simetris itu menampilkan bunga dan burung dalam posisi lekat yang beraturan. Truntum dan Sidomukti serupa motif batik yang seperti disatukan dalam penciptaan imajinasi gaya baru. Melihat itu, Wilya iba. Hatinya tersayat, tangannya belum terlepas.

“Siapa yang melakukan ini pada Drajat?”

Wilya menarik kertas, melihat tiga-empat coretan tinta cair merah yang menyilang tidak beraturan di atas lukisan motif itu. Kemudian melihat suatu tulisan tertentu di baliknya. Corak indah yang tersayat-sayat. Jelas coretam merah itu seperti membelah banyak cita keindahan yang selama ini bermain-main di dalam bayang pikiran Drajat, pikir Wilya. Ia melihat wajah sedih pasien itu, coba menghiburnya –yang nampaknya sia-sia saja. Baju kaus kendor itu basah karena air mata, ingus, dan air liur. Tak tahan melihat situasi seperti itu, Wilya memanggil-manggil Grace yang dengan segera bergabung dengannya di ruang eksaminasi, membuka jendela dan membiarkan angin sore yang segar masuk. Pasien ditenangkan, diberi air minum segar, dan kemudian mulai tenang. Saat Grace berbalik badan, Wilya sudah tidak ada di sana.

Sepatu dengan hak tiga sentimeter itu berdetak-detak membelah kesunyian koridor berlantai ubin semen. Temponya makin cepat seiring jaraknya makin ke dalam. Lampu-lampu di beberapa bagian lantai dua kantor Dinas Sosial Yogyakarta baru saja dinyalakan, dan petugas satpam baru saja berganti orang sambil menyiapkan makan malam. Di parkiran tinggal tersisa tiga mobil: satu sedan hatchback milik Wilya, satunya ukuran medium berplat Wakil Kepala, dan sebuah mobil sport hijau tahun 1999 dengan empat ban besar yang menarik perhatian. Kunci mobil ketiga itu baru saja diambil dari sebuah sudut meja berlapis kaca di ruangan bertuliskan Perlindungan dan Rehabilitasi. Adnan mengulet sambil menguap, melompat-lompat kecil sekadar merenggangkan otot, lalu mengenakan jaketnya sebelum berjalan ke arah pintu. Akan tetapi baru saja ia ingin kembali ke mejanya untuk mematikan musik dan komputer, ia mendengar namanya dipanggil dengan nada keras.

“Kau tidak seharusnya melakukan itu.” Di dekat pintu, Wilya, dengan tangan terkepal, masih mengenakan pakaian kerjanya, menatap dengan mata penuh amarah.

“Wilya, tumben kau kemari. Silakan masuk.”

“Tidak perlu.” Wilya mengejutkan Adnan yang nampak kebingungan. “Tega sekali kau hadiahi seorang dengan jiwa kanak-kanak dengan penilaian tegas yang menyakitkan seperti itu. Kau tahu orang itu mengalami sindroma yang tidak semua orang alami, dan kau dengan seenaknya menyakiti hati dan pikirannya dengan cara picik seperti itu.”

“Wilya, tenang dulu. Siapa yang kau maksudkan dengan ‘orang itu’?”

“Aku berbicara tentang Drajat!” Wilya membentak. Adnan yang terkejut, coba menenangkan wanita itu dengan mengangkat kedua telapak tangannya, memberi isyarat bahwa bagaimanapun dia tidak akan melawan dengan nada tinggi, atau kekerasan. Lagi-lagi ia sodorkan kursi agar mereka bisa membicarakan ini sambil duduk, tapi Wilya malah mendekat cepat dan dengan kasar mengarahkan telunjuknya tepat ke hidung laki-laki itu.

“Jangan hanya karena kalian di Dinsos sudah lelah mengatasi kelainan seperti itu, tidak ada solusi jelas, malah memberi penilaian spontan terhadap kreativitas seseorang. Oh, atau jangan-jangan kalian tidak ada dana untuk mengakui kemampuan anak-anak? Takut akan bangkrut jikalau membuat program lanjutan yang mengakomodasi kemampuan tertentu seseorang dengan kebutuhan khusus? Drajat, Adnan, adalah satu-satunya orang dengan kelainan perilaku yang bisa menciptakan motif batik yang belum pernah ada sebelumnya. SEMAKI mengakui kemampuannya dalam cipta batik sebagai ‘tak tertandingi’. Kenapa kalian di Dinsos mau cuci tangan dan menganggap ini semua sebagai kelainan jiwa?”

“Wou… wou….” Adnan berkilah. “Kau berbicara tentang motif yang digarap orang bernama Drajat ini.” Ia menggeleng. “Sejujurnya, sebagian dari analisismu benar, Wilya. Kami masih kekurangan dana pengembangan kemampuan. Tapi…, aku belum melihat arah dari gerakanmu selama ini menuju ke tempat yang benar. Maksudku, kau seorang psikiater, membuka klinik sukarelawan, mengurus yayasan pengembangan anak, dan seorang ibu dari seorang anak laki-laki yang sedang tumbuh gemilang. Aku khawatir kau salah mengartikan INKLUSI sebagai bagian penanganan sosial, ceroboh mengira bahwa penyertaan orang-orang berkebutuhan khusus ke dalam sebuah lingkungan belajar anak-anak normal punya kebaikan komprehensif. Aku pun belum bisa melihat hubungan profesionalitasmu dengan menguru seorang laki-laki bernama Drajat. Aku … aku khawatir…kau salah menafsirkan penyakit orang dewasa dan mencemari kehidupan anak-anak yang tumbuh normal. Program inklusi yang artinya peleburan ‘orang-orang ajaib’ ke lingkungan biasa tidak selalu berujung baik. Maksudku, Drajat bukan anak-anak.”

“Dia mengalami sindroma ini…”

“Dan tetap saja dia seorang laki-laki berumur tiga puluh lima!” Adnan balas membentak. Ruangan itu sejenak hening, menyisakan serak-serak audio yang tak lagi memutar lagu-lagu, dan denting-denting kunci di tangan Adnan. Setelah mengatur emosi, menyadari keterkejutan di wajah Wilya, Adnan meminta maaf. “Kau tak bisa memaksakan ini, Wilya. Biar bagaimanapun, aku tidak bisa melihatmu menyentuh laki-laki lain.”

“Ya Tuhan, Adnan…. Kau selalu mengaitkan segala hal dengan kehidupanmu.” Wilya akhirnya melemaskan dirinya terjatuh di kursi. Matanya berkaca-kaca. Ia seka keningnya dengan telapak tangan, berdeham satu kali, kemudian mengambil tasnya dari meja.

Bayangan Wilya hilang ditelan kegelapan koridor. Bunyi detak-detak sepatunya menjauh. Saat akhirnya terdengar bunyi mobil menjauh tenggelam ke jalanan, Adnan yang melihat dari balik jendela masih bertanya-tanya, apa  yang ada di pikiran istrinya.

Peter Pan Syndrome disebut juga eternal fuer adalah bentuk kelainan perilaku (meski belum diakui secara resmi sebagai gejala gangguan psikologis) orang dewasa yang merasa, dan bertingkah seakan-akan ia masih anak-anak.

--------------------------------------------

Ilustrasi: recoveringgrace.org.

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun