Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Amplop untuk Dimyati

9 Januari 2014   12:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Langkah kaki itu terhenti di sebuah jalan setapak berdebu, tepat di bawah gapura bambu bertuliskan Dusun Wukirsari. Sepeda motor ditinggal jauh di tepi sawah, takut kalau-kalau bunyinya yang mendentum pecah melanggar aturan kampung. Meski angin laut berhembus, siang panas menyingkirkan banyak orang dari jalan-jalan, menyisakan sepeda motor pembawa rumput yang sesekali melintas, juga tiga-empat anak-anak bersepeda roda tiga. Langkah itu melaju makin ke dalam, sampai akhirnya tiba di sebuah rumah yang nampaknya sedang jadi tempat para perempuan berkumpul. Bercengkerama menebar gosip-gosip murah.

Minggu Maulud, dan pertemuan demi pertemuan menyiapkan segala kebutuhan akhirnya tunai. Di saat para laki menggarap kebun atau tertidur di kantor kelurahan, para perempuan tak kehabisan energi untuk saling sua. Kue-kue sampai nasi bungkus disasar dari jauh-jauh hari. Ritus agama yang telah menjelma jadi alat tukar sosial.

Pemuda itu mendekat, mengutarakan niat-maksud kedatangannya, kemudian menyebut sebuah nama. Akan tetapi ia lantas merasa heran, merasa dibodohi ataukah mungkin salah alamat. “Tidak mungkin salah,” batinnya cepat-cepat meralat. Tapi kelompok perempuan itu sepakat, saling pandang dan tukar pendapat. Simpulannya tetap sama: tidak ada yang namanya Dimyati di dusun ini.

Bulan September waktu itu, ketika Pandu mendapatkan tugas liputan berita kisah yang membuatnya seakan terbang dari kursinya. Belum pernah ada tugas ke Sleman sebelumnya, dan menurutnya ini keajaiban. Meski ia mengaku kerasan di Semarang dan masih terutang banyak tempat untuk dilaporkan, tidak ada yang membuat batinnya leih bersemangat selain mengangkat kehidupan sosial di Sleman. Kota kabupaten yang dianggapnya surga kearifan lokal –separuh alasannya karena ia baru bisa berputar-putar di pulau Jawa saja, menerka-nerka se-adiluhung apa kearifan lokal di pulau besar lainnya. Kemudian ia janji menuntaskan tugas mudah itu. Sampai suatu detik, air mukanya luntur separuh. Alisnya terangkat dan pikirannya agak tergelitik. Penyelianya yang juga asisten redaktur memberi “tugas tambahan” yang kedengarannya manusiawi. Parwoto –asisten redaktur itu, menjanjikannya bonus separuh gaji.

“Aku minta tolong, karena kamu peliput yang menonjol menggali fakta sosial. Menurutku, kamu yang bisa membantuku dalam hal ini.”

Pandu tersipu sejenak, kemudian balik heran lagi. Tugas apa gerangan yang ditambahkan untuknya? Dan kalau bisa, dan tidak harus melakukan sesuatu yang haram, ia akan lakukan. Parwoto mengangguk paham, menyaksikan kebaikan hati bawahannya. Sebuah amplop kemudian dikeluarkan dari laci, lampu tambahan dinyalakan menyorot meja. Pandu mengintip, tapi Parwoto cukup baik untuk sedikit menjelaskannya.

“Karena kamu akan ke Sleman, aku sekalian minta tolong untuk sampaikan surat ini, dan salam dari saya, untuk seseorang di Berbah. Itu di Sleman bagian selatan. Kamu bisa tempuh melalui bandara, atau Prambanan ke arah selatan. Sampai ketemu dusun Wukirsari, tempatnya di tengah-tengah persawahan persis di kaki bukit. Di sana kamu akan ketemu dengan seseorang bernama Dimyati….”

Pandu minta izin menyela dengan mengangkat telunjuknya. “Maaf, Pak. Bisa dijelaskan pelan-pelan? Maksudku, alamatnya kan sudah ada di amplop. Selebihnya, tugas saya apa? Cuma… menemui orang bernama Dimyati ini, terus kasih surat ini kepadanya, begitu?”

“Kurang lebih… Ya.”

“Ada petunjuk khusus? Kalau-kalau alamatnya pindah atau…. Nama lengkapnya siapa, orang ini, Pak?”

“Dimyati. Orang-orang memanggilnya begitu. Kamu tanya saja. Saya kira semua orang di dusun mengenalinya. Dan oh, Pandu.” Asisten redaktur itu menggeser kursinya sampai hampir merapat ke kursi bawahannya, menepuk pundak Pandu agar ia bisa berbisik. “Paket ini, dari saya dan Pak Ohm. Bilang saja begitu, sekalian. Dia pasti ngerti.”

Pandu berpikir sejenak. Dipandanginya amplop coklat berisi setebal wafer seukuran buku kecil itu, direkatkan tiga biji stapler di ujungnya. Ia berpikir untuk apa bahkan pemimpin redaksi tempatnya bekerja mengirim amplop pribadi untuk seorang perempuan. Paket itu mesti sesuatu yang penting, mungkin suvenir atau pesanan. Hanya saja Pandu tak ingin menggali lebih dalam urusan atasannya. Tidak banyak tanya aneh-aneh dan tersenyum saja. Parwoto mengangguk puas sambil berterima kasih, menambahkan bahwa kalau bisa, amplop itu sudah harus sampai sebelum Senin pekan depan. Hari ini Selasa, berarti waktu bagi peliput itu hanya enam hari.

Kembali ke bawah gapura dusun, Pandu sejenak menikmati riak air dari saluran irigasi. Bunyi-bunyian itu seperti pernah terbang jauh, dan kini ia merasakan kembali masa-masa kecilnya. Bau sawah begitu khas, ditambah derit-derit rantai dan besi berkarat dari kayuhan sepeda pembawa cangkul yang dikendarai seorang laki-laki tua. Pandu mengangguk, menikmati keheningan, sambil terus berpikir bagaimana ia mengantarkan amplop untuk seseorang yang kebenaran identitasnya saja ia tidak bisa pastikan. Sudah pasti alamatnya benar, dan hal ini yang terus-terus mengganggu pikirannya. Keheningan itu kemudian sirna. Siren mendesak-desak terdengar dari beberapa petak jauhnya, sampai dekat dan makin dekat. Pandu melihat ke arah dua mobil kepolisian resor Sleman yang baru saja melewatinya dan menembus gapura. Tiga atau enam petugas berseragam berlalu tanpa suara. Naluri pencari berita sontak membubung sampai kepala. Kartu pengenal kembali dikalungkan.

Wartawan selalu bisa menggali, dan Pandu tidak juga merasa menang. Malah, pikirannya semakin terganggu, melihat keterangan saksi yang bertele-tele kepada polisi. Ada ibu-ibu tua, petani, mengaku tidak tahu dan tidak pernah mendengar hal itu. Seorang pemuda tanggung juga sama, mengaku di daftar rukun tetangga tidak ada nama Dimyati. Pandu lalu bertanya kepada polisi, apa gerangan yang membawa nama itu sampai sohor belakangan ini. Kapten polisi itu membusung dada. Lampu kedip kamera seperti menyeka keringatnya.

“Tiga hari yang lalu,” ujar kapten. “… ditemukan mayat perempuan di pinggiran Kali Code.”

Kalimat pertama itu langsung mengganggu pikiran Pandu, sampai-sampai tangannya agak turun dari mulut kapten. Tapi rasa penasaran mengalahkan kegusarannya, saatnya membuka fakta. Setelah meminta maaf ia mempersilakan polisi itu melanjutkan kalimatnya.

“Baiklah, baiknya kami utarakan di sini saja. Siapa tahu ada keluarga yang bisa bantu identifikasi. Usia korban sekitar tiga puluh satu, tingginya sekitar seratus enam puluh lima, kulit sawo matang cenderung putih. Wajahnya bulat tapi tidak gemuk. Korban mengenakan rok tipis berwarna hijau laut, atasan putih lengan panjang. Ada gelang di tangan kanan dan kaki kiri. Kami masih yakin ada yang mengenali nama ini di sini.”

“Tanda pengenal korban?”

“KTP,” ujar kapten itu. “… atas nama… Dimyati binti Hasim. Alamatnya di dusun Wukirsari RT nol tiga RW enam satu, Kelurahan Prambanan, Kecamatan Berbah, Sleman. Pak Tua, benar bapak tidak tahu?” tiba-tiba polisi itu, di tengah rekaman, menarik lengan seorang laki-laki tua ringkih, yang lantas menggeleng keras dan berusaha menjauh.

“Sebetulnya, kami merasa ada yang aneh dengan dusun ini….” Belum juga ia menjelaskan apa maksudnya dengan pernyataan itu, kapten polisi sudah buru-buru meminta rekaman dihentikan dan kembali ke timnya. Terlihat kemudian satu-dua rekannya berbisik sambil melihat ke arah wartawan, membuat yakin kapten itu bahwa informasi sebesar apapun, kalau belum ada kepastian, baiknya tidak disebarkan dulu. Melihat adegan menggelikan itu Pandu hanya mengangguk. Tanda terima kasih mestinya cukup, mesti pertanyaan tidak juga terjawab.

Kecuali satu jawaban. Dimyati yang disebut-sebut itu, adalah seorang yang sudah mati, mungkin sedang dibedah tim forensik Rumah Sakit Sardjito. Tapi seperti kabut yang tiba-tiba menutupi kepalanya dan gang-gang di dusun itu, pertanyaan tentang tidak ditemukannya nama Dimyati di dusun yang sesuai alamat tanda pengenalnya ini, menjadi sesuatu yang menakutkan. Pandu lalu keluar dari dusun itu dan bermaksud bertanya ke dusun lain. Biasanya pejabat rukun warga punya jalur informasinya sendiri.

Tapi belum juga setengah jalan ia membelah kampung itu, ia dikejutkan dengan sebuah teriakan yang datangnya dari dalam sebuah rumah kecil di sudut kanan jalan. Jaraknya seratus atau dua ratus meter di luar gapura.

“Akhirnya dia mati! Mati! Memang seharusnya begitu!”

Pandu terheran. Ia lalu mendekat ke arah halaman rumah, sampai akhirnya menangkap pandang seorang laki-laki paruh baya melongo-longo dari balik pintu rumahnya. Tersembunyi di belakang warung kelontong. “Biarkan saja, Mas. Biarkan saja!” teriak laki-laki itu lagi. “Sudah seharusnya perempuan itu mati. Orang-orang Wukirsari tidak ada yang mau mengakuinya. Memang tidak ada. Siapa yang mau mengakui seorang PSK di dusun yang religius begini?”

Pandu terperanjat di tempatnya berdiri. Angin mengangkat debu yang ia hisap sampai ke paru-parunya. Tangannya lemas, kata-katanya tak bisa keluar. Pikirannya saja yang seperti remuk, menebak arti dari perjalanan singkatnya. Ia seperti kembali ke tempatnya duduk di depan Parwoto. Tepat saat ia bertanya-tanya, apa gerangan isi amplop itu.

---------------------------------

Ilustrasi:

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun