Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bakso "Babi" dan Bahasa Penilaian

13 Desember 2012   23:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:42 2025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1355440470326188750

[caption id="attachment_221653" align="aligncenter" width="446" caption="Kutipan laman hasil pencarian google dengan kata kunci "awas bakso daging babi", diakses 14/12/12 pukul 06.15 WIB."][/caption] Masalah beredarnya produk daging olahan bakso yang dioplos dengan daging babi seolah-olah menghembuskan penilaian kurang baik terhadap babi, daging babi atau orang yang mengonsumsi daging babi. Padahal, ihwal sebenarnya dari kasus "Daging Bakso Oplosan" ini tidak bertujuan ke sana. Tadi malam dalam sebuah acara kumpul santai saya bersama beberapa teman sempat membincangkan ramainya pemberitaan media yang memasang judul senada "Awas! Bakso Dioplos Daging Babi". Sekilas judul-judul yang dipakai banyak stasiun televisi dan laman koran itu (redaksinya variatif) tidak bermasalah, namun dari segi bahasa, ada kecenderungan judul-judul tersebut mendiskreditkan mereka yang mengonsumsi daging babi. Munculnya kata "Awas!" lengkap dengan tanda pentung mengisyaratkan peringatan, seruan menghindari, dan waspada terhadap bahaya. Tentu saja yang dimaksud adalah karena bakso dioplos dengan daging babi (celeng). Bagi pemirsa muslim atau Buddha pemakan non-daging ini tidak masalah. Tapi bagi masyarakat Kristen, Katolik, Hindu dan beragama lainnya, bisa saja ada kecenderungan generalisasi yang dilakukan media. Mereka yang tidak memiliki masalah dengan daging babi tentu tidak ingin ditujukan dengan kata "awas!" yang isyarat maknanya kental dengan "bahaya" atau "buruk". Apakah daging babi itu buruk? << Pertanyaan pertama. Munculnya judul-judul redaksi berita dengan kata seruan bahaya seperti itu seakan-akan kurang mempertimbangkan kemajemukan masyarakat kita, yang pada kenyataannya, sangat menerima perbedaan. Apakah berita "bakso oplosan" ini ditujukan hanya untuk pemirsa Muslim? << Pertanyaan kedua. Nah, untuk pertanyaan ini kiranya bisa langsung dijawab. Tidak. Tapi dengan penulisan judul berita yang masif dengan nyaris senada itu, apakah tidak ada kesan mengenyampingkan kelompok masyarakat konsumen daging babi? << Pertanyaan ketiga. Dalam gambar ilustrasi yang saya rekam di atas, hampir semua baris hasil pencarian Google untuk frasa "awas bakso daging babi" memunculkan berita dari laman ternama di banyak daerah. Hasil yang sama keluar untuk kata kunci "awas bakso babi" dan "awas bakso". Hasil variatif baru muncul pada kata kunci "bakso daging babi". Masifnya pemberitaan tentang bakso daging oplosan pada kenyataannya memengaruhi tidak hanya penilaian masyarakat jakarta khususnya Cipete terhadap bakso dagangan, akan tetapi daging babi itu sendiri. Konten berita terkait bakso oplosan daging babi ini tidak berimbang lantaran jarang sekali mengisyaratkan tujuan atau pangsa pemirsa. Padahal, berita daging oplosan babi sarat distrosi pandangan agamis atau kelompok spiritual tertenti yang diterima keberadaannya di Indonesia secara konstitusional dan sosial. Media dalam hal ini keliru karena telah berlebihan menyantumkan kata-kata peringatan yang seolah-olah menggiring opini publik bahwa daging babi itu buruk. Semalam dalam program Suara Anda Metro TV seorang penelepon dari Depok mengomentari berita dengan judul yang senada dengan beberapa tertulis di atas. Si penelepon menyatakan kekhawatirannya atas beredarnya bakso oplosan daging babi. Kemudian ia mengungkapkan jati dirinya yang mengaku haram mengonsumsi babi, dan mengaku semestinya tidak ada bakso oplosan daging babi yang dijual. Menyadari mungkin penelepon tersebut keliru memberikan pandangan, pembawa acara Fessy Alwi lekas menyela dengan mengatakan, "Tapi ini intinya pada kasus penipuannya, Bu. Bukan daging babinya." (pertanyaan 1 terjawab). Kecermatan Fessy Alwi untuk merespon opini publik yang kadung terbentuk oleh stasiun televisi tempatnya tampil cukup melegakan. Paling tidak, masih ada media yang menyadarkan bahwa berita-berita terkait SARA seperti ini sangat berpotensi distorsi penilaian sosial dan konteks keberagaman bisa terganggu. Bahasa Penilaian Ada bahasa-bahasa yang jika digunakan akan langsung membentuk opini publik ke arah negatif. Sebaliknya tentu saja ada juga yang langsung mengarah positif. Fenomena tua yang dalam istilah analis bahasa Samsudin Berlian disebut "nasib kata" menilai beberapa kata yang nasibnya terbentuk jelek dalam waktu yang lama hanya karena media terlalu sering mengulangnya. Ingat kata-kata dan frasa-frasa berikut? PSSI dan KPSI, seronok, Mafia, makelar, celeng, babi, oplosan, gerombolan, nikah siri. Kata-kata di atas punya makna positif dan netral, tetapi dalam pemahaman sosial kekinian lebih cenderung dimaknai dengan situasi atau kondisi yang negatif. Kata mafia selama satu abad terakhir dikerdilkan maknanya menjadi perkumpulan yang merencanakan dan melakukan pencapaian keuntungan dengan kejahatan. Pemaknaan sama kemudian disadur ke dalam banyak kamus, termasuk KBBI. Padahal, mafia dalam pengertian awalnya menurut Cambridge Advanced Learner's Dictionary adalah sekelompok orang yang terlibat dalam kegiatan yang sama dan saling menguntungkan. Perjalanan sejarah mengubah wajah kata mafia menjadi penjahatkarena memang pada kenyataannya banyak kejahatan besar terungkap didalangi oleh sekelompok orang. Nasib sama terjadi untuk kata makelar dan nikah siri. Seronok lebih "sial" lagi karena kadung diartiken jelek (vulgar, tidak etis, terbuka, dsb.) dan melenceng dari arti aslinya yang menarik, elok. Lantas, apakah PSSI dan KPSI akan berpotensi dimaknai sebagai perseturuan dua mafia? Kasus daging oplosan dan bakso daging babi sejatinya tidak berpotensi pengerdilan sudut penilaian bahasa kalau media tidak latah menjadi berapi-api dalam menebak anggapan publik. Hingga saat ini tentu masih banyak orang muslim dan nonmuslim yang berpikiran jernih bahwa meskipun bakso dioplos daging babi, kalau diperdagangkan secara terbuka dan jujur pasti tidak menjadi masalah. Bukan bakso daging babinya yang bermasalah, melainkan penipuannya. Fessy Alwi sudah bekerja dengan baik dalam hal ini, stasiun TV lain atau laman-laman berita lain harus berpikiran sama. Bahasa penilaian sering kali penuh muslihat. Kejernihan pikiran diperlukan jika kita tidak mau terjebak dalam penggiringan opini yang luput menilai secara berimbang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun