Seda mengangguk dan membalas bahwa hal itu bukanlah masalah berarti. Sebagai jurnalis muda dan seorang junior yang berguru pada orang yang lebih berpengalaman, ia menyadari perannya dan apapun yang dihadapinya. Sebuah penghormatan pertemanan sudah cukup baginya sebagai pegangan untuk terus meniti pada jalan kebenaran yang sama dengan kemarin, sama dengan hari esok.
"Kita punya kesamaan yang penting, Seda. Kau pembelajar yang ingin mencoba semuanya, aku juga. Meski usia kita tak lagi muda dan aku beberapa tahun lebih berpengalaman daripada kau, tapi aku merasa visi kita sama soal banyak hal. Misi-misi kecil kita yang berbeda, bahkan perbincangan-perbincangan kita yang ringan di sela-sela minum kopi adalah pelajaran untuk banyak hal dan kejadian. Aku bahkan menulisnya di beberapa bagian Versa. Agar nanti siapapun yang membacanya kalau buku itu diterbitkan oleh siapapun, pesannya sampai. Mungkin memang sampai di sini kita pelajari hal penting. Bahwa di banyak pelajaran sejak peradaban-peradaban terdahulu, adalah isi tulisannya yang lebih mudah diingat daripada siapa yang menulisnya. Kutipan bertengger selama berabad-abad sampai laman internet, kita kopi ke banyak buku dan media sosial tanpa perlu cari tahu siapa yang pertama kali menuturkannya. Suatu saat, jawaban yang dicari akan muncul tanpa diminta. Siklus yang penting buat pembelajar."
Seda termangu mendengar kisah perenungan itu. Kibalu tak pernah bicara seperti ini sebelumnya, tapi ia menikmatinya. Paling tidak, sebagian besar yang dijelaskan barusan sejalan dengan yang pernah dibacanya di buku-buku filsuf dan orang-orang yang memanggil dirinya motivator.
Kibalu terkekeh. "Maaf kalau aku mendadak melankolis begini. Laki-laki tak boleh terlalu terbawa perasaan."
Naskah Nota Kosong akhirnya terkirim ke redaksi melalui Kibalu. Seda meninggalkan kantor itu dengan perasaan sumringah. Ia mengangkat dua tangannya ke udara dengan senyum terangkat dan rasa puas berlipat-lipat. Mungkin ini awal karir barunya sebagai pengarang, meski ia tak menyanggah pekerjaan jurnalis dan hobi memotret tak akan pudar dalam kesehariannya.
Tapi tiga minggu setelah hari itu, Seda menyadari sebuah siklus yang tidak menyenangkan.
**
Hari-hari berlalu seperti biasa, dan angin Agustus mulai terasa tidak enak.
Sebuah undangan surat yang disusul pesan singkat membawa Seda pada sebuah kursi besi di depan sebuah rumah makan siang yang rindang. Pohon-pohon bambu kuning khas penghias pagar berjajar dan menarik perhatian banyak orang untuk mampir dan mengisi perut serta mengembalikan kesegaran pikiran mereka setelah empat jam bekerja sejak pagi.
Lonceng berbunyi dan Seda menyadari bahwa beberapa meter dari tempat itu ada sebuah gereja. Ia menikmati lantunan irama beraturan itu sampai akhirnya kantuk menderanya.
Tiba-tiba sebuah pesan singkat membangunkannya saat pelayan perempuan muda dengan langkah ragu belum menjangkaunya untuk tagihan jelang restoran tutup. Seda menyodorkan beberapa lembar uang dan dengan setengah sadar membaca pesan di layar ponselnya. Pesan yang membawa kesadarannya pada kepenuhan ingatan jangka pendek, dan kekhawatiran yang memuncak sampai kepala.
Mazel Tov. Aku menghormatimu sebagai seorang pejuang. Tapi kurasa kau akan mengerti mengapa Versa bisa terjadi pada siapapun. Maaf, Seda. Tapi aku tidak akan lari seperi Emar. Kau bisa memenjarakanku kapanpun kau mau.