Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Typo

27 November 2012   07:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:36 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

SABTU bukan hari yang sepenuhnya menyenangkan bagi Seda ketika sedang di Yogyakarta. Di akhir pekan saat tugas lapangannya diambil alih oleh dua reporter magang yang bersemangat, ia justru merasa kosong. Ia menetap di indekos, meluruskan dua kakinya ke lengan kursi sambil menutup lembaran terakhir buku misteri jurnalistik Shattered Glass.

Setelah menenggak habis kopi pahit ia lanjut mengecap baca berita pagi soal meninggalnya seorang pengamat intelijen. Abdul Gofur, mantan deputi menteri pertahanan ditemukan meninggal dunia di ruang kerjanya dengan mulut berbusa. Bacaannya masih sampai paragraf kelima saat tiba-tiba ponselnya berdering menerima panggilan dari Hamdan, wakil pemimpin redaksi tempatnya bekerja. Seorang narasumber mendadak minta wawancara soal buku terbarunya yang mengulas harta karun arkeologi di Gunung Sindoro.

“Di mana alamatnya? Baiklah, saya berangkat.”

Koran dijatuhkan ke meja dengan berita utama bercetak besar: “ORANG UTAN BERPULANG”.

Mendung menggantung dan angin gunung berhembus. Seda tiba di rumah seluas separuh halaman sepak bola di kawasan Pakem. Ia langsung disambut seorang perempuan muda berambut pendek dengan anting lingkaran besar di dua telinganya. Ruang tamu itu berlantai granit dengan tanaman bambu ramping di dua sudutnya, dan Seda merasa perlu merapatkan lengan agar kabut dingin sore tidak terlalu menyiksanya.

“Tiup lalu gosok dua telapak tangannya, Mas. Akan sedikit menghangatkan.” Nona rumah memberi saran singkat kepada wartawan itu lalu menyilakannya meneguk minuman hangat. Jamuan yang tak biasa jelang wawancara, pikir Seda. Tapi teh melati cukup membantunya menghalau beberapa kekhawatiran yang tidak perlu. Butuh satu menit untuk menyiapkan alat perekam, kamera dan alat tulis.

Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Wuri, meski Seda tahu nama lengkap yang diterimanya dari redaksi adalah Cintya Handoko. Seorang penulis yang baru menelurkan dua buku yang tak begitu laris karena jauh dari tema besar percintaan atau persahabatan. Orientasi literasi publik nampaknya belum berani keluar dari zona nyaman.

“Itu nama lengkap saya. Cintya Wuri Handoko.”

“O, saya pernah baca buku Anda tentang … kalau tidak salah judulnya … Lorem Ipsum?” Seda coba memasukkan dirinya ke dalam ruang bahasan yang sama. Hal ini ia anggap strategi umum untuk menarik minat narasumber terhadap topik-topik tertentu. Tapi sepertinya Wuri sedang ingin membahas masalah yang lain.

“Anda ingat topik wawancara yang saya ajukan untuk koran Anda?”

“O, iya. Maaf.”

“Tidak mengapa. Sebetulnya ….” Wuri membasahi bibirnya sambil mencoba menerangkan maksud yang sebenarnya. Hal itu membuat Seda curiga, ada sesuatu yang salah dengan kedatangannya di situ. Atau setidaknya, terjadi perubahan rencana. Topik wawancara soal Gunung Sindoro tidak lagi terlihat jejaknya.

“Maaf, Mas Seda. Saya memanggil Anda kemari, sebetulnya untuk maksud lain.”

Seda semakin tidak tenang dan mulai menggerak-gerakkan lututnya. Berada di rumah besar dengan hanya seorang wanita muda yang belum ia kenal secara pribadi bisa saja berujung pada banyak kejadian. Tapi lagi-lagi ia bisa menguasai dirinya dan tetap mencatat beberapa hal penting di buku kecil.

“Aku memintamu kemari bukan untuk wawancara, tapi aku butuh bantuanmu, Seda,” Kalimat penjelasan yang tiba-tiba berubah gaya dari yang sebelumnya formal, sontak menjadi isyarat penting yang ditangkap Seda dari wanita itu. Seakan-akan wanita itu sengaja membawa diri mereka berdua pada kasta sosial yang sama. Terjawab sudah di benak Seda mengapa sejak awal pertemuan wanita ini memperkenalkan dirinya dengan nama kecil alih-alih nama formal.

“Maaf … tugas saya kemari adalah …”

“Pamanku Abdul Gofur dibunuh.”

Seda terhentak dan coba menebak apa yang sedang dibicarakan oleh Wuri dengan bahasa tubuhnya yang begitu serius dan matanya yang penuh kekhawatiran. Wartawan itu menegakkan badannya kemudian menghela napas. Baru saja ia akan mengonfirmasi nama yang barusan didengarnya, wanita itu sudah langsung menjelaskan.

“Deputi alutsista Kemenhan. Kau pasti sudah baca beritanya pagi ini.”

Seda mengangkat alisnya kemudian tanpa sadar sudah mematikan alat perekam dan coba keluar dari situ.

“Saya belum baca berita itu. Maaf.” Seda berdusta semata-mata agar bisa segera keluar dari rumah itu. Ia merasa sudah membuang-buang waktu dengan pertemuan yang belum ada kejelasannya sama sekali.

“Pamanku coba mengirimkan pesan kematian.”

“Apa?” Seda sudah hampir berdiri saat akhirnya pantatnya merapat kembali ke bidang duduk sofa. “Dari mana kau tahu itu? Bukannya almarhum meninggal karena keracunan kola dan obat tidur?”

“Yang adalah tak biasa, bukan?”

Seda meraba-raba pikirannya. Apa yang dikatakan wanita ini ada benarnya. Malahan, mungkin adalah satu-satunya kecurigaan yang paling penting terkait kematian seorang profesor administrasi negara yang begitu mendadak dan berkaitan dengan banyak isu nasional.

“Paman bukan peminum soda, yang sepertinya belum disadari polisi. Mereka hanya berkonsentrasi pada kemungkinan ini adalah bunuh diri, tanpa melihat prospek lebih jauh kalau kematian paman mungkin berhubungan dengan sesuatu.”

“Sesuatu … seperti apa?”

Cintya lantas bangkit dari sofa untuk menuju ke bagian belakang rumah, menghilang dan kembali ke ruang tamu itu sekitar dua menit kemudian. Di tangannya ia bawa dua buku, satu di antaranya adalah Lorem Ipsum yang sempat mereka singgung di awal pembicaraan. Tapi, buku petualangan itu dikesampingkan dan Cintya justru membuka buku satunya yang terjilid kasar dengan kawat spiral. Bundel kertas yang jelas jumlahnya ratusan itu penuh tempelan di sana-sini.

“Ini adalah jurnal, kliping dan beberapa artikel urung termuat yang dibuat oleh paman dari tahun 2004 sampai 2007. Ini, buka halaman-halaman akhir.”

Seda menerima sodoran buku itu dan dengan rasa penasaran yang kadung mencuat dari selang-selang pikirannya. Di halaman-halaman terakhir sebagaimana diminta, ia melihat beberapa artikel karangan Abdul Gofur yang hampir semuanya membahas intelijen, pembenahan administrasi negara dan reformasi birokrasi. Sebagian besar artikel itu termuat di koran nasional pada kolom topik pilihan.

“Ini ….”

“Yang ditandai merah adalah artikel-artikel ditulis oleh atau memuat nama paman yang dianggap berpotensi bahaya. Di halaman kedua dari terakhir itu ada hubungannya dengan rahasia BIN yang sangat sensitif karena terkait skandal Balong Gate tahun 1999 juga Petrus sekitar 1995.”

“Kornel Pasaribu.”

Seda menyebut nama mantan kepala BIN yang mundur lantara skandal kekerasan yang mengakibatkan kematian tujuh saksi terorisme jaringan Aceh. Sementara yang disebut-sebut sebagai Petrus adalah operasi di bawah permukaan berupa penembakan jarak jauh ratusan warga sipil yang dianggap sebagai ancaman bagi rezim Suharto. Cintya mengangguk dan pikirannya mulai mendapatkan harapan.

“Ini adalah artikel yang memuat opini paman sebelum kematiannya. Aku minta tolong kau menganalisisnya. Aku curiga ini ada kaitannya dengan kematian beliau.”

Seda menarik sepotong berita koran yang judulnya “BIN Tertutup soal UU Keterbukaan”. Berita itu dibacanya dengan saksama dan coba mengaitkan  beberapa ingatannya soal isu ini. Ia memang bukan reporter politik, tapi isu satu itu kadung jadi konsumsi setiap orang bahkan yang tak menginginkannya. Perbincangan itu berlanjut lebih serius tanpa satupun pertanyaan soal buku baru.

“Ini sudah kubuatkan ringkasan bahan laporan soal buku baru yang pimred maksudkan. Kau tetap bisa membuat beritanya jadi eksklusif. Tapi tolong bantu aku untuk masalah yang satu ini.”

Seda meninggalkan rumah itu saat hujan berhenti dan matahari tak nampak lagi.

**

Rumah makan Ngudi Rejeki tak begitu ramai saat orang-orang malas menginjak aspal yang basah dan tanah yang becek di siang yang dingin. Dua orang tua yang nampaknya pasangan suami-istri, duduk persis di tengah ruangan berbincang dan mengangguk atas berita televisi. Mereka nampak berpendidikan cukup untuk mengerti polemik kematian seorang mantan deputi Kemenhan yang juga seorang dosen.

Sang suami menyebut-nyebut bahwa Abdul Gofur juga seorang pemilik media, fakta yang tak banyak diketahui orang. Majalah Propaganda yang terbit pada tahun 1973 akhirnya dibredel pemerintah Orde Baru hanya beberapa tahun sebelum Suharto meletakkan jabatan. Saat penjelasan singkat itu rampung tayangan televisi menayangkan seorang paruh baya yang menyampaikan belasungkawanya atas kematian Gofur. Perawakannya ringkih dan tengah kepalanya tak lagi berambut. Keterangan narasi menuliskan namanya sebagai Ruben Gullivan, seorang turunan Belanda yang adalah pengusaha media, disebut sebagai pendana berdirinya majalah FRASA dan juga AJI. Dengan kata lain, rekan lama Abdul Gofur. Kedua sahabat ini dikenal publik sebagai pasangan Wanawira, manusia hutan. Gofur sering dijuluki Orangutan sementara Gullivan disebut Lutung. Itu karena tulisan-tulisan mereka banyak mengkritik proses deforestasi yang menunjuk hidung beberapa menteri. Tidak mengherankan jika matanya berkaca-kaca saat menyampaikan keterangan bersama segenap wartawan senior. Istri tua itu mengiyakan dengan keterkejutan yang sama dengan seorang pemuda yang duduk dua baris bangku di belakang mereka.

Seda baru saja menutup komputer lipatnya dan rampung mengirim surat elektronik berisi laporan berita eksklusifnya tentang buku Sindoro. Ia tidak begitu memikirkan itu, melainkan perbincangan yang terdengar samar olehnya dari meja sepasang suami istri di tengah restoran. Ia memerhatikan dan kemudian tersenyum saat pasangan tua itu beranjak dan keluar. Tanda dua bintang di gantungan kunci bertanda khusus militer tentu bukan perkara mudah untuk dipegang orang biasa. Seda menyimpulkan bahwa bocoran informasi yang mengulik masa lalu Gofur tentu menarik.

Sementara itu, televisi sudah kembali menayangkan berita dan kali ini Kepala BIN Abidin Palagi melepas senyum ramah kepada wartawan saat jumpa pers. Menurut pihaknya, tuduhan pers bahwa intelijen berada di balik kematian Gofur tak beralasan.

“Kami beri kesempatan bagi kalian untuk mengulik, keterangan apapun akan kami berikan, tapi sejauh ini pihak kami tegas menyatakan bahwa intelijen akan ikut andil dalam menelisik kasus kematian ini, jika Kepolisian meminta.”

Nampaknya pers sudah mengendus ketidakberesan dalam kematian mantan deputi, dan itu pertanda baik, pikir Seda. Selama ini di benaknya intelijen adalah pihak yang paling rahasia yang justru, karena kekhususan itu, menjadi lebih berbahaya daripada penjahat yang terang-terangan mengancam dengan bom sekalipun. Ia hanya menggeleng payah sambil mengangkat potongan berita yang memuat opini Gofur, pemberian Wuri beberapa hari yang lalu. Seda mulai pikir-pikir karena wanita itu tak pernah menghubunginya lagi.

Pemuda itu mengerutkan keningnya melihat kelucuan-kelucuan yang membuatnya tersenyum-senyum sendiri di depan sepiring lele bakar. Saat tersenyum dan menggeleng itu pundaknya ditepuk dari belakang.

“Maaf aku telat.”

“Tidak apa-apa, Mas Bino. Silakan.”

Bino adalah rekan lama Seda. Pemuda bertubuh gemuk yang dua tahun lebih tua itu adalah fotografer amatir untuk beberapa model lokal. Orang-orang sepertinya bisa hidup begitu bebas dan menggantungkan permintaan perutnya pada tali kamera dan hasil jepretan. Bekerja sesuai keinginan hati, artinya baru dapat rezeki kalau sedang ingin bekerja. Bino bertanya apa gerangan yang dibaca Seda tapi rekannya itu buru-buru mengalihkan topik.

“Wah parah ini cewek-cewek sekarang. Semakin tidak jelas pesannya.” Bino mengeluh bukan karena piring makannya belum mendarat di atas meja, melainkan tampaknya dari keanehan di layar telepon genggam yang dipencetnya berkali-kali.

“Pesan apa?”

Typo. Mereka sering sekali begitu. Teknologi gagal mencerdaskan.”

Typo?” Seda bertanya tentang satu kata yang baru kali ini didengarnya. Ia mengira itu pasti berkaitan dengan sesuatu ketikan atau sejauh-jauhnya serupa alat pemutar kaset model baru.

Terkekeh menyadari kebelumtahuan rekannya, Bino langsung mengangkat layar ponsel di depan mata Seda, menunjukkan serentetan kata dalam pesan singkat.

“Banyak salah ketiknya.”

“Ya itu typo.” Bino langsung mengiyakan dengan penjelasan. “Istilah yang dipakai orang-orang desain grafis, sebagian lainnya asal pakai. Tak jelas awalnya. Media sosial, mungkin. Orang-orang kita konsumtif, kata yang belum jelas asalnya saja mereka pakai di mana-mana. Tak banyak yang berusaha cari tahu.” Rekan itu menggeleng sambil menyambut dua piring bebek goreng plus tahu penyet pesanannya. Mendengar penuturan singkat itu Seda ikut tertawa kecil. Pemahaman yang kiranya sama, meski ia sambil merenungi diri sendiri. Dua sahabat itu saling bertukar informasi hobi sampai bubar sekitar jam tiga sore.

**

Suhu udara yang memijak 24 derajat celcius di malam hari meninggalkan embun di setiap  kaca. Perempuan itu menutup aliran air hangat karena tiba-tiba mendengar bunyi mobil berhenti dengan cara yang tak biasa, membuatnya waspada. Cintya Wuri bangkit dan membalut tubuhnya dengan baju pengering badan. Perlahan-lahan menuju ruang tengah setelah menyambar pemukul bisbol dari bawah tangga.

Di keremangan jalan yang berkabut, peredam bunyi diputar merapat di ujung Berretta M9, pistol standar seukuran genggaman. Dua laki-laki itu saling angguk kemudian membuka pintu, meninggalkan lagu Cindai sendirian menguasai kabin kemudi.

**

Seda membiarkan televisi berbicara sendirian.

Ruangan kecil itu terus-terusan mengganggunya karena pikiran liar kadung menebak-nebak apa yang terjadi di malam kematian Abdul Gofur. Terlalu banyak pertanyaan, termasuk mengapa ia mau mengurusi hal ini. Ketidakjelasan alur pikir lantas mengganggunya, memaksanya membuat kopi kemudian kembali duduk dengan harapan perasaannya lebih tenang. Ia angkat lagi potongan berita koran kecil itu dan memeriksanya untuk kesekian kali. Firasatnya yakin ada sesuatu dari berita itu, dan ia menepuk jidat setelah sadar telat menyadari tanda-tanda. Segera ia menghubungi seseorang yang untungnya masih seorang rekan sesama jurnalis. Berita itu mengandung keanehan yang nyaris tak bisa dipercaya.

Abdul Gofur menyayangkan tata keloa manajerial di lingkungan Badan Intelijen Negara. Menurut pakar administrasi Negara UGM yang juga mantan deputi menteri pertahanan itu, BIN lalai dengan mengabaikan Undang-undang Keterbukaan Informasi publik yang disahkan pada 2001.

Di pihak lain, BIN mengaku sudah mengupayakan implementasi undang-undang KIP sebagaimana diinstruksikan presiden. Direktr urusan kemasyarakatan Joko Siswanto pada Mei lalu mengatakan bahwa transparansi inra intelijen saat ini sedang dibangun seiring proses demokrasi yang masih muda. Hubngan litas lembaga maupun keleluasaan bagi masyarakat untuk mengakses informasi pengelolaan kerja BIN akan dioptimalkan sesuai proram reformasi birokrasi yang disepakati.

Meski demikian, Gofur belum menyatakan rencana gugatannya lebih lanjut terhadap BIN, sambil menunggu proses pengobatannya selesai.

Setelah puas mendapatkan jawaban dari seberang telepon, Seda mencoret-coret potongan berita itu di atas meja, menandai beberapa kata aneh. Rampung menemukan kejutan, ia lantas memukul meja dan bergegas mengambil sepeda motor dan menyusuri jalan sambil beberapa kali melihat jam tangannya. Tak banyak waktu lagi.

**

Wuri merasakan dingin lantai menusuk telapak kakinya. Tak banyak cahaya menembus jendela kecuali dari arah lampu jalan yang pekat mengoranye. Ia terkejut karena dari arah gelap ruang tamu di bawah sana sesosok bayangan melintas, membuat tirai berayun lemas dari bingkai jendela. Ia merapatkan dua tangannya ke pegangan alat pemukul. Rumah itu seketika sunyi hingga bunyi napas pun terasa mengganggu.

**

Seda melihat jamnya kembali saat hujan turun perlahan dan jalanan menjadi licin. Ia menarik gas dan motor melaju lebih cepat dengan cara yang berisiko.

**

Kedua orang pembawa senjata itu berjalan menunduk. Mereka saling berkomunikasi dengan bisikan dari jarak yang tak begitu jauh. Taman rumput dilewati dan dalam sekejap mereka sudah bersandar di tangga sempit di depan pintu samping. Saat bunyi klik terdengar samar, mereka bergegas berlari ke arah pintu utama yang lampunya tiba-tiba padam.

Wuri mempercepat langkah kakinya menyusuri karpet kemudian keluar melewati pintu kecil di sisi timur rumah. Ia baru saja merasa yakin telah mengelabui dua orang asing itu ketika sontak memberontak dan mengayunkan pemukul. Mulutnya tersumpal dan badannya tertarik ke belakang. Tubuh itu meronta dan bunyi pemukul jatuh benar-benar menarik perhatian.

“Ssssshhh …!”

Wuri terkejut melihat Seda di depannya kini. Ia perlahan tenang meski situasi belum sepenuhnya terkendali.

“Di mana mereka?” Seda mengambil pemukul dari lantai kemudian berlalu ke dalam kegelapan. Wuri sempat ingin menahan tapi gerakan pemuda itu terlalu cepat. Perburuan sesungguhnya dimulai saat akhirnya kedua orang asing itu tiba di pintu samping yang kini terbuka. Salah satunya masuk dan langsung tertawa sinis memanggil rekannya.

Wuri kini berada di tengah ruangan dengan posisi duduk menyilangkan kaki. Gadis itu gemetar tapi berusaha mengendalikan diri. Di depannya kini berdiri dua laki-laki berjaket kulit dengan tiap-tiap kepala mereka dibungkus topeng kain. Dalam waktu kurang dari satu detik saat salah satu dari dua orang itu mengangkat pistol, tiba-tiba terdengar angin terbelah dan tangan itu terpukul hebat ke arah atas. Pistol melompat sampai memecahkan lampu putih bulat di langit-langit sebelum akhirnya mendarat di atas karpet dan memantul ke bawah meja. Kedua penerobos itu kini terbaring pingsan di lantai dengan rasa sakit luar biasa di tangan dan belakang kepala mereka. Wuri langsung menguasai pistol itu dan Seda mengarahkan ujung pemukul bisbol ke kepala dua penerobos yang kini mengerang kesakitan. Salah satunya bahkan sempat menerima pukulan ujung kayu lagi karena berusaha mengeluarkan pisau belati.

“Kalian disuruh siapa?” bentak Wuri sambil menodongkan pistol ke arah kepala keduanya bergantian.

Seda berusaha menenangkan gadis itu dan coba mengambil alih pembicaraan. “Mereka ini suruhan seseorang, yang aku khawatirkan, adalah teman dekat pamanmu.”

“Apa?”

“Sekarang telepon polisi. Biar aku yang mengawasi mereka. Ada hal penting yang harus kau tahu, Wuri. Kau benar, ini semua berkaitan dengan kematian Abdul Gofur.”

Polisi datang setengah jam kemudian dan dua pelaku penyerangan telah diamankan. Keesokan harinya, berita nasional sudah dibanjiri fakta konspirasi mencengangkan yang membuktikan bahwa Ruben Gullivan sebagai perencana di balik pembunuhan Abdul Gofur, rekannya yang sesama pendiri majalah FRASA. Meski motif di baliknya belum jelas, namun beberapa opini kuat menyebutkan bahwa beberapa dana rahasia yang diterima majalah itu berasal dari kalangan politikus korup, terancam dibongkar oleh Gofur. Orang tua itu ingin membongkar dosa-dosa masa lalu tempatnya bekerja, yang membuat Gullivan murka. Hal-hal lain dijadikan bukti seperti kandungan sianida dan serbuk mesiu di karpet kantor tempat korban ditemukan. Kedua pelaku penyerangan di kediaman Cintya Wuri Handoko pada akhirnya juga mengakui hal itu, dan para jurnalis kini memadati kantor BIN guna mendengar keterangan intelijen yang tetap dinilai luput melacak potensi penyerangan terhadap para mantan pejabat.

**

“Dari mana kau tahu mereka mengincarku?” tanya Wuri saat menunggu giliran menjadi saksi di Mapolda DIY. Di sampingnya di atas bangku kayu panjang itu, Seda melepaskan dua lengannya dari dada kemudian menggeser badannya lebih dekat. Secarik berita itu dikembalikan dengan banyak coretan tinta merah di sana-sini.

“Coretan-coretan ini?”

Typo.” Seda mengangguk kemudian menjelaskan apa yang diketahuinya.

“Perhatikan kata-kata yang dicetak tak sempurna itu. Keloa yang seharusnya kelola, direktr kurang huruf ‘u’, inra seharusnya intra, hubngan kurang huruf ‘u’, lintas kurang huruf ‘n’, dan proram harusnya program. Nah, kalau semua huruf yang hilang ditulis pada satu deret lurus, hasilnya …”

“L-U-T-U-N-G.” Wuri mengeja kata itu.

“Benar. Lutung adalah nama sandi yang disematkan untuk Ruben Gullivan, rekan masa lalunya di FRASA. Pamanmu memanfaatkan kecerdikan editorial untuk menyisipkan petunjuk dalam huruf-huruf yang hilang, yang dalam banyak kasus akan dianggap sebagai salah ketik biasa. Pada kenyataannya, berita itu adalah pesan kematian, yang … ditulis bukan oleh jurnalis seperti yang tertera di situ.

“Maksudmu?”

Seda mengawasi sekeliling sebelum menjawab lebih lanjut. “Setelah kutanya ke sumber terpercaya di media bersangkutan, berita ini ditulis oleh pamanmu sendiri, menitipkan naskahnya khusus kepada redaktur yang masih bisa ia percaya, dengan tujuan agar seseorang menemukan siapa yang mengancam nyawanya. Ia tak mungkin menuduh langsung rekannya sendiri atas kejahatan yang sensitif dan berpotensi menggegerkan politik dalam negeri.”

“Berarti … pamanku menulis berita ini sudah dari jauh hari?”

“Aku pikir begitu. Ancaman-ancaman pembunuhan pasti bukan pertama kali diterimanya, hingga akhirnya ia memutuskan menyelipkan kecurigaannya –yang mungkin waktu itu ia sendiri belum yakin- lewat artikel pesanan ini. Ia lantas menunggu sampai akhirnya Gullivan muncul sendiri di ruangan itu untuk mengantarkan kematian yang menyakitkan. Polisi pasti akan menemukan bukti-bukti.”

Wuri terdiam, tenggelam dalam keheningan pikirannya sendiri. Ia baru menyadari bahwa selama ini ia tak mengenal pamannya sedalam itu. Setidaknya, cara Abdul Gofur menitipkan pesan tak pernah ia pikirkan akan sampai secerdik ini. Jiwa yang berjalan damai saat kebenaran terungkap satu demi satu.

“Seda, boleh kuminta tolong satu hal lagi?”

“Tentu.”

**

Seda kembali bertugas meliput dan di waktu senggangnya ia membaca buku itu. Bisma di Sindoro karangan Cintya Handoko. Sesuai permintaan gadis itu, ia tak pernah membuat laporan rinci soal apa yang terjadi di malam penyerangan itu, atau semua isi pembicaraan mereka sejak pertama kali bertemu. Ia tak tahu ke mana gadis itu pergi, akan tetapi tanda tangan khusus itu tak pernah dilupakannya.

Kasus aliran dana rahasia ke FRASA tak pernah benar-benar terungkap, dan para politikus yang disebutkan namanya tetap menjabat sampai sekarang. Nama-nama mereka tersimpan rapi di dalam sebuah buku putih, terkunci di ruangan Kepala BIN.

*

Ilustrasi: i1.dripimg.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun