Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kata Sandi MOZÉ (8)

20 November 2012   14:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:00 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1353423953227918147

Penyelidikan bahkan masih di awal-awal.

Tapi kejadian baru sudah terjadi, mengaitkan misteri ke jaring yang lebih rumit.

(Sebelumnya ....)

Polisi dengan cepat memeriksa ruangan itu dan tidak menemukan petunjuk berarti. Apa yang dicuri dan apa yang dibiarkan tidak jelas sepenuhnya. Adam berkutat dengan pikirannya tanpa petunjuk sama sekali. Sementara tangannya sudah beberapa kali mengeluarkan ponsel yang tak kunjung berdering. Orang aneh itu bisa saja memilih diam untuk sementara dan melihat dari kejauhan, meski demikian pikiran Adam tak mau cepat-cepat menyimpulkan semuanya. Ia hanya ingin fokus pada apa yang ada di hadapannya dan kemungkinan-kemungkinan terbaik meminimalkan risiko pada keponakannya. Maka dalam waktu yang singkat itu ia menghubungi Eno untuk menjaga Mila sementara dirinya masih tetap di rumah itu menunggu petunjuk-petunjuk selanjutnya.

Puluhan orang yang memadati rumah tua itu sejak pagi mungkin tak sepenuhnya tahu apa yang terjadi di dalam bilik-bilik tanpa suara yang mulai diawasi karena suatu kejadian. Sementara tiga polisi dan seorang petugas INAFIS memeriksa tiap inci ruangan kepala dinas itu, penjaga rumah menghubungi majikannya untuk kesekian kalinya memberitahu kabar yang tak ingin didengar. Tragedi untuk keluarga ini sepertinya sejak awal memang tidak dirancang tunggal, maka adalah tugas pihak kepolisian yang bertanggung jawab mengembalikan kunci jawaban kepada para saksi atau kerabat yang bersangkutan. Hal seperti ini semata-mata agar setiap tragedi memunculkan alasan yang bisa diterima sebagai sebuah kejadian logis dengan selipat makna yang tersusun pada akhirnya nanti. Adam bersama seorang polisi lantas menerima kembali kedatangan Iskandar Hasan di pintu utama saat matahari sudah menghilang.

“Kukira Anda sudah mendengar berita terbaru.”

“Iya. Petugas INAFIS pasti sedang bekerja saat ini.”

Adam mengiyakan tebakan komisaris yang langsung mengambil posisi duduk menenangkan diri di ruang tamu itu. Pak Kim datang menyodorkan segelas teh hangat dan beberapa prajurit lalu lalang seperti sedang menarik perhatian tanpa alasan yang jelas.

“Maaf, kapten. Tapi saya harus bicara sesuatu dengan Anda.”

“Tentu.” Iskandar sigap mengiyakan permintaan Adam. Bagaimanapun orang ini sudah banyak membantu kepolisian walaupun ia sendiri tidak begitu senang wewenangnya diserobot saat ia tidak di tempat.

“Berdua saja bisa?”

Tapi permintaan itu membuat sang komisartis menarik badan sejenak, berpikir sambil menggosok dagu dengan tatapan curiga dan penuh pertanyaan yang seperti menjuntai keluar dari kedua lubang hidungnya, membelai dari ujung jari-jarinya. Belum pernah ada warga sipil yang meminta seperti itu pada jam-jam penyelidikan resmi. Selama tujuh belas tahun ia menjadi polisi, ia hanya menerima pembicaraan resmi dari balik meja atau laporan dengan hormat dari petugas lapangan. Pun ia tak pernah memberanikan diri menyeret komisaris berpangkat lebih tinggi pada sebuah pembicaraan yang privat. Seharusnya tak ada rahasia kepolisian yang dibicarakan melalu corong khusus dengan warga sipil. Saat pertukaran informasi secara rahasia ini terjadi, informasinya justru bukan rahasia lagi. Tak kunjung bisa menerka alasan Adam memintanya untuk sesuatu itu, ia  sudah merasa penasaran dan takluk dengan permainan mata yang begitu menariknya. Mesti ada sesuatu berharga yang bisa ia manfaatkan juga dari perbincangan itu nantinya.

Maka ikutlah Iskandar bersama Adam ke sebuah ruangan yang belum dimasukinya. Di luar pintu terdengar beberapa ketukan semata-mata karena mereka merasa dikuasai di kandang sendiri. Kim memerhatikan gerak-gerik petugas polisi yang nampak terlalu rajin menggerak-gerakkan senapan laras panjang mereka, sementara beberapa anak kecil yang menembus barikade dan menuju koridor gelap itu seperti tikus-tikus kecil yang mendengar semua suara lalu menyimpannya untuk para induk. Di dalam ruangan dengan karpet merah tua dengan kertas berserakan di atasnya itu, Adam duduk di kursi rendah, membiarkan Kapolsek Iskandar bingung dengan dirinya sendiri.

“Duduklah, kapten. Saya ada topik serius, alasan penting mengapa saya membutuhkan Anda di sini.”

Mereka duduk sama tinggi di sebuah sofa berkaki pendek yang langsung merapat ke jendela dengan tirai merah marunnya yang gelap menutup. Posisi ini memberi mereka ruang gerak sejauh dua meter dari meja kerja Kadisdikbud. Adam mengawali kalimatnya dengan anggukan seperti mengisi kata-kata di dalam kepala agar melewati saluran ke rongga mulut.

“Pak Iskandar, saya punya kekhawatiran yang menakutkan tentang kasus ini.”

Kapolsek itu bingung dan menggeleng beberapa kali. “Apa maksudmu?”

“Begini.”

Adam bangkit sejenak sambil memastikan kunci pintu telah terpasang sempurna. Orang-orang yang di luar pintu itu sempat terkejut dengan pegangan yang bergerak-gerak sebelum akhirnya kembali merapatkan telinga ke dinding saat tuas kuningan itu diam pada posisinya.

“Apakah panggilan telepon termasuk bukti yang bisa diterima?”

“Kalau kita mendapatkan rekamannya, bisa.”

“Nah, Pak Iskandar. Saya tak ingin mendahului kerja selidik kesatuan Anda, tapi dalam hal ini saya yakin bahwa kasus ini tak hanya berhenti pada kematian Mozé saja.”

“Maksudmu?”

Adam mengeluarkan ponselnya dan dengan beberapa pencetan tombol memperlihatkan data panggilan telepon dari orang yang ditandainya.

“Ini tidak membuktikan apapun,” ujar Kapolsek sambil mengembalikan ponsel itu.

“Iya memang saya belum sempat mengambil rekamannya. Tapi saya kira Anda bisa.”

“Untuk apa?” Kapolsek itu berdiri dari kursi dan mulai merasa ia telah membuang-buang waktu di dalam ruangan terkunci bersama petunjuk yang tak jelas artinya.

“Kita sedang berada di tengah penyelidikan yang tak kunjung berubah jadi penyidikan, Pak Adam. Dan sekarang ada kasus perusakan ini lagi. Maaf, tapi saya tidak punya waktu untuk banyak hal lain yang belum jelas maksudnya. Anda membuang-buang waktu saja.”

“Justru itu, Kapten. Satu-satunya jalan ke mana arah penyelidikan ini menembuh adalah petunjuk tunggal tentang siapa yang merencanakan semua ini dari awal. Penelepon ini, adalah pelaku potensial atas pembunuhan Mozé, teror terhadap saya dan keponakan saya, juga pelaku perusakan ruangan dan pencurian barang-barang dari ruangan ini. Tidakkah Anda curiga bahwa sejak awal kita tidak melihat siapapun yang bahkan menunjukkan tanda-tanda sebagai pelaku? Apakah Anda ingin pergi dari sini tanpa membawa satu namapun sebagai tersangka?”

“O, tunggu dulu, Pak Adam. Anda terlalu meremehkan saya.”

“Bukan begitu, tapi saya kira Anda sejauh ini belum bisa menarik kesimpulan tentang siapa yang sebenarnya pelaku atas kejahatan keji ini.”

“Tentu saja ada.”

“Apa?” Adam terkejut dengan jawaban yang sigap dan singkat itu. “Anda sudah tahu pelakunya?”

Iskandar merapatkan tangannya ke pinggang sambil meraba-raba bibirnya sendiri. Ia sendiri sebetulnya tidak yakin dengan perkiraannya. Tapi sebagai kapten ia adalah tumpuan harga diri kesatuan yang di mata awam dikenal sebagai satu-satunya harapan penuntasan sebuah kasus kriminal yang pelik dan terjadi terang-terangan di depan warga biasa. Di banyak kasus, jawaban apapun dari kepolisian ibarat titah raja yang tak bisa terbantahkan. Hal itu pulalah yang membuat Adam gusar menahun karena di banyak kasus justru jawaban kepolisian bisa saja berbanding terbalik dengan fakta yang ada. Proses investigasi sampai pleidoi kerap kali sarat penyiksaan dan persuasif secara negatif. Tersangka mengaku di bawah tekanan, dan polisi tak perlu repot-repot menelisik lebih dalam pada pelaku perencana. Menjala ikan-ikan kecil dan menyelamatkan ikan besar dengan dalih konservasi, padahal menyerahkannya pada pukat-pukat tak berizin. Analogi yang mengganggu. Untuk beberapa detik itu ruangan hening dan udara yang menyeruak keluar pun seperti tak membawa pesan apa-apa. Kim merapatkan lagi telinganya ke bidang dinding tanpa mendapatkan seceruk bunyipun selain deru angin halus yang melewati telinga sebelahnya. Kipas angin bergerak-gerak seperti meledeknya.

“Sudah ada nama. Tapi kurasa Anda belum perlu tahu. Kami sudah merampungkan separuh penyelidikan, dan sebentar lagi kita akan semua pergi dari sini dengan kepala terangkat.”

“Anda tidak bisa menetapkan tersangka saat runtutan kejadian masih terjadi satu demi satu, Pak!”

Adam bangkit juga dari kursi pada akhirnya. Tapi sejenak begitu saja ia sudah tak bisa bergerak. Dari tempatnya berdiri, dengan ketinggian kepalanya yang begitu diam dan sorot matanya yang tajam, lubang pistol revolver itu begitu menganga, melihatnya dengan sorotan yang lebih dalam melalui lubang kecil hitam yang menyimpan kilapan bulat di dalam sana. Peluru 9mm akan menembus keningnya sampai belakang kepala dari jarak sedekat ini. Ia tak menghela napas untuk bisa melihat mata Iskandar menyimpan begitu banyak tekanan dan rasa kesal yang menggurat perlahan dari sisi keningnya.

“Sudah sejak awal kau mengganggu saja dalam penyelidikan ini, Adam.”

Adam tak bicara untuk membalas kalimat itu. Pikirannya berusaha menyusun ranai pertanyaan mengapa satu-satunya orang yang ia percayai untuk membongkar kusut kasus ini justru balik mengancamnya dengan senjata.

“Kau bisa saja meraih reputasi hebat di luar sana dalam memecahkan banyak kasus kriminal. Tapi di dalam lingkup yurisdiksiku, kau tak bisa bertindak seenaknya.” Kapten itu merapatkan jari-jarinya pada pegangan pistol, memastikan posisinya pas untuk segala kemungkinan yang akan terjadi, baik itu di dalam kesengajaaannya atau tidak.

“Kasus ini milik kesatuanku. Dan Kau tak bisa mencampurinya begitu saja. Jadi kalau kau ada sesuatu yang mungkin berguna untuk penuntasan kasus ini, silakan serahkan saja dan biarkan kami menuntaskannya sesuai  prosedur. Anda mungkin saja hebat menebak pola hubungan banyak perkara, tapi ini menyangkut nama baik instansi saya, dan nama baik instansi pemerintah lainnya. Jadi kusarankan, kau tinggalkan saja rumah ini. Kuyakin keponakanmu lebih membutuhkan bantuanmu daripada kami yang di rumah ini.”

Adam ingin bergerak namun pistol itu tetap saja mengikuti langkahnya. Ia menatap mata Iskandar seolah-olah sepasang indera itu saling bicara dengan bahasanya sendiri, bahasa yang jauh lebih berat daripada pertengkaran kata-kata bersuara. Di luar ruangan Kim mulai mendapatkan sesuatu di telinganya, orang tua itu terus menyimak seperti ingin terlibat pada sesuatu yang menguntungkan.

“Serahkan ponselmu.”

Maka Adam tanpa perlawanan langsung menyerahkan ponselnya kepada kapten itu. Perangkat itu tetap dalam posisi aktif tapi tanpa pesan masuk atau panggilan tertunda. Sejenak Adam mengikuti irama gerak perlahan mereka dan mengangkat dua telapak tangannya. Saat ponsel itu sudah berpindah ke dalam saku celana kapten Iskandar, pistol diturunkan dan Adam bisa kembali pada posisi santainya yang tetap waspada.

“Terima kasih. Sekarang pulanglah. Dan kalau aku melihatmu lagi di rumah ini, aku bisa jamin anak buahku akan menahanmu tas tuduhan menghambat penyelidikan polisi. Itu pidananya …”

“Saya tahu pasalnya. Tapi satu hal, Pak Iskandar.” Adam bersuara pada akhirnya.

“Anda tak tahu siapa yang Anda hadapi.”

“O, saya tahu persis. Sekarang keluarlah.”

Adam perlahan keluar dari ruangan itu dan Iskandar tetap merapatkan tangan di gagang senjatanya. Kim terkejut karena Adam melaluinya tanpa menyapa. Sementara saat ia mengintip ke dalam ruangan itu, Kapolsek sudah melipat lengan dan menatap tajam, membuatnya ketakutan dan berlalu pergi. Kapten itu menerka-nerka pikirannya sendiri selama beberapa menit terakhir di perbincangan itu. Senyumnya terangkat saat telepon genggam itu berdering di dalam saku celananya. Panggilan yang terencana.

(Selanjutnya …)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun