[caption id="" align="alignnone" width="559" caption="Ilustrasi (sscconstruction.com)"][/caption] Siang ini (5/11) Komisi Penyiaran Indonesia menerima kehadiran atas undangan untuk stasiun televisi TVOne dan MetroTv pada waktu pertemuan yang berbeda. "Si Biru" dijadwalkan pukul 10.00 sementara "si Merah" digilir pada 11.30. Tema pertemuan wajib itu sesuai rilis @KPI_Pusat adalah Netralitas Isi Siaran, isu yang memang sudah sering membuat media kelompok ini harus membalas hak jawab atau merespon hujatan pemirsa. KPI menilai kedua stasiun televisi yang sama-sama menyasar segmen pemirsa politik ini perlu "diberi wejangan" terkait tingkah mereka selama ini yang dianggap sering kali menyusahkan lembaga pengawasan itu. Metro TV dan TVOne memang dikenal sebagai rival terbaik untuk kelas pewartaan politik di Tanah Air. Tentu akan ada banyak bahasan yang dilayangkan oleh KPI sebagai lembaga pengayom dan pengawas penyiaran media televisi dan radio. Dalam hemat saya, pemanggilan ini adalah langkah strategis KPI untuk mengantisipasi agar kedua "anak emas" ini tidak bertingkah berlebihan dalam mempermainkan opini pemirsa. Netralitas media saat ini banyak dipertanyakan, sampai ke hal-hal konten pemberitaan seperti narasi program ataupun isi perbincangan dalam acara tersiar langung di pagi hari. Media bersegmentasi berita seperti Metro TV, TVOne dan sekarang Global TV (perlu dikonfirmasi lagi karena kelihatannya format acaranya mulai bergeser) tiap hari melatih redaksi mereka untuk membuat narasi berita setajam mungkin untuk memikat opini pemirsa. Kekuatan kata-kata dalam narasi berita acap kali pedas, mengkritik tajam dan "tunjuk hidung" meski belum sepenuhnya vulgar. Istilah-istilah menawan seperti "barter gelar ksatria" hingga "Negara Autopilot" kerap dipakai sebagai kesan kuat melawan pemerintah yang dianggap lamban menghadapi aliran informasi. Hasilnya, media televisi berita sering kali selip lidah karena terlalu percaya diri menggambarkan kondisi politik yang sebetulnya masih bisa ditilik secara lebih cerdas. Contoh terbaru adalah Metro TV yang harus menggelar program klarifikasi terkait kesalahpahaman menyangkut kelompok Rohis September lalu. Kecerobohan redaksional dan teknis penampilan grafik yang mengesankan Rohis sebagai sarang baru teroris ternyata membakar amarah para penggiat kelompok rohani ini di seluruh Indonesia. Metro TV akhirnya menggiring Putra Nababan untuk langsung menghadap KPI pada hari-hari awal menjabat pemimpin redaksi baru. Contoh lain adalah puluhan protes yang dilayangkan melalui KPI kepada TV One terkait tragedi jatuhnya pesawat Sukhoi pada Mei lalu. Beberapa reporter yang masih sangat muda dalam seragam merah dianggap kurang mengerti etika pewawancaraan karena bertanya saat keluarga korban masih dalam kondisi sedih mendalam. Apalagi, dengan kalimat-kalimat redaksi pertanyaan yang kurang tepat. Sensasi bahasa narasi Netralitas bahasa untuk media televisi saat ini boleh dikata belum sebaik koran-koran berita. Karena jam tayang dan jumlah program media berita televisi jauh lebih banyak dan ketat, pengawasan tiap redaksi dan kalimat narasi sulit dilakukan. Bahkan redaktur sekelas Elman Saragih pun pernah mengakui ini suatu waktu saat Metro TV "memaksa" istana negara mengadakan jumpa pers. Karena bahasa narasi harus menarik dan menyentil, maka dibuatlah kemasan yang terbaik dan mentereng untuknya. Diksi tertentu digunakan yang jarang ada pada berita koran yang lugas apalagi siaran langsung debat kandidat politik. Media memiliki kekuasaan lebih untuk membantu publik pemirsa membentuk opininya sendiri, meski secara teknis media banyak melakukan penggiringan dengan pemilihan kata-kata yang provokatif. Celakanya, ketidaknetralan bahasa narasi media yang kebanyakan menghujat pemerintahan berjalan dan menggembor-gemborkan tokoh-tokoh idola masyarakat tertentu justru laris sebagai tontonan seru. Penggiringan opini terbentuk secara masif dan tanpa korelasi dua sisi yang kritis. Saya memutuskan membuat opini ini saat siang ini sempat menyaksikan sebuah acara bincang politik yang digelar Global TV. Stasiun satu ini tergolong berani karena berusaha masuk ke lubang sempit berita politik yang sebelumnya tidak menjadi prioritas program. Dengan format acara bincang di mal dengan sofa bersambung dan dengan tiga narasumber, Global TV bak menyisipkan badan kecilnya ke dalam ruang sempit tempat Metro TV dan TV One sedang bergelut sebagai lembaga penyiaran politik terpopular saat ini. Dalam perbincangan yang saya saksikan siang ini ada kasus menarik terkait netralitas yang kiranya bisa kita perbandingkan. Saya mengikuti pembicaraan sejak awal yang bertema "SBY, K[e]satria untuk Siapa?" ini. Isinya jelas, mendiskusikan kepentingan politik di belakang pemberian gelar ksatria Grand Cross of the Orde of the Bath kepada SBY dari Kerajaan Inggris. Karena formatnya perbincangan yang dirujuk memanas, datanglah tiga tokoh untuk tiga sudut pandang berbeda. Olga Lidya sebagai salah satu pembawa acara kemudian melayangkan pertanyaan pemancing setelah tayangan video yang mengait-ngaitkan pemberian gelar SBY dengan serangkaian terorisme dan konflik sosial yang terjadi di Indonesia, khususnya Lampung dan Poso. Video pengantar tersebut menarik perhatian saya karena narasinya yang kurang lebih begini: Apakah pantas SBY sebagai kepala negara diberi gelar kesatria saat di dalam negeri rakyat berkonflik dan berhadapan dengan terorisme yang berkelanjutan? Sepintas memang video dengan narasi seperti itu menarik perhatian. Tapi jauh menilik ke dalam konten kalimatnya, tayangan video ilustrasi ini seolah-olah memosisikan SBY, sebagai pemimpin yang meninggalkan rakyatnya. Hal ini juga beberapa kali ditanyakan oleh Olga kepada ketiga narasumber yang punya sudut pandang masalah berbeda terkait ini. Tujuan redaksi Global TV untuk acara ini jelas, karena mempertanyakan korelasi pemberian gelar SBY dengan kondisi dalam negeri yang "berantakan". Kepantasannya memang bsia jadi perdebatan. Tapi menurut saya ada beberapa alasan mengapa dalam hal ini redaksi narasi tersebut tidak sepenuhnya tepat. Koreksi Konteks Pertama, pemberian gelar kesatria kepada SBY adalah dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara, bukan kepala pemerintahan. Akan salah jika kita menghakimi kepantasan SBY menerima gelar tersebut saat kita menghadapkan opini pada kasus yang memosisikan SBY sebagai kepala pemerintahan. Dalam pengertiannya seorang presiden disebut dan bertindak sebagai kepala negara saat berkegiatan di luar, sementara menjadi kepala pemerintahan jika berhadapan dengan isu dalam negeri. Entah belum paham atau memang mengambil risiko, Global TV berkali-kali menyebut dalam redaksi narasinya bahwa SBY sebagai "kepala negara" tidak pantas membiarkan rakyatnya bertikai di Lampung. Kedua, boleh saja memang memprotes SBY keluar negeri saat di dalam rumah terjadi banyak masalah. Hanya saja, dalam konteks berita ini penganugerahan gelar kepada SBY hanya satu dari banyak rangkaian acara kunjungan SBY yang selama beberapa hari di Inggris sebelum dilanjutkan ke Laos pada akhir pekan lalu. Pun terlalu ceroboh jika menilai presiden "meninggalkan" rakyatnya karena kunjungan kenegaraan selalu diatur jauh-jauh hari (biasanya 3-6 bulan sebelum keberangkatan). Dan yang paling penting adalah, pada faktumnya presiden sudah "menitipkan" kasus Lampung kepada Polri dan TNI. Sejak zaman Sukarno kepala negara kita dikenal jarang sekali membatalkan agenda kunjungan ke sebuah negara, dan yang sering hanya pulang lebih awal jika di dalam negeri terjadi sesuatu yang genting. Apalagi, kunjungan kali ini SBY ke Buckingham Palace atas undangan Ratu Elizabeth, dan merupakan kunjungan balasan setelah pada November 2008 lalu Pangeran Charles bertandang ke Jakarta. Ketiga, kecerobohan yang menuding bahwa pemberian gelar Kesatria kepada SBY merupakan barter politik-diplomasi yang dilakukan Inggris untuk program investasi minyak mereka terlalu jauh. Kurtubi, pakar kebijakan ekonomi perminyakan mengatakan dalam program yang sama, bahwa ide itu terlalu jauh dari wacana dan kalaupun benar, tidak sepenuhnya merugikan Indonesia karena secara pasar kita dikenal lebih baik di Eropa. Saya kira Olga Lidya tidak menduga jawaban itu. Sementara itu dari sisi lain budayawan Hardi Danuwijoyo mengatakan, pemberian gelar kesatria kepada SBY merupakan penghargaan kultural kepada bangsa Indonesia secara keseluruhan. "Kita seharusnya bangga sebagai bangsa karena kepala negara kita adalah simbol yang mewakili kita. Ini berarti Inggris menghargai kita sebagai bangsa dan budaya." Opini yang masuk akal karena dalam prosesi pemberian gelar itu pun SBY berdandan ala budaya Minang, lengkap dengan sarung sepaha dan kopiah yang membuatnya sangat mewakili Indonesia. Sudut pandang kebudayaan selama ini jarang dipakai media untuk menyeimbangkan isu politik yang terlanjur menggerogoti secara sensasional. Saya sempat mengamati gestur dan tutur kata dua pembawa acara bincang Global TV yang menurut saya kurang persiapan dan tak kunjung menjangkau cara berpikir ketiga narasumbernya yang siap dengan data dan pendapat berdasar kuat. Risiko logis saat stasiun televisi memasang aktris alih-alih jurnalis murni untuk berita politik dengan isu dan tema hangat yang serius yang mengandalkan data dan fakta. Bicara netralitas bahasa media tentu saja tidak sesederhana ini, karena pengamatan yang bahkan dilakukan setiap hari atau setiap jam pun selalu berakhir dengan kekecewaan. Setidaknya itu yang saya rasakan sebagai penikmat fenomena bahasa. Kebahasaan dalam narasi media berita kadung terkalahkan oleh sensasi konten yang pada kenyataannya kurang mengoreksi ketepatan konteks pemberitaan. Pada akhirnya bahasa hanyalah soal bahasa bagi sebagian kelompok orang atau korporasi atau politisi. Bungkusan kata yang kalau berbeda atau "menusuk" akan sangat mendongkrak penjualan. KPI dalam hal ini sudah mengambil langkah tepat untuk memaksa stasiun televisi mempertanggung jawabkan pemberitaan mereka terkait hal-hal yang sensitif, terlepas dari apakah isu bahasa penyajian juga dibahas di dalamnya atau tidak. Saat netralitas media televisi kita sudah bisa dikritik habis-habisan melalui beragam kanal media baru yang berkembang begitu pesat, sebagai pemirsa seharusnya kita bisa lebih peduli jika sewaktu-waktu tergelitik soal apapun. Karena ya, terkadang kekeliruan bahasa bisa membuat stasiun televisi paling cerdas sekalipun nampak kurang terdidik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H