Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerita Mida

18 Oktober 2012   07:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:42 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

“Maaf, tapi kami tidak bisa menyerahkan kepengurusan koperasi ini begitu saja kepada orang seperti itu, Nak. Apa kata orang-orang di sini kalau tahu …”

**

Keberhasilan hidup, bagi Mida, tak lebih mudah daripada mencium seorang pria. Selama tujuh tahun yang panjang ia mencari jawaban untuk kehidupannya sendiri, tanpa tahu apakah keberhasilan yang ia cari sudah tercecap di ujung lidah. Ia bertemu belasan pria yang ia ajak bercinta. Sebagian dari mereka tulus tumbuh sebagai penerima, sebagian lainnya seperti angin tanpa suara, pergi begitu saja.

Mida sengaja mengitari lima pulau tak sekadar memenuhi hasratnya sebagai petualang alam. Hasrat yang tumbuh sejak ia masih remaja. Ia tunaikan keinginannya menginjak pedalaman suku Asmat dan beberapa kali singgah di Batam, tepi laut di mana barisan mimpi terbentang jauh di seberang. Matahari kadang tak nampak sampai malam. Mida tak pernah tahu apa yang sebetulnya ia cari, sampai akhirnya pada penghujung Desember ia kembali ke suatu dermaga lama. Mattoanging. Tanjung kecil di ujung selatan Sulawesi.

Hal pertama yang Mida lakukan di tanah yang kata orang-orangnya telah berumur resmi 758 ini adalah mencari tempat tinggal. Bersyukurlah Daeng Nira, janda yang mengambil pekerjaan suaminya sebagai nelayan ini berbaik hati berbagai rumah dinding bambu dengannya. Mida hanya diminta membantu mencari kayu bakar atau mengantarkan jajanan pasar ke warung-warung setiap pukul tujuh. Selama tiga bulan pertama ia sudah menganggap Daeng Nira sebagai ibu kandungnya sendiri, meski orang tua itu beberapa tahun lebih tua dari neneknya sendiri.

Di suatu pagi Mida sedang menjemur pakaian di bambu-bambu sambil melihat ke arah laut yang menggemuruh. Perahu terombang-ambing, nampak kecil menjadi titik kemudian menghilang di lengkungan bumi. Mida belum pernah sedekat ini dengan kehidupan laut. Ingatannya tentang air jernih di Sabang tak membuatnya lebih dekat dengan kehidupan laut yang sesungguhnya bertaut dengan kehidupan di atas pantai. Penduduk dan kehidupannya. Di antara anak-anak putus sekolah yang bermain, Mida melihat seorang pemuda berdiri di bawah sinar matahari. Kulitnya legam dan rambutnya ikal memerah karena udara asin. Tak mengenakan baju dan membiarkan otot-otot kekarnya menonjol ketika dua tangannya diselipkan ke dalam saku celana pendek selutut. Mida tertarik dengan pose pemuda itu, dan langsung membayangkan seorang pembawa acara petualang yang gemar makan ulat dan minum dari batang bambu hutan. Ia tersenyum sendiri dan melanjutkan jemurannya.

Tak lama kemudian, Mida mendapati pemuda itu tersenyum padanya kemudian berlalu.

Enam bulan pertama Mida sudah merasa ada sesuatu yang salah dengan kampung nelayan Mattoanging. Pembangunan pelabuhan yang berjalan mangkrak selama tiga tahun justru jadi momok bagi pencaharian warga sekitar. Lumbung ikan dan rumput laut kelompok nelayan digeser beberapa ratus meter ke barat, mendekat ke aliran sungai tawar yang berasal dari Gunung Lompobattang. Mida kesal karena kontraktor dan pemerintah desa tak mendengarkannya.

Saat mencoba mengirimkan proposal ke pemerintah daerah, idenya untuk membuat koperasi nelayan didengar. Tujuannya jelas, untuk mengokohkan daya tawar para nelayan yang sebagian besar berusia empatpuluhan dan tidak tamat SD. Pada kamis pertama di bulan Mei, ia sudah berada di kantor guna audiensi dengan bupati. Sungguh Mida tak menyangka, salah satu asisten sekretaris daerah yang menyodorkan proposal dan map-mapnya ke bupati adalah pemuda berambut ikal di pinggir pantai beberapa waktu lalu itu. Senyumnya mengembang masih sama dan tubuhnya kini berbalut seragam LINMAS. Mida tersipu tanpa sebab, meski cepat-cepat ia kembalikan fokusnya. Pertemuan itu lancar dan mereka saling jabat tangan. Proposal disetujui.

Mida pulang dan memeluk Daeng Nira dengan senang. Koperasi rintisannya tinggal menunggu persetujuan sebelum mengurus aspek legal. Ia masih berpikir dari mana uang untuk pelunasan biaya badan hukum dan lain-lainnya, tapi ia merasa ini saatnya.

“Dek Mida sudah pengalaman rupanya mengurus beginian,” kata Pak Loji, ketua kelompok nelayan Makmur yang membawahi tujuh puluh perahu.

“Tidak, Pak. Ini kali pertama saya merintis beginian. Saya pernah dapat pelajaran koperasi di semester dua, tapi praktiknya belum.”

Loji mengangguk, antara paham dan ragu. Pertemuan singkat sehabis sosialisasi dengan kelompok nelayan itu dihabiskan dengan bertukar cerita. Mida lebih banyak mendengar daripada berbicara. Para pria itu nampaknya lebih tertarik pada perawakan wanita duapuluh enam tahun itu daripada perkataannya. Mereka betah duduk berjam-jam dan baru pulang setelah para istri datang menjemput dengan ketus.

**

Jelang tengah malam entah apa yang membawa Mida keluar dari rumah bertelanjang kaki. Berjalan pelan merasakan angin darat menghembus dari arah gunung. Menyelimuti dirinya dengan jaket tipis kemudian duduk di atas tanggul pecah pemecah ombak. Bunyi kekuatan alam yang paling setia di pesisir ini. Gelombang pecah untuk berkah atau amarah.

Pikirannya terlempar jauh ke belakang.

Di antara baris lampu-lampu nelayan dari kejauhan Mida membawa dirinya, ingin pulang entah ke mana. Masa lalunya suram dan ia merasa tak ada yang bisa meyakinkan bumi menerimanya kedua kali. Ia terbayang wajah Somawi, pemuda pendek yang menjadi pertautan cinta terlamanya. Suara pemuda Entikong itu selalu lebih merdu baginya. Sepasang bola mata yang menghitam seperti sepasang cerita dari dua benua. Ada pagi yang dingin tatkala mereka sama-sama hanyut di sungai Bekayang dan lalu berpelukan di ranting bambu. Melalui episode pendek tentang janji cinta dan kehangatan yang melebihi pergerakan siang. Mida terkesiap. Seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

“Namamu Mida, kan?”

Melihat siapa yang kini berdiri di sampingnya, Mida tersenyum. Pemuda ikal itu memperkenalkan dirinya sebagai Atol, bukan nama sebenarnya, katanya. Nama itu adalah julukan pemberian seorang kakek saat ia menangkap ikan selama tiga bulan di Kepulauan Selayar, taman laut dengan karang atol terbesar kedua di dunia.

Mida memeluk lututnya dan Atol lebih banyak mendengar. Mereka saling beri isyarat bahwa tidak semua kisah cinta harus dibicarakan kepada seseorang. Perbincangan malam itu ringan seperti sandal karet di atas air. Mengalir begitu saja dan tangan pada akhirnya saling merapat.

**

Pukul tiga dini hari, Atol tak bisa tidur. Kerinduannya pada sosok perempuan dari beberapa jam lalu itu membawanya kembali ke meja kerja. Dilihatnya lagi kertas-kertas dan dicarinya beberapa hal di internet soal sosok perempuan menarik. Tapi apa yang didapatinya tak begitu menyenangkan. Dilema yang tak biasa. Pemuda itu tak kuasa tidur sampai ayam berkokok mengantar pagi.

**

Matahari menyingsing dan Atol sudah berdiri di dalam kantor besar. Bupati melipat tangannya dan memandangi pemuda asisten itu rapat-rapat. “Kita tidak bisa mengambil risiko, Nak. Percayalah, ini demi kebaikan rakyat kita. Dia harus pergi dari sini.”

“Tapi, Pak. Bukannya program-program penanganan …”

“Itu politik, Nak. Itu perkataan calon bupati dan menteri di depan televisi. Dalam praktiknya, kita tidak ingin warga resah dengan ancaman serius yang sebelumnya memang dikenal berbahaya. Kau harus meminggirkan idemu dan pikirkan anak-anak di sini.”

“Pak, Mida itu …”

“Saya kira sudah cukup jelas, Nak Atol. Aku menghormati pamanmu sebagaimana aku menghormatimu.” Bupati itu bangkit dari kursinya, berjalan tegas kemudian membisik di samping kepala pemuda yang ia anggap sebagai anak sendiri. “Perjuangkanlah apa yang kau yakini, tapi kenali risikonya. Yang ini, kita tidak bisa apa-apa. Maaf.”

Pintu ditutup dan Atol memegang proposal itu dengan erat.

**

Akhirnya di tengah hari yang panas Atol memacu mobil sedannya ke sebuah gang sempit di tengah kampung nelayan. Jaket kulit berleher tegak dan kacamata tabir surya cukup menutupi seragam kedinasannya. Bujang itu disambut dengan air hangat di ruang tamu Pak Loji, ketua kelompok nelayan. Setelah mengatakan maksud kedatangannya dan meminta bantuan dukungan dari tokoh masyarakat itu, Atol bersandar ke kursi.

“Maaf, tapi kami tidak bisa menyerahkan kepengurusan koperasi ini begitu saja kepada orang seperti itu, Nak. Apa kata orang-orang di sini kalau tahu …”

“Tapi kelompok nelayan sudah setuju …”

“Iya memang,” Loji menimpali. “Tapi sebelum kami tahu bahwa perempuan itu membawa virus AIDS!”

Atol terdiam karena Loji berkata dengan begitu lantang dan emosi yang membuat mukanya memerah. Ada keheningan sejenak saat anak-anak kecil ketua nelayan itu dibawa oleh ibu mereka ke dalam kamar.

“Ini soal masa depan anak-anak kami, Pak Atol. Kami tidak punya bekal cukup untuk mendidik mereka dengan normal. Kami tidak mau beban tambahan lagi.”

Atol menatap mata lelaki itu dalam-dalam. Bibirnya terlipat dan tangannya lemas menarik kertas-kertas itu dari meja. “Setidaknya pertimbangkan niat baik seseorang dan cintanya pada kampung ini. Kehidupan nelayan jauh lebih baik sejak Mida kemari dan kalian sungguh tidak tahu berterima kasih. Permisi.” Atol meninggalkan rumah itu tanpa pamit dan meninggalkan Loji yang tertegun menatap lantai.

**

Mida merasakan kulitnya makin hitam hanya setelah beberapa jam menunggui baris-baris ikan asin yang terbelah dan sengaja dijemur di bawah terik matahari siang. Ini adalah lauk mereka untuk satu bulan ke depan, ditambah beberapa daun dari pohon kelor dan beberapa kilo beras dari pembagian program Raskin. Mida menyambut Atol dengan ceria, bersalaman seperti biasa kemudian duduk di tanggul.

“Kau tampak lesu hari ini. Kantor banyak menyiksamu ya.” Mida membuka obrolan sambil membersihkan kakinya dari pasir. Atol hanya memandangi matahari yang condong ke barat sambil melepas jaketnya. Ia tak langsung membalas perkataan itu dan justru menyeka rambutnya, membiarkan angin membelai pergi semua pikiran berat. Di saat seperti ini tugasnya adalah menyenangkan hati orang yang membuatnya tenang.

Maka Atol tersenyum.

Mida ikut memandangi langit dan mulai berbagi cerita. “Aku bersemangat sekali,” katanya. Atol langsung menyimak dan mengantisipasi kalimat apa yang akan dikatakan lagi oleh wanita pujaannya itu.

“Kalau program koperasi ini sukses, aku merasa baru pertama kalinya menuntaskan sesuatu yang berguna dalam hidup.” Mida menunduk ke arah jari-jari  kakinya yang bergerak-gerak saling pijat.

“Maksudmu?” tanya Atol.

Saat kepala Mida kembali tegak, selintir senyum seperti menghibur dirinya sendiri akan masa lalu yang menghantuinya dengan cara yang paling menyakitkan. “Aku banyak berbuat salah dalam hidup. Memilih tempat yang salah, memilih waktu yang salah. Juga orang-orang yang salah. Ini pertama kalinya, aku merasa benar-benar hidup. Kau tahu?”

Atol diam.

“Saat kau merasa Tuhan memberimu kesempatan untuk hidup sekali lagi untuk orang-orang sekitarmu, kurasa kau tidak akan meninggalkannya begitu saja. Tapi kurasa, Atol …” Mida menahan kata-katanya di situ. Matanya dibawa menatap dalam-dalam mata pemuda yang kini jadi satu-satunya tempat ia mencurahkan isi hati sampai ke batas terjauhnya.

“Atol …” Mida menyentuhkan tangannya. “Kurasa sudah waktunya aku pergi dari pulau ini.”

“Mida, maksudmu?”

“Ya. Pergi dari sini. Mencari tempat lain untuk memasang keping teka-teki hidup.”

“Tapi … aku tidak mengerti …”

Mida tersenyum saat melepaskan kembali tangannya. “Aku mendengar pembicaraanmu dengan Pak Loji tadi siang.”

Kalimat itu seperti menyambar kepala dan menghimpit badan Atol di dua sisi.

“Ya, Atol. Tadi niatnya mau mengantar jajanan untuk anak-anak Pak Loji .... Sejak awal aku paham akan bagaimana reaksi masyarakat sini kalau tahu bahwa aku pengidap HIV. Itu tidak mudah, tidak Cuma di sini. Warga di sini sangat religius dan aku tidak heran dengan kekhawatiran mereka soal anak-anak. Kalau aku jadi ibu, mungkin aku akan melakukan hal sama.” Mida tersenyum lagi dan Atol tak kuasa menyela.

“Waktu aku berniat membuat koperasi ini pun, aku sudah langsung siapkan rencana cadangan jika sewaktu-waktu semuanya terbongkar. Tapi, tak kusangka bisa secepat ini.”

Atol menyesal sejadi-jadinya. Ia merasa jadi orang paling bersalah karena mengawali semua pengungkapan kebenaran ini.

“Cepat atau lambat, aku harus memberitahumu sesuatu yang lebih dalam tentang diriku, Atol. Kau tak salah apapun.”

“Mida … aku …”

“Kau bantulah mereka. Sejak melihatmu pertama kali di tanggul ini, aku langsung tahu kau menyimpan kepedulian dan segenap rencana besar untuk orang-orang ini. Caramu memandang laut caramu menyelipkan sandal di pasir, dan caramu menyapa orang-orang, aku tahu kau punya kepemimpinan yang baik sebagai laki-laki, walau ternyata kau masih duapuluh dua tahun.”

Atol tersenyum kepada dirinya sendiri mendengar sindiran itu.

“Aku sayang padamu, Atol. Tapi kurasa kita tak bisa memulai apapun di sini. Kaulah yang harus meloloskan koperasi ini. Kuyakin bisa. Pak Loji selalu percaya pada pemuda sepertimu.”

“Mida.”

Angin berhembus kemudian menghilang begitu saja.

**

Di suatu Sabtu sekitar sepuluh pagi, Atol berlari di koridor kantor bupati dan langsung tiba di gerbang depan. Ia terkejut sekaligus senang karena mendapati unjuk rasa para nelayan. Beberapa poster dan alat tangap ikan diangkat membuat bupati harus menengok dari jendelanya di lantai dua.

Di halaman itu, Atol mengangguk pada Loji, pemimpin pasukan pengunjuk rasa. Hatinya terlegakan dan senang, karena melihat tulisan yang jadi tuntutan para pejuang pesisir itu.

KAMI INGIN KOPERASI. KAMI INGIN MIDA.

Beberapa poster lain memasang gambar karikatur bertuliskan “cantik” dan beberapa lain kata “seksi” yang lalu dicoret dengan spidol hitam.

Atol menyetir mobilnya dan langsung menuju pelabuhan Sukarno Hatta di Makassar. Di ujung dermaga sebelum tangga kapal penyeberangan, Atol menarik tangan perempuan itu dan memegangnya rapat-rapat.

Melalui layar telepon ia menunjukkan sebuah video yang membuat Mida terharu dan menangis. Perempuan itu berlutut di tengah kerumunan.

Sepertinya, ide koperasi ini akan terus berjalan. Dan tak ada yang bisa memimpinnya lebih baik kecuali seorang perempuan yang ingin menunaikan tugas hidupnya. Mida.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun