Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kata Sandi MOZÉ (7)

1 Oktober 2012   14:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:24 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Kim sudah diwawancarai.

Tapi kedua pembantu itu, Adam ingin memastikan kesaksian pertama mereka.

(Sebelumnya ....)

Seseorang di antara mereka menunjukkan respon yang berbeda.

Kedua pelayan rumah tangga itu saling pandang tanpa tahu apa yang sebenarnya tiba-tiba dirasakan oleh penyelidik di depannya. Mereka sering mendengar seperti apa gerak-gerik polisi ketika mewawancarai tersangka. Tayangan kriminal sudah akrab di jam-jam mereka yang sering kali beralih dari berita-berita gosip picisan atau komedi situasi. Media membentuk pikiran mereka bahwa polisi mestinya selalu tahu isi pikiran orang-orang. Dan saat ini mereka hanya bisa menebak-nebak apa yang terlintas di pikiran pewawancara itu ketika menyilangkan kakinya sambil menopang dagu selama beberapa detik.

“Maafkan saya,” kata Adam tiba-tiba menegakkan kembali badannya. Dua telapak tangannya dirapatkan ke paha dari tungkai yang lurus menapak lantai. “Seharusnya sesi ini berlangsung tidak terlalu tegang. Maaf, kalau saja tidak merepotkan, bolehkah saya meminta segelas air? Saya haus.” Senyum yang nampak tidak tulus terpancar dari wajahnya, membuat dua pembantu itu kikuk seketika, dan lalu menyetujui permintaan itu. Noni yang duduk di kursi sebelah kiri lalu bangkit dan meminta izin mengambilkan minuman yang diminta.

“Oh, akan nikmat juga kalau ada kue kering yang bisa mengganjal perut. Terima kasih.”

Noni mengangguk kemudian tanpa senyum berlalu ke dapur. Yang tinggal di kursi, Tini, hanya merapak tangannya ke kedua lutut sementara sepasang pandangnya berusaha mencari pijakan. Ia merasa lebih gelisah lagi karena Adam hanya menatapnya tanpa kata. Berkali-kali ia perbaiki posisi duduknya dan berusaha membuka perbincangan ringan, yang hanya dibalas dehaman dan anggukan oleh Adam. Perempuan itu menyerah hingga akhirnya diam saja. Sekitar satu menit kemudian, Noni sudah kembali membawa nampan dengan segelas air putih dan setoples keripik singkong di atasnya.

“Bu Tini, Anda yang berteriak tadi malam, ketika menemukan korban?”

Pembantu di kursi sebelah kanan mengangguk.

“Anda melihat langsung Mozé di kamar mandi itu?”

“Ya tentu saja, Pak. Wong saya mau matikan air kok, saya kira tidak ada orangnya. Ternyata waktu beberapa meter, sekitar satu meter kalau ndak salah, sudah banyak darah, dan saya temukan Den Mas sudah meninggal.”

“Anda sempat memegang tubuh korban?”

“Tidak, saya terkejut, Mas. Langsung teriak, tidak tahan, ya ampun, seram sekali itu.”

“Berarti Anda tidak bisa pastikan apakah korban sudah meninggal atau belum waktu itu?”

“Ya, tapi namanya darah begitu banyak, Mas. Dan lagi luka di bagian perut Den Mas sudah bocor sepertinya, dan lagi pisau itu, saya lihat sepintas tapi jelas, itu pembunuhan keji, kalau benar-benar ada yang melakukan itu.”

Adam mengangguk atas penjelasan itu sementara Noni yang menyimak hanya menelan ludah.

“Sebelum menemukan korban, Anda sedang mencuci perkakas makan kan?”

“Ya, Mas. Sudah dicuci, tinggal membilas.”

“Anda berdua saja yang di situ membilas piring?”

Noni dan Tini mengangguk bersamaan.

“Anda tidak lihat siapa yang lewat di ruang penghubung dapur dengan kamar mandi?”

Keduanya menggeleng nyaris bersamaan.

“Tempat cuci piring itu kan menghadap ke utara, Timur, Mas. Sementara jalan sempit ke kamar mandi itu kan di barat, kami tidak lihat apa-apa, mengobrol waktu itu ya Mbak?” Tini dengan tegas menjelaskan saat Noni seperti kompak begitu saja mengiyakan.

“Kalau suara, atau bunyi-bunyi langkah misalnya, Tidak dengar sama sekali?”

“Wah maaf, Mas. Waktu itu masih berisik, televisi di ruang tamu masih menyala, dan di dinding luar dapur kami bisa dengar juga bunyi televisi tetangga, juga beberapa orang mengobrol dan teriak dari jalan, semuanya kedengaran, tapi di dapur tidak ada apa-apa itu. Kami bahkan tidak dengar Den Mas masuk ke kamar mandi kapan, tiba-tiba semua sudah terjadi begitu, Mas.”

Adam menghela napas sejenak, mencoret beberapa kata dari bukunya. “Kira-kira sebelum Den Mas Mozé masuk ke sana, siapa yang ke kamar mandi duluan?”

Tini mengangkat pundaknya. Noni menggeleng tanpa kata.

“Eh tapi …” kemudian Noni memecah keheningan singkat itu. “Saya sempat ke kamar mandi itu, buang air kecil, sebelum mencuci. Iya, benar.”

Adam menegakkan badannya. “Dan waktu Anda masuk ke sana, tidak ada yang mencurigakan, saya kira?”

“Mencurigakan maksudnya, Mas?” tanya Noni lagi.

“Ya, misalnya, tempat sabun yang berpindah, atau keran yang menyala, atau ada apa di cermin, semacam itu?”

Noni berpikir. Nampaknya ia berusaha mengejar maksud perkataan Adam barusan dengan pikirannya, namun seperti ada sesuatu yang menghambatnya berpikir ataupun mengingat.

“Sepertinya tidak ada, Mas. Saya baru dua kali ke kamar mandi itu, dan tidak ada apa-apa di sana.”

“Kalau saya ingat ada, Mas Adam.” Tiba-tiba Tini berucap. Jari telunjuknya teracung ke udara membuat Adam cepat-cepat memfokuskan perhatian kepadanya.

“Siang sekitar jam satu, kami sudah mulai mengatur meja dan menyiapkan masakan. Ramai ibu-ibu di dalam, waktu itu Mbak Noni ini belum datang, saya sempat menemukan koran bekas, koran lama sepertinya, di tempat sampah kamar mandi itu.”

Adam menggosok dagunya. “Koran lama …?”

“Ya. Waktu saya masuk menyambung selang ke keran untuk air masakan, saya lihat ada koran yang kering di tempat sampah itu, terlipat. Tapi magrib waktu saya masuk ke situ mau wudhu, saya ingat mau mengambil koran itu untuk dibuang di tempat sampah, koran itu sudah tidak ada di sana.”

“Masih ingat jam berapa waktu itu?”

Tini mengangkat bola matanya ke arah kiri atas. “Kira-kira jam lima lebih lima menit, waktu itu Termehek-mehek baru main setengah jam,” jawabnya membawa-bawa nama sebuah acara televisi.

“Bu Tini ingat koran apa yang di tempat sampah itu?”

“Genie, atau Nova begitu saya lupa, saya jarang baca koran, tapi gambar sampulnya perempuan. Mirip Krisdayanti.”

“Hmmm …. Begitu.”

Adam melempar senyum ke halaman catatannya.

“Ada apa, Mas?” tanya Tini. Noni kembali diam.

“Oh, bukan apa-apa. Terima kasih. Ada lagi yang Anda berdua rasa tidak biasa sebelum kejadian?”

Tini mengangkat pundaknya, dan Noni kembali menggeleng. Untuk beberapa menit itu Adam hanya mengoreksi catatannya, membuka layar telepon dan melihat beberapa panggilan tidak terjawab, meneguk pendek minuman yang diberikannya, kemudian berdiri pamit tanpa menyentuh makanan ringan di dalam toples yang sudah terbuka. Tini dan Noni mengangguk santun kemudian mengantarkan tamu rumah itu ke pintu depan.

Menjelang pintu Adam kembali bersalaman dengan Pak Kim yang terkantuk-kantuk di depan televisi, menerobos sekelompok warga yang nampak masih penasaran dengan tempat kejadian, kemudian menjabat tangan tukang parkir dan menuntun sepeda motornya ke pinggir jalan.  Tapi gerakan itu hanya beberapa meter, karena ia tiba-tiba meminggirkan kendaraan itu dan kembali ke dalam rumah. Ia menghampiri Kim yang rupanya sudah dikuasai kantuk dan tertidur dengan mulut terbuka.

“Kim, Pak Kim!” Adam membangungkan dengan menepuk lembut tangan orang tua itu.

“Oh, Ono opo to Mas?” Orang tua itu mengucek matanya, nampaknya sudah terbiasa dengan kejutan saat tidur.

“Pak Kim, maaf. Bisa Antarkan saya sebentar ke ruangan kerja Pak Iskak?”

“Apa! Mana bisa, Mas. Itu ruangan kerja dinas, tidak boleh sembarangan orang masuk.”

“Ya, saya mengerti, Pak. Tapi ini demi kebenaran atas kematian Den Mas. Pak Kim apa tidak mau tahu siapa yang membunuh Den Mas?”

Orang tua itu berpikir lama, seperti merenung, tapi alisnya mengkerut lebih mirip orang mengenang. Tayangan kartun kucing mengejar tikus di dalam televisi itu tak lagi menghiburnya.

“Pak Kim!”

Orang tua itu bangkit, memijit pinggang belakangnya, mengeluh begitu saja, kemudian berjalan ke arah pintu depan. Ia berbincang dengan dua polisi penjaga, membuat Adam merasa tidak enek seketika. Hingga akhirnya, orang tua itu menuntun Adam dan seorang polisi yang ikut, mereka masuk melewati koridor dapur untuk berbelok ke barat melewati koridor dalam yang lebih sempit dengan alas karpet. Di sebelah kanan mereka sudah menunggu sebuah pintu besar dengan bahan kayu hitam berukir di bagian tepiannya. Hanya ada satu tempat kunci, dan hanya Kim yang tahu dan menguasainya. Rumah ini sepertinya lebih menganggap orang tua ini sebagai majikannya ketimbang belasan pejabat yang mendiami ruang kerja itu. Hanya dengan satu gerakan, dan pintu itu terbuka.

“Ada kunci cadangan untuk ruangan ini, Pak Kim?”

“Ya ini kunci cadangannya. Kunci utama dipegang Pak Kepala.”

Gelap. Adam merasakan ada sesuatu yang menghalangi kakinya. Saat mereka melangkah lebih dalam dan lampu dinyalakan, Kim terperanjat. Ruangan itu nyaris berantakan. Kertas di mana-mana, laci terbuka dan beberapa barang bergeser dari tempatnya. Polisi pengawal memegang pistol di dalam sarungnya, sementara Adam menyasar pandang semua ruangan itu.

Jelas telah terjadi pembobolan. Dan setelah melihat reaksi orang tua penjaga rumah itu, Adam sadar ini sangat tidak baik.

(Selanjutnya …)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun