TKP langsung diamankan dari orang-orang.
Polisi mengambil alih, tapi Adam tak mau tinggal diam.
Petugas INAFIS itu melipat bibir ketika membuka lipatan kertas di tangannya. Mobil sudah bergerak dan petugas itu tak bicara apapun. Tulisan di kertas itu adalah kata sandi yang tadi dimasukkan Adam guna membuka tampilan komputer, diberikan sesaat sebelum mereka meninggalkan gedung.
MOZE.
Kata sandi yang seperti bukan kata sandi. Terlalu mudah ditebak.
Malam itu jadi investigasi maraton oleh kepolisian gabungan dari Polsek Tegalgendu dan Poltabes Yogyakarta sekaligus. Dua investigator yang didatangkan dari bagian reskrim langsung mengumpulkan tujuh saksi yang paling dekat dengan kejadian ini. Dua mobil patroli disiagakan di depan rumah itu ketika orang-orang mulai beringsut bubar. Rumah itu akan dikosongkan kembali dan hanya dijaga beberapa aparat polisi. Penjaga rumah, seorang tua yang mengaku sebagai paman dari korban, tidak ikut dibawa dan hanya diwawancara singkat sebelum polisi pergi membawa ketujuh saksi lainnya.
Adam memacu sedan merah tua itu dan mengamati dari belakang barisan mobil polisi dengan sirene-sirene mereka yang membelah kota dengan gagahnya. Di kursi sampingnya hanya ada beberapa kertas dan barang-barang kecil lainnya. Tangan kirinya baru saja memasukkan telepon genggam ke saku jaket, kemudian fokus menyetir lagi. Di mobil depannya, di kabin belakang mobil polisi itu, ponsel Mila bergetar dan membaca pesan singkat itu. Kemudian diam lagi. Ini pengalaman pertamanya menaiki mobil polisi dan perasaannya tidak karuan. Meski beberapa kali polisi meyakinkannya bahwa mereka tidak akan ditangkap kalau tidak terbukti sebagai pelaku, tetap saja anak itu tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Di sampingnya Titis dan Desi hanya saling berbisik dan beberapa kali menelepon keluarga atau teman-teman mereka. Sementara dua kursi di depan diisi petugas berseragam, salah satunya mengenakan rompi hijau terang. Radio berbisik-bisik dan sesekali polisi itu berbicara membalasnya.
Kantor polisi sektor terdekat jaraknya lima menit berkendara. Mereka tiba dan langsung diarahkan menuju ruang Reskrim di sudut kiri belakang persis berhadapan dengan kantor pelayanan SIM. Mila turun dengan ditemani Desi sementara Titis terlalu heran dengan nuansa suram dari kantor yang bertuliskan KAMI SIAP MELAYANI ANDA itu. Di mobil lainnya baru saja turun dua remaja yang tak pernah berpisah dan dua perempuan paruh baya. Kemudian satu sepeda motor patroli yang menyusul sekitar lima menit kemudian datang membawa seorang laki-laki tua dengan muka tirus dan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Tukang parkir itu dibawa serta juga rupanya.
“Silakan duduk,” kata seorang inspektur kepada kesemua saksi yang dikumpulkan di sebuah ruangan sempit berpenerangan lampu putih duapuluh lima wat. Laron terbang berkeliling dan beberapa kali mendarat dengan sempoyongan di bidang meja berlapis kaca itu. Kapten Marzuki membuka kata sambutan singkat dan menjelaskan alasan mereka dibawa ke kantor polisi. Belum sampai dua kalimat yang terucap, pintu kembali diketuk dan Adam masuk ke ruangan itu.
“Siapa Anda?”
“Saya saksi juga, Pak.”
“Oh?” tanya polisi itu heran. “Kenapa tadi tidak bilang? Ya sudah. Ikut saja duduk. Tunggu giliran ya. Kalian semua akan kami wawancarai satu per satu. Tidak akan lama. Kalau semua ini lancar, kita semua bisa pulang tengah malam nanti.”
Adam mengangguk, tapi perhatiannya terlempar ke mana-mana. Ia memerhatikan kalau kapten itu mengenakan dua cincin bermata besar, kalung perak di balik seragamnya, dan lututnya tak berhenti bergerak-gerak. Juga, sepatunya di bawah meja itu tak terpasang sempurna, kepanasan mungkin. Ruangan itu sendiri sangat sederhana. Dua kursi panjang terbuat dari bilah-bilah kayu lebih mirip dudukan di koridor rumah sakit karena catnya yang putih. Sementara selain meja hanya ada satu loker empat pintu tempat beberapa lembar kertas mengintip dari celah pintunya. Di sudut terdalam ruangan itu barulah ada jendela kecil buram hitam yang dipasang mendampingi sebuah pintu rapuh yang menembus ke ruangan sebelahnya. Tak banyak yang bisa dilihat melalui jendela, tapi nampaknya orang berpangkat lebih tinggi berhak duduk di dalam sana. Kapten Marzuki berdeham dan membuat Adam mengembalikan pandangannya ke arah depan, sambil mengangguk tenang kepada Mila yang duduk di sampingnya. Anak remaja itu masih gugup, ponsel tak lepas dari tangannya, tapi ia tak tahu harus bagaimana.
“Aku sudah hubungi nenek, kasih tahu bahwa akan pulang agak telat, tidak apa-apa.”
Kalimat Adam barusan membuat Mila terkejut. “Bilang apa?” Anak itu khawatir keruwetan tambahan yang bisa terjadi jika neneknya yang menderita penyakit jantung tahu ia sedang berurusan dengan polisi.
Tapi atas pertanyaan keponakan itu, Adam hanya mengedipkan mata. “Tenang, om tidak bilang apa-apa. Kita kan sedang ada acara. Wajar pulangnya terlambat. Om sudah bilang akan mengantar Mila ke rumah.” Mila menghela napas.
Kapten Marzuki mulai memanggil satu per satu dan meminta seorang anak buahnya menjaga ruangan kecil itu. Sementara dirinya sendiri melangkah ke dalam ruangan yang lebih dalam itu kemudian duduk di kursi yang lebih nyaman. Adam memerhatikan itu dengan saksama, masuk pertama kali adalah pasangan remaja yang tangannya masih bergandengan. Polisi muda sempat meminta mereka melepaskan genggaman sesaat sebelum keduanya masuk ke ruangan. Mereka di dalam sana seperti bercakap-cakap. Sesekali terdengar menembus pintu suara kapten Marzuki agak meninggi dan dua remaja itu balas membentak. Setelah sekitar limabelas menit, keduanya keluar dan kemudian dua perempuan paruh baya masuk. Begitu saja dengan membosankannya mereka harus menunggu giliran untuk diwawancarai, dan sebaian lainnya menunggu kesempatan untuk pulang. Polisi muda di meja ruangan itu belum memperbolehkan siapapun pulang sampai interogasi selesai. Mila masuk ke ruangan itu ditemani Adam, yang baru disetujui setelah nyaris terjadi pertengkaran antara mereka dan polisi muda penjaga ruangan.
“Saya ini pamannya. Saya kira kami berhak mendapatkan situasi paling nyaman untuk interogasi seperti ini,” Adam membalas larangan itu dengan kalimat tegas dan nada yang ditinggikan. Polisi muda itu nampak gugup seketika dan menunjukkan kelemahannya, seperti ia pertama kali menghadapi orang yang marah. Untuk sesaat itu, Adam teringat seorang rekannya yang punya ekspresi muka yang hampir mirip.
Mila masuk duluan dan Adam duduk belakangan.
“Silakan duduk,” kata kapten itu. Penampilannya lebih baik di kursi yang bersandaran lebih tinggi. Badannya terlihat lebih tegap dan raut mukanya berwibawa, meski nyaris tidak ada kumis terlihat di atas bibirnya. “Sudah jam duabelas. Kita harus percepat ini.”
“Tentu saja,” balas Adam. “Silakan, kapten.”
“Baiklah, tadi kami sudah dapatkan beberapa kesaksian dari teman-teman Mila, dan dua pekerja rumah itu. Anda berdua adalah saksi ketujuh dan kedelapan. Mohon kerja samanya, agar kasus ini cepat selesai. Untuk pertanyaan-pertanyaan saya, silakan jawab singkat dan padat jelas. Tapi kalau Anda ada keterangan yang mau disampaikan, silakan panjang lebar.” Kapten itu terdengar lebih ramah kini. Setelah menyalakan alat perekam dan siaga dengan alat ketik komputernya, ia mulai bertanya.
“Mila. Apa benar Anda teman korban?”
Mila melihat ke arah Adam dengan mata yang berkaca. Tapi setelah menerima anggukan penyemangat, ia mulai menjawab. Tangannya ditangkupkan di atas paha dan kaki-kakinya seperti kedinginan.
“Benar, Pak.”
Kapten itu mengangguk. Perasaannya berkata bahwa interogasi bagian akhir ini tidak akan sesulit saksi-saksi sebelumnya. “Terima kasih. Pertanyaan berikutnya. Apa benar Anda punya kedekatan personal dengan korban? Saya dengar dari saksi-saksi lain, teman-teman Anda, bahwa Anda sedang berpacaran dengan Mozé? Apa betul?”
“Tidak, Pak. Kami belum sempat pacaran, rencananya tadi itu …”
“Tadi apa?”
Adam menegakkan badan dan merapatkan lengannya ke pinggiran meja. “Mereka tidak ada hubungan apa-apa, Pak Marzuki.”
“Saya minta Anda diam dulu,” seru kapten Marzuki sambil mengangkat telapak tangannya. Pertanyaannya berikutnya berjalan lancar dan Mila menjawab dengan tegas setiap pertanyaan yang menghubungkannya dengan korban. Adam menyandarkan punggungnya dan lebih banyak mendengar sampai akhirnya ia kena giliran.
“Saya hanya menemani keponakan saya, Pak. Sewaktu terdengar jeritan dari arah belakang, barulah saya berlari ke dalam dan menemukan korban sudah meninggal. Tidak ada barang bukti yang disentuh, saya bisa jamin itu.” Adam menjelaskan singkat saja dan tidak mau bertele-tele. Marzuki nampaknya cukup kesal dengan perangai itu dan kesulitan mengetik informasinya di papan tombol komputer.
“Bagaimana Anda begitu yakin bahwa tidak ada bukti yang dibawa keluar?”
Adam menggeleng sambil melipat dua lengannya di depan dada. “Kecuali pembantu yang menjerit itu pelakunya, tidak mungkin ada barang yang keluar dari kamar mandi itu, bukan? Saya bisa memastikan itu. Silakan dicocokkan dengan kesaksian dua pekerja rumah tadi.”
Marzuki diam sejenak dan hanya menatap Adam dengan tajam. Adam lantas mengembangkan senyuman nyinyir kemudian mengangkat dua alisnya. Kapten itu menyerah. Lima belas menit lewat pukul satu pagi itu, mereka semua diperbolehkan pulang.
Adam menyetir dalam diam karena Mila telah lelap tertidur di kursi sampingnya. Saat tiba di depan pintu rumah putih yang teduh dengan beberapa atap bambu tempat rumpun anggur menggantung buah-buah kecilnya. Adam turun dan memapah Mila yang terkantuk-kantuk.
“Terima kasih, om.”
“Mila,” Adam kembali memanggil saat keponakannya itu sudah menyentuh pegangan pintu. Mila membalik badan.
“Tolong kalau ada apapun yang Mila terima, SMS, telpon, atau apapun yang menyinggung kasus ini, kasih tahu saya.”
Mila mengangguk sambil tersenyum, berusaha menutup rapat-rapat kesedihan dan rasa terpukulnya. Hal yang tak mudah baginya, melewati malam yang seharusnya jadi ingatan indah.
“Om tahu ini tidak mudah, melewati hal-hal ini, semuanya terjadi begitu saja. Jadi … kalau Mila butuh teman bicara, jangan sungkan-sungkan hubungi om ya.”
Anak itu mengangguk lembut. “Terima kasih, om Adam.”
Adam lalu menuju mobil dan berpikir sendiri di belakang setir. Sebuah kematian yang sudah dipastikan adalah pembunuhan. Komputer lipat dan kata sandinya yang terlalu mudah. Anak itu bisa saja memang tidak ingin melibatkan apapun terkait komputernya dengan kematian ini. Tapi Adam sibuk memikirkan noda-noda darah yang tertempel di beberapa tombol komputer itu, seakan-akan Mozé menekannya untuk suatu tujuan. Tapi untuk apa, belum pasti. Pikiran berliuk-liku seperti udara dingin yang dari luar. Adam memutar kenop yang merapatkan kaca jendela mobil itu sampai kabin benar-benar hangat. Kemudian ponselnya berdering mengagetkan.
“Halo?”
“Adam.”
“Siapa ini?”
“Kuharap kau tak membutuhkan nama. Tapi sebuah fakta. Apa kau akan percaya jika kukatakan bahwa akulah yang membunuh anak itu? Mozé ya namanya?”
“Jangan bercanda.”
“Oh ayolah. Penelepon iseng yang memberitahukan seorang manajer bahwa ada bom di lantai lima hotelnya pun wajib dipercaya kan?”
Adam terdiam sejenak. Panggilan itu hening dan Adam mencoba menebak apa yang jadi latar suara di seberang sana. Tapi hasilnya nihil. Tak ada suara orang lain, tak ada suara lalu-lalang kendaraan, bahkan tak ada suara gesekan tangan dengan telinga. Seperti telepon ini benar-benar direncanakan di sebuah tempat yang tak biasa.
“Sekarang kau percaya.”
Adam coba mengatur nada bicaranya. “Katakan saja siapa dirimu.”
Tapi suara di seberang itu tertawa. Suara menengahnya terlalu berat untuk seorang perempuan remaja, jadi Adam langsung memperkirakan kalau penelepon itu adalah perempuan matang yang tahu ke mana harus berpikir dan berbicara. Adam mulai hati-hati.
“Anonim. Tanpa nama. Untuk awal kurasa petunjuk itu sudah cukup. Tangkap aku, dan kau akan bisa membongkar kasus kematian malang ini. Dah.”
Adam menatap kosong menembus kaca depan mobil. Ia seperti tak mendengar dua waria yang berlalu dan berteriak-teriak melalui mobilnya. Ia juga seperti tak melihat silau lampu kendaraan gandeng yang menyorot jauh dari lajur jalan sebelah. Panggilan besar benar-benar menyita perhatiannya, menciptakan cabang baru yang baru saja ia raba atas kasus ini. Ia tahu spontan bahwa hal ini serius, meski kemungkinannya untuk motif iseng dan tanpa alasan tetap diperhitungkan. Seseorang yang menelepon barusan seperti pernah ia kenali sebelumnya, dan itu yang justru meyakinkannya bahwa semua ini harus dihadapi lebih serius. Dan lebih hati-hati.
“Anonim. Ya, tentu saja. Mari bermain-main.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H