Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mobil Pertama

8 September 2012   03:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:46 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itu adalah Porsche Panamera keluaran terbaru.

Dengan suaranya yang disebut-sebut paling halus meski sebenarnya bising bagi kawanan anjing di pinggir jalan. Melaju mulus di atas aspal melewati jalan tol Maasdijk, Elfweg, sampai akhirnya berbelok ke arah barat laut di jalan Steurweg, sebuah kompleks pabrik seluas lebih dari sepuluh hektar tempat bunyi-bunyi mesin beradu dengan serak-serak kehidupan yang bangun. Hasilnya, predikat penting bagi The Hague sebagai kota industri.

“Apa yang spesial dari mobil ini, sayang?” tanya suara manis ketika kendaraan itu hanya bergoyang ke kanan melewati gaya belok. Nyaris tanpa goncangan.

Yang ditanya tersenyum. Membenarkan posisinya di kursi belakang itu hingga bisa menatap mata istrinya dalam-dalam. Ferdian melihat senyum yang jauh lebih indah daripada embun-embun kota Den Haag tiga hari lalu atau bulir basah di jendela mobil itu. Pertanyaan istrinya itu tak ia jawab, hanya memandang mesra.

Istrinya kikuk lalu mukanya memerah. Indahnya semalam masih terbayang di matanya, tapi pagi ini suaminya nampak begitu senang dan misterius. Tempat yang mereka tuju sepertinya begitu penting, dan Luna memilih tak melanjutkan pertanyaannya. Hampir setengah jam kemudian mereka tiba di halaman sebuah gedung megah bergaya separuh Georgian dengan tembok putihnya yang dijaga tetap asri. Berlantai tiga dengan bendera Kerajaan Belanda tertopang tiang miring di atas pintu masuknya. Ferdian menggandeng istrinya masuk dan meminta sopir taksi termahal itu menunggu sebentar. Beberapa gulden berpindah tangan.

LOUWMAN NATIONAAL AUTOMOBIEL MUSEUM. Begitu tertulis di dinding depannya. Masih sepi. Beberapa petugas kebersihan melihat heran karena kedua tamu ini berambut hitam dan badannya mungil.

Setelah masuk dipandu seorang petugas, Ferdian dan Luna langsung sumringah. Mereka seperti disambut sebagai raja dan putri, karena kebetulan ruangan yang tadinya redup tiba-tiba disinari lampu yang menyala perlahan, kekuningan membuat benda-benda yang dipajang itu berkilau.

Ferdian langsung mendekati koleksi dari abad kesembilan belas, karya Carl Benz yang masih dilengkapi mesin uap dan empat rodanya yang terbalut karet padat tanpa udara. Sementara Luna tertarik dengan koleksi Porsche dari masa ke masa yang dipajang di sisi selatan dekat jendela raksasa berhiaskan ratusan butir kaca, juga tiga purwarupa Dodge berbentuk setengah bola, Ford, hingga yang bertuliskan Toyoda. Museum mobil Louwman menceritakan sejarah, membuat Ferdian berdebar-debar. Tapi, tak ada yang membuatnya lebih kagum dan berdegup ketika ia berbelok ke sebuah ruang kecil di pojok terdalam museum. Luna mengejar suaminya.

Kendaraan itu sudah dipagari pita tebal berwarna merah darah dengan tiang warna emasnya. Lebih mirip andong, atapnya terpal dan rodanya besar namun kurus berbalut kayu pohon Tanjung. Hanya satu tuas di sebelah kiri sepertinya untuk mengontrol aliran uap, ataukah rem. Kemudinya kecil, dan nyaris tidak ada kaca menempel di bodinya. Ferdian langsung tahu bahwa inilah mobil yang dicarinya. Lengannya didekap oleh istrinya yang mengelus, setia mengikuti kesenangan.

“Apa yang spesial dari mobil ini, Meneer?” tanya pemandu museum.

Tapi lagi-lagi Ferdian hanya tersenyum. Pemandu museum itu terheran karena tamunya mengangkat telapak tangan dan menolak saat dirinya ingin menjelaskan mobil apa ini.

“Saya tahu persis, mobil apa ini,” kata Ferdian nyaris berbisik. “Ini mobil yang jadi alasan saya terbang selama puluhan ribu kilometer dari sebuah kepulauan di Asia Tenggara. Ini mobil dengan sejarah panjang, penuh kelucuan dan cinta di latar belakangnya.”

Petugas museum itu menggosok dagunya. Soal cinta ini baru pertama kali juga ia dengar, dan terang saja ia memilih mendengarkan. Sementara Luna sudah siap menyimak. Ia tahu tanda-tanda suaminya ingin berkisah.

“Kisahnya dimulai pada 1895,” Ferdian memulai. “Ketika ladang masih banyak di Surakarta.”

Petugas jaga museum itu membasahi bibirnya. Kacamatanya ia rapatkan ketika merosot karena keringat pagi.

“Ada seorang pemuda bernama Nukman, duapuluh enam tahun umurnya waktu itu. Ia sedang bersibuk seharian dengan bisnisnya menjahit baju untuk beberapa guru sekolah Hindia Belanda. Kemudian pada suatu hari mendengar kabar seorang gadis sudah kembali dari perantauannya di Andalas. Asia, nama gadis itu. Nama yang membiusnya seketika. Setelah mendengar bahwa ia masih sepupu jauh dengan gadis itu, ia bertekad mempersuntingnya sejak hari pertama. Singkat cerita, ia tak pernah berhasil menemui Asia, meski rumah mereka berjarak hanya satu kampung. Tapi ia berkirim surat, lewat seorang temannya, pedagang juga. Surat itu disampaikan ke Asia dan beberapa kali terbalas.

Sungguh senang Nukman tentunya, tapi kebahagiaan itu tak berlangsung barang seminggu. Karena pada hari kesepuluh, ia menerima kabar bahwa Asia sedang dekat dengan seorang pedagang alat-alat pertanian. Belakangan ia dengar nama orang itu, Naim. Nyaris haji, jadi kekayaannya jelas jauh lebih tinggi dariku, pikir Nukman. Lesu ia seketika, karena beberapa kali Naim memberikan barang-barang mewah untuk Asia, langsung ke rumahnya. Lebih nesu, karena Naimlah yang selama ini ia percayakan untuk surat-surat cinta.”

Ferdian menghela napas, dan lagi-lagi merasakan gosokan hangat di lengannya. Luna menyimak penuh simpati sampai keningnya mengkerut.

"Benda terakhir yang dijanjikan seorang Naim adalah sepeda motor. Tapi mendengar Nukman tahu janji gombal itu hanya pepesan kosong, karena kabar tentang sepeda bermesin itu terdengar hanya ada di Belanda sana. 'Tidak mungkin lah, mana mungkin sepeda bermesin itu ada di sini. Kali ini tidak bisa dia, si Naim itu. Aku pasti bisa dapatkan Asia,’ batin Naim dalam hati. Tapi, kabar buruk itu benar adanya. Guntur menggelegar, ketika tiba-tiba Nukman terbangun di pagi buta. Bunyi mesin itu belum pernah ia dengar sebelumnya. Menderu lewat kemudian menjauh, ke arah utara. Ke kampung sebelah! Ia pun bergegas lari keluar, meninggalkan sandal kayunya dan berlari sekencang mungkin. Orang-orang mengikuti suara itu, heboh. Sesampainya di tempat bunyi itu akhirnya berhenti, orang-orang sudah berkumpul, dan Nukman hanya bisa melongok di antara kepala orang-orang. Di halaman rumah, hanya seorang Londo tinggi yang bisa ia lihat tersenyum sumringah dan berjabat tangan dengan seseorang. Oranga-orang bertepuk dan bersorai. Nukman berusaha mengintip, mendesak maju, dan terkejutnya ia ketika melihat Naim dan Asia saling malu, tak berani pegang tangan tapi saling malu-malu. Naim yang mengenakan peci putih itu hanya mengelus sadel kayu sepeda bermesin yang kini terparkir cantik di depan Asia.

‘Neng Asia, ini aku belikan sepeda motor untukmu!’

Orang-orang bertepuk tangan. Nukman pulang dengan lesu. Cintanya tersapu tanah, terbang bersama debu dan menghilang di atas Bengawan Solo.

Nyaris menyerah karena cinta, Nukman memperbanyak ibadah dan kembali menjahit. Suatu sore, ia melintas di dekat Masjid Agung hendak ke Pasar Gede, ketika ia mendengar mesin itu menderu lagi. Londo sama yang ia lihat beberapa hari. Ia langsung masuk ke tengah jalan, mengabaikan perhatian orang-orang yang sama kagumnya dengan sepeda motor itu, Nukman langsung membuka dua lengannya dan membuat Londo itu terkejut lalu seketika mengerem.

‘Hoi! Apa yang kau lakukan, pribumi!’ hardik Londo itu. Tapi Nukman kemudian mendekat, menatap tajam, beberapa jenak, berbicara, hingga akhirnya membuat Londo itu tertawa lepas seketika sampai orang-orang di pinggir pasar ikut terkekeh walau tak mengerti.

‘Jadi begitu ceritanya. Cinta ya, wah itu butuh perjuangan, teman,’ kata Londo itu kepada Nukman yang sedih membungkuk di atas bangku kayu panjang depan warung sayur. Jalan-jalan masih bertanah jadi ia merasakan kegersangan luar biasa di hatinya sama sekali tak terobati.

Londo itu memperkenalkan dirinya sebagai John C. Potter, seorang pengusaha kendaraan bermotor yang ia bawa langsung dari Jerman. Bisnisnya berjalan selama dua tahun dan baru membawa dua sepeda motor ke Jawa. ‘Ada sebuah pesanan besar untuk seseorang yang penting di Surakarta ini. Barangnya mendarat akhir Desember, ini gulden! Nukman, Gulden!’ Mata Potter berbinar. Pemuda itu sepertinya lebih memilih kehidupan lajang dan mengurusi mesin-mesinnya.

‘Tapi maaf, aku tak bisa memberikanmu sepeda motor tanpa gulden, temanku Nukman. Aku dukung perjuanganmu mendapatkan Asia. Dia gadis yang cantik, dan ssssh,’ Potter melirik sejenak memastikan hanya mereka berdua yang mendengar apa yang akan dikatakannya. ‘Menurutku kau lebih cocok dengan gadis itu daripada anak Meneer Haji. Lelaki itu gila harta. Dan sepeda motor itu sebetulnya belum lunas. Berbahagialah! Oke!’

Tentu saja Nukman bahagia. Pertemuannya dengan Londo bernama John Potter ini ia rasakan seperti akan mengubah hidupnya. Ia belum tahu akan mengupayakan berapa ribu gulden untuk membayar lunas sebuah sepeda motor, tapi ia makin rajin menerima pesanan baju. Bahkan, ia membuka usaha kursus jahit untuk beberapa tentara Hindia Belanda agar mereka bisa memperbaiki seragam mereka sendiri. Upaya itu cukup menghasilkan, dan dalam tiga bulan Nukman berhasil mengumpulkan uang untuk membayar satu roda sepeda motor.

Langit malam begitu hening, dan warung jahit Nukman seperti sedang mengaji. Tak mau diajak bicara, membuat Nukman hanya duduk menghitung bintang. Berharap menemukan dua mata Asia di sudut sana.

Tiga bulan berlalu, dan Keraton sibuk membimbing Pakubuwono X untuk menyambut jamu tujuh puluh raja seluruh Nusantara untuk menghadiri gelaran Gerebek Maulud yang akan digelar beberapa hari lagi. Nukman menjahit sehari-hari, rutinitas saja, pikirannya sudah terbawa suasana dan uangnya terus mengalir dari pesanan-pesanan baju dan celana tentara. Ia bahkan nyaris melupakan kisah cintanya yang tak tersampaikan kepada Asia setelah menerima dua ratus gulden hasil jahitan dua distrik komando di Celebes.

Tapi tamunya siang itu mengejutkannya, membuatnya begitu girang hingga ingin memeluk. James Potter mengangkat telapak tangannya berkali-kali berusaha menghalau Nukman yang berjingkrak-jingkrak berusaha memeluk dan menciumnya. ‘Hey … hey. Easy!’ hardik si Londo.

‘Apa benar seperti itu! Wah bagaimana kau melakukannya? Benar untukku?’ tanya Nukman sambil memukul-mukul meja. Berita yang dibawa Potter itu benar-benar membawanya kembali melayang sampai ke tengah langit Hindia. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia begitu mencintai Belanda meski ia tak yakin apa kebangsaan kawan barunya ini. Potter menyeruput kopi pahit yang disuguhkan dan dengan tersenyum mulai menjelaskan.

‘Ya. Aku bahagia karena pesanan besar yang kuceritakan kemarin telah sampai. Pembelinya mengaku senang, dan sebagai pengganti uang terima kasih aku meminta hal kecil ini buatmu. Aku salut atas perjuanganmu mengejar cinta gadismu. Jadi kuputuskan membantumu, semoga ini cukup bisa mendorongmu terus untuk maju,’ Potter menghela napas. ‘Lagipula, aku kesal. Naim tak pernah membayar tagihan bulanan untuk sepeda motor itu. Sepertinya aku akan menariknya. Seseorang di Batavia sedang menunggu pesanan. Jadi … ya semoga berhasil, Nukman. Sampai jumpa dua hari lagi. Selebihnya sudah diatur pihak sana. Aku cukup dekat dengan orang-orang Keraton, dan aku nyaris tak percaya permintaan konyolku ini dikabulkan oleh PB.’

Yang terjadi dua hari kemudian, benar-benar mengubah kehidupan Nukman. Drastis, dalam artian sebenarnya. Kirab Maulud Nabi menggotong sebuah gunungan besar berisi buah dan beberapa makan di depan, tapi apa yang mengejutkan orang-orang dan kelompok ndalem keraton adalah yang menderu itu. Sulran Pakubuwono telah mencoba kendaraan barunya. Sang Raja tak lagi mengendari kereta kencana. Tapi sebuah kereta bermesin!

1895 BENZ PHAETON

Begitu tertulis di kereta bermesin itu. Sultan Pakubuwono X sumringah sambil melambaikan tangan untuk rakyatnya. Tapi yang mengherankan, di barisan kursi belakangnya duduk sepasang muda-mudi yang mengenakan pakaian ala keraton, lengkap dengan riasan dan bunga janurnya. Nukman telah bersanding dengan Asia, tapi ini bukan pernikahan. Ini salah satu kejutan saja. Permintaan Potter benar-benar dilaksanakan PB X. Pemimpin keraton Surakarta itu lantas mengedipkan satu matanya kepada Londo yang memberikannya kendaraan istimewa itu.

Mobil pertama di Jawa, dan mungkin, di Nusantara. Dibuat oleh seorang pedagang bernama Carl Benz, dan dikirim langsung dari Jerman. Potter ahli dalam perdagangan antarbenua, dan mobil ini adalah prestasi baginya. Londo muda itu melambaikan tangan kepada iring-iringan yang berlalu.

Di atas kereta mesin itu, Nukman duduk malu-malu karena Asia nampak begitu tersipu. Kondenya nyaris jatuh tapi lelaki kecil itu langsung memperbaikinya, membuat orang-orang terkekeh bahkan beberapa pengawal Londo saling dorong.

Di salah satu pojok barisan penonton, Naim cemberut dan melepas peci putihnya. Pupus sudah cintanya untuk Asia, gadis itu beralih ke seorang tukang jahit yang mendadak terkenal. Tapi saat lamunannya makin parah dan membuat kepalanya panas serta pandangannya berkaca-kaca, ia tak sadar seorang Londo sudah berdiri di depannya, tersenyum sumringah sambil membuka telapak tangan. ‘Haji Naim, saya perlu uangnya, atau, kembalikan sepeda motornya. Sekarang!’

Naim kalah. Dan Nukman sumringah. Penjahit itu menikahi gadisnya pada 1899, dan bulan madu mereka paling spesial karena dibawa dengan mobil menonton di bioskop pertama di Batavia, yang dibangun oleh seseorang bernama Talbot. Iring-iringan mobil kereta dan beberapa mesin lebih modern menemani mereka, termasuk keluarga pengusaha Kretek dari Kudus.

Ferdian menutup ceritanya dengan mengusap hidung. Napasnya ia atur hingga tenang, meninggalkan ketagangan dan emosi yang meluap-luap. Luna tersenyum dan matanya nampak berseri setelah cerita suaminya itu rampung.

Museum Louwman mulai dipadati pengunjung, tapi petugas jaga yang memandu suami istri itu malah sibuk dengan pulpen dan buku catatan di tangannya. Ferdian tersenyum melihat tingkah lucu orang itu, membayangkan betapa tak semua Londo di masa lalu merugikan pribumi. Terutama di Surakarta, tanah kelahiran buyutnya, tanah semua sejarah yang ia ceritakan berawal.

Di depan mereka kini, mobil Benz Phaeton berwarna hijau tua dengan garis aksen merah itu seperti meranggas ceria. Cahaya memantul lebih berkilau di sekelilingnya.

***

“Aku rasa aku sudah tahu apa yang spesial dari mobil ini, sayang. Mungkin, setiap mobil punya kisah cintanya sendiri.”

Gumaman ringan itu kini terdengar jelas di telinga Ferdian. Meski ia lagi-lagi tak membalasnya dengan perkataan. Ia hanya menggenggam tangan Luna yang memeluknya di kabin belakang taksi itu.

“Nyaman di belakang, Meneer?” tanya ramah sopir gemuk yang membawa mereka. Tahun 2009 ini begitu hangat di kota ini, dan Ferdian berpikir ia harus kembali lagi ke sini suatu waktu.

Dari kota itu mereka akan kembali ke Den Haag, berfoto di Jalan Kartini sebelum kembali ke Surakarta. Tanah tempat cinta bersemi dengan banyak cara.

***

James C. Potter menjadi sales pertama yang mengurusi pengiriman kendaraan bermotor dari Eropa. Mobil Benz Phaeton adalah mobil pertama yang ia bawa ke Nusantara. Bermesin uap dengan mesinnya satu silinder. Berkapasitas bahan bakar 2 liter dengan kekuatan 5 tenaga kuda.

*

Ilustrasi diambil lewat louwmanmuseum.nl.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun