Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teka-teki Alika (4)

27 Agustus 2012   15:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:15 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13455125431346251675

Misteri lembar teka-teki itu mulai terkuak.

Tapi Adam masih perlu memastikan arti dari petunjuk awalnya.

(Sebelumnya ....)

Pagi itu berlalu dengan nuansa yang dingin dan malas. Sekitar satu jam Adam menunggu sampai akhirnya Rustam turun dari kamarnya sambil merapikan kemeja. Nampaknya ia sudah siap ke kantor. Adam berdiri dan lalu menyapa tuan rumah itu. Di balkon lantai dua, nyonya rumah baru saja balik badan dan berjalan lunglai kembali ke kamarnya. Sepertinya aktivitas malam hari keluarga ini lebih menyenangkan daripada siang atau pagi hari.

“Ada apa, Pak Adam? Sudah ada perkembangan dari teka-teki yang ditinggalkan Alika?”

Adam menggeleng. Ia mengangkat kertas teka-teki itu kemudian berkata, “Baru satu petunjuk yang mencuat. Itupun baru bisa terbukti kalau saya diizinkan melihat kamar korban. Maaf, maksud saya kamar Alika.”

Rustam berpikir sejenak, kemudian mengembangkan senyum sosial yang menyanggupi. Dengan langkah tegas ia lalu mengantar Adam kembali naik ke lantai dua setelah dengan singkat melayangkan isyarat tangan kepada Tikno pembantunya agar memanaskan mesin mobil. Adam mengangguk ketika menangkap pandang Lilis, ibu rumah tangga yang nampak malu-malu dan tak banyak bicara itu. Ia hanya duduk dan menyisir rambutnya di dalam sana. Adam memilih cepat-cepat berlalu. Hanya dipisah satu kamar kosong, setelah kamar Rustam adalah kamar yang ukurannya cukup luas untuk seorang anak kecil.

Dinding kamar itu dicat biru tua dengan lukisan bulan-bintang di kebanyakan sisinya. Tentu saja ada ornamen bulan dan bintang yang tergangung di langit-langit dengan beberapa utar benang plastik. Ada pula mainan berupa miniatur pesawat dan kompas-kompas sederhana. Adam memeriksa bagian lemari kecil yang berlaci di dekat tempat tidur tunggal bertiang empat. Mengangkat alisnya kemudian beredar lagi ke ruangan lain.

“Alika nampaknya benar-benar menggemari sains,” komentar Adam pelan sambil terus melakukan pengamatannya.

“Ya,” jawab Rustam. “Dia sendiri yang memaksa saya biar bisa sekolah di SD Pelita Harapan, waktu itu. Naik SMP pun dia favoritkan guru-gurunya di mata pelajaran IPA. Fisika, biologi, apalagi  matematika.”

Adam lama diam sebelum menyeletuk. “Otak kiri.”

“Maaf?” Rustam nampak tak terhubung dengan komentar Adam barusan.

“Kecenderungan fungsi otak. Anak-anak penyuka angka dan sains terapan biasanya kuat di otak kiri. Mereka lemah di hal-hal seni dan pekerjaan yang mengandalkan imajinasi.”

“Oh.” Rustam mengangguk mungkin paham pada akhirnya.

Adam berdeham.

“Tapi sepertinya Alika cukup cerdas melatih otak kanannya. Lihat.”

Rustam mengernyitkan dahinya karena Adam tiba-tiba mengeluarkan selembar kertas dari balik kasur tempatnya berjongkok beberapa saat lalu. Kertas itu menampung gambar seekor gajah yang berdiri dengan dua kaki belakang, sementara kaki depannya terangkat ke udara hampir sama tinggi dengan ujung belalainya yang menggantung. Gambar yang kasar, sepintas. Tapi pilihan warnanya sangat sesuai dan bahkan pengendara gajah di gambar itu menegaskan bagaimana imajinasi anak bekerja. Alien berwarna hijau, dengan mata hitam lonjong dan antena kecil di tengah kepalanya. Bahkan jari-jarinya nampak lucu bulat menempel di perut gajah. Adam menurunkan gambar itu lalu melihat tulisan nama di sudut bawahnya.

“Saya baru lihat gambar itu, sebelumnya belum,” kata Rustam.

“Ya. Ini dilukis tiga bulan lalu. Alika cukup mahir.”

Pengamatan di kamar itu berlanjut ke bagian lain. Adam memeriksa kamar mandi dan berhenti di sana selama satu menit lebih, kemudian mengecek kerai jendela yang sudah tertutup rapat. Rustam membenarkan saat Adam bertanya apakah di kerai jendela itu ditemukan jejak sepatu orang dewasa yang sama dengan bentuk jejak di tanah berumput di bawahnya. Saat Rustam duduk di kasur anaknya dan Adam merasa bebas memilah buku-buku yang tergeletak di atas meja belajar bercermin tegak, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Tikno masuk dengan memegang lengan kirinya, membungkuk kemudian menyampaikan sesuatu.

“Pak Adam. Maaf, telepon genggamnya berbunyi dari tadi. Saya temukan di meja bawah. Mungkin penting.”

Adam lalu tersenyum dan berterima kasih. Ia mengangkat telepon itu, berbincang singkat dengan kalimat penutup, “Tolong kau bawa juga komputer lipatmu itu, akan kukenalkan dengan seorang teman.” Tikno masih berdiri di pintu sebelum akhirnya Adam menutup telepon dan mengajak Rustam meninggalkan kamar itu.

“Rekan saya Eno akan tiba di sini beberapa menit lagi,” kata Adam saat mereka menuruni tangga. Tikno sudah terbirit turun untuk kembali ke garasi.

“O iya tidak mengapa, Pak Adam,” balas Rustam. “Saya yakin rekan Anda yang ini bisa dipercaya. Semua penyelidikan saya serahkan kepada Anda. Saya mau ke kantor dulu, tolong segera kabari kalau ada perkembangan. Lewat HP saja, biar bisa bicara langsung.”

Adam lalu berterima kasih setelah menyimpan nomor telepon yang diberikan tuan rumah itu. Bekerja pada orang lain di abad ini terkadang memang mengungkung, pikirnya singkat. Nyaris tak ada toleransi kebebasan bahkan untuk meratapi musibah keluarga.

Jam menunjukkan pukul sebelas lebih sepuluh menit saat Eno datang satu jam dari janji awalnya. Adam menyambut dengan senyuman di teras depan rumah itu. Roti lapis coklatnya masih sisa satu, sementara kopinya sudah habis dua gelas. Tikno sudah pindah bekerja ke dapur untuk menyiapkan makan siang, meninggalkan tamunya menguasai ruang depan sendiri.

“Tidak perlu minta maaf,” sapa Adam yang membuat Eno mengangguk malu. Ia sadar telah telat, dan seragam polisi yang dipakainya tentu bukan sesuatu  yang ringan untuk menerima sambutan menyindir yang panas begitu. Tapi karena ini Adam, pikirnya tak pernah ada masalah yang perlu dibesar-besarkan. Polisi muda itu langsung duduk di sofa tamu setelah melepas jaketnya yang berbahan denim warna cokelat pucat.

Setelah mengeluarkan komputer lipat dari dalam tasnya, Eno melihat sekeliling dan merasakan kesepian yang sama dengan apa yang terpancar sedari tadi dari mata Adam.

“Kukira kau akan mengenalkanku dengan temanmu. Mana? Tidak ada orang ini.”

Adam yang mendengar keluhan itu kemudian menggeleng dan melempar senyum. “Aku tadi bilang mau mengenalkan, bukan mempertemukan. Sekarang buka laptop itu.”

Adam meneguk lagi kopi dinginnya karena proses membukanya program komputer itu jauh lebih lama dari yang diharapkannya. Eno bersandar dan nampak sudah menyerah lebih dulu meski ia yang paling paham cara menggunakan perangkat itu. Dua menit kemudian, tampilan normal dan internet terhubung.

“Ini. Masukkan nama profil ini ke fasilitas obrolan,” pinta Adam sembari menyodorkan buku catatannya yang menampakkan bagian dalam dari sampul depan. Eno menyalin nama dan kode sandi yang tertulis di kertas itu, menunggu beberapa detik, sampai akhirnya jendela obrolan terbuka dengan sendirinya.

Untuk sesaat itu Adam mengambil kendali komputer, mengetik beberapa kata, mengklik beberapa bagian program, lalu menepuk tangannya. Yang nampak kini di layar adalah jendela obrolan khusus antara dua orang, dan satu jendela kecil yang hitam.

Adam mengetik beberapa kata lagi, menekan tombol kirim, dan lalu balasan datang. Selang lima detik kemudian, jendela hitam itu menampilkan gambar bergerak dari dua orang yang duduk berdampingan. Eno terheran karena melihat dirinya sendiri di layar itu. Kacamatanya persis dan bahkan gerakannya pun sama. Ibarat cermin.

“Apa, kau belum pernah pakai fasilitas kamera web sebelumnya?” Adam memancing. Tapi Eno nampaknya bisa mengendalikan rasa malu dan kikuknya. Ia tak menjawab pertanyaan itu.

Setelah Adam kembali mengetikkan sebuah kalimat yang membuat Eno mengangguk, muncul balasan.

Tidak masalah. Kukira dia tak banyak tahu soal peretasan atau bahkan sistem dasar komputer.

Biarkan dia masuk grup, Adam.

Hai, Eno. Salam kenal.

Eno bingung dengan kalimat-kalimat itu. Ia pernah mendengar soal aplikasi yang memungkinkan orang mengobrol dengan kalimat melalui internet, tapi ia tak menyangka hal itu benar-benar ada. “Kau tahu sendiri aku rabun, mana tahan main komputer sampai begini-beginian.”

Saat Adam puas menikmati momen yang baginya lucu dan menggelitik itu, ia menunjuk beberapa kata yang tulisannya sama di layar. Berwarna biru dengan bentuk huruf kecil dan mirip hasil ketikan manual zaman dulu.

“Eno temanku, perkenalkan teman kita Zul. Dia satu-satunya cipher, pakar teka-teki digital, kalau kau belum tahu apa artinya, di Jogja. Mungkin, di Jawa.”

Eno mengangguk. Kemudian memberanikan dirinya mengangkat telapak tangan kanan dan tersenyum kemudian saat melihat pantulan gambarnya ikut mengangkat tangan di layar monitor.

Ketikan masuk.

Teman kita ini lucu, Adam. Dia akan sangat membantu nanti.

Adam tertawa lepas.

Oh iya. Btw, ada apa? Ini masih pagi, dan kau menghubungiku seperti ada sesuatu.

Adam membalas. Ya, memang ada sesuatu. Eno terus mengamati perbincangan itu ketika Adam menjelaskan perkara yang sedang dihadapinya. Untuk urusan teka-teki dan algoritma matematika, ia tak punya pilihan bantuan selain Zul. Di benaknya orang Sunda yang tiap hari hanya berkencan dengan perangkat informasi itu akan sangat membantunya memecahkan teka-teki Alika.

Melalui pesan Adam lalu menyanggupi permintaan Zul untuk mengangkat lembar teka-teki itu di depan kamera. Lama tak ada balasan, lalu kertas itu ia turunkan lagi.

Ketikan pesan masuk.

Ini unik, Adam. Gambarnya sudah kusimpan. Siaga nanti jam malam.

Lalu aplikasi tertutup. Eno seperti merengek kepada komputernya sendiri karena Adam menutup aplikasi itu bahkan tanpa menunjukkan caranya kepada rekannya yang belum tahu apa-apa ini.

“Tadi itu bukan perkenalan,” komentar Eno ketus ketika memasukkan kembali komputer lipatnya ke tas. Adam yang menyeruput kopi sampai habis pun melirik.

“Apa maksudmu?”

“Ya itu. Kalian Cuma saling berbalas pesan lewat ketikan, kirim foto, sudah. Aku bahkan tak melihat wajahnya. Apa kau yakin dia bukan penipu?”

Adam menggeleng sambil mengangkat jari telunjuknya. “Zul ahli masalah teka-teki. Kau akan suka padanya jika jawaban yang kita tunggu tiba nanti malam.”

Siang hari mereka habiskan lebih banyak di luar rumah. Setelah berpamitan kepada Tikno dan menitipkan pesan untuk nyonya rumah, Adam dan Eno kembali ke kota dan mengunjungi sebuah sekolah yang nampaknya akan memberi informasi tambahan sebagaimana diperlukan.

SMP BUDI HARAPAN nampak mewah, tentu bisa dipercaya dengan tulisan RSBI di gerbang depannya. Gedung berlantai tiga dengan dua halaman olahraga yang bersambung sebagai plasa tengah. Lapangan bola basket merangkap futsal di bagian utara dan lapangan badminton merangkap voli di bagian selatan. Koridor yang mirip lobi sudah sesak dengan tempel-tempelan info lomba, pengumuman bahkan kotak-kotak mading. Bel baru saja berbunyi tanda istirahat siang. Adam masuk setelah melapor kepada pos satpam dan menyampaikan maksudnya. Mereka diterima seorang guru konseling didampingi wakil kepala sekolah bagian kesiswaan. Sofa-sofa pendek cukup untuk berempat.

“Maaf, Bu. Kedatangan kami kemari untuk bertanya beberapa hal tentang salah satu siswi sekolah ini. Alika. Jika Anda tahu …”

“O … Alika Septiana Rustam? Yang menghilang itu? Bagaimana kabarnya, Pak?” tanya guru konseling yang langsung menyela. Pipi gemuknya nampak mengkilap dan bingkai besi kacamatanya meluncur perlahan karena keringat. Ada dua pendingin udara di ruangan itu tapi tak satupun menyala. Kerai-kerai jendela terbuka dan kipas angin berputar lambat di tengah langit-langit.

“Itulah, Bu,” balas Adam ringan. “Kedatangan kami kemari  untuk menanyakan  beberapa hal, sekaligus supaya cepat bisa menemukan Alika.”

Guru itu nampak kecewa. Kecemasan mengaliri raut wajahnya. Sementara wakil kepala sekolah hanya diam dan menyimak. Kulitnya sudah terlalu keriput untuk berkeringat. Kopiahnya bertengger miring mirip seorang mantan wakil presiden.

Baru dua pertanyaan tersampaikan tapi Adam dan Eno sudah langsung saling tatap.

“Jadi, Alika tak begitu pintar di mata pelajaran matematika?”

“Ya. Begitulah, Pak. Nilainya dua semester terakhir bahkan nyaris merah. Untung kami ada program konseling dan praktik tambahan. Dia sedikit terbantu, sebelum menghilang ia sudah menyelesaikan tugas rumahnya.”

Adam menggosok dagunya. Catatannya kembali terbuka. Ada beberapa kata yang mengganggu pikirannya, tertulis di sana pada lembar-lembar awal bab kasus ini. Sementara saat kedua guru itu masih menampakkan wajah bingung, Adam justru diam dan membaca-baca lagi coretannya di buku kecil bersampul merah itu.

(Selanjutnya …)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun