Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teka-teki Alika (3)

23 Agustus 2012   15:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:24 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13455125431346251675

Sebuah teka-teki dan sebuah kalimat.

Anak itu sepertinya tahu cara membuat orang tuanya bingung.

(Sebelumnya ....)

Rumah itu benar-benar hening di malam hari. Hanya suara pembantu rumah dan sesekali bunyi televisi tembus dari dalam sebuah kamar di lantai atas. Tuan rumah tak lagi keluar sejak pertemuan mereka sore itu. Adam dan Eno dibiarkan bekerja sendiri dengan Tikno sebagai pembantu jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Tikno adalah pekerja multifungsi di rumah itu, meski kesibukan favoritnya lebih banyak di kebun dan garasi. Mereka tak banyak kegiatan sampai setidaknya pukul 20.00. Malam bergelayut dan rasanya waktu berjalan sangat lama. Adam tak habis-habisnya mengganti bacaannya antara buku-buku biografi Habibie dengan beberapa novel seri karya Habib Azzarkan.

1.Gejala tidur pada posisi salah. Tulislah.

Adam terus memerhatikan kalimat itu. Pikirannya bekerja naik turun. Menyadari perut belum terisi sejak siang tadi, ia berjalan-jalan sebentar dan mencari makan malam di warung angkringan terdekat. Lipatan kertas itu ia bawa serta sambil terus memikirkan jawabannya. Eno sedang tidak di situ. Tugas kantor memintanya kembali dan baru bisa bergabung lagi pagi hari berikutnya. Jadi Adam makan sendiri. Ia tak ingin menyibukkan pikirannya untuk bertanya mengapa tuan rumah punya jadwal makan malam yang begitu telat, atau mungkin memang malam ini tak ada acara makan.

Setelah menghabiskan dua bungkus nasi kucing dan empat tusuk sate, ia kembali membuka kertasnya dan sebuah pena. Cahaya temaram lampu gerobak agaknya cukup sesuai dengan suasana yang terpancar dari kotak-kotak itu. Gelap dan penuh misteri.

“Itu pekerjaannya Neng Alika, mas?”

“Hm?” Adam mengangkat wajahnya, kemudian mengangguk tersenyum setelah membenarkan pertanyaan oleh orang yang menyapa itu. Tikno ternyata bergabung beberapa menit setelah dirinya menuju gerobak angkringan. Tapi karena gelap dan warung itu cukup ramai, Adam tidak memerhatikan. Barulah saat pembantu keluarga Rustam itu menyapa, Adam terkesiap lalu membalas.

“Sepertinya Neng Alika ini benar-benar suka matematika,” komentarnya begitu saja.

“Ho oh memang benar, Mas. Saya sering gelagapan kalau ditanya sama si eneng,” kata pembantu itu mengisahkan. “Setiap mengantarkan ke sekolah, di mobil Neng Alika suka banget mencoret-coret kertasnya, menulis-nulis huruf terus disusun sendiri. Saya disuruh menebak, ya mana saya tahu. Wong cuma lulusan SD. Itu katanya didapat dari internet. Tweter atau apa begitu saya lupa namanya. Heran juga. Anak SMP seperti neng Alika cerdasnya bukan main. Mungkin papa sama mamanya saja bakal kewalahan kalau diajak main sama dia.”

Adam menyimak. Beberapa pertanyaan yang ia lontarkan hanya untuk memastikan dugaannya selama ini. “Alika selama ini selalu bangun pagi? Setahu Pak Tikno?”

“Maaf?” tanya Tikno memastikan pertanyaan. “O, iya. Saya selalu antar ke sekolahnya jam enam. Setahu saya Neng Alika tak pernah terlambat.”

“Begitu ya. Kalau Pak Tikno sendiri, tahu tidak Neng Alika pernah sakit? Maksudnya, ada penyakit tertentu begitu?”

“O, setahu saya tidak, Pak Adam.”

“O begitu.” Adam mengangguk paham. Buku catatannya kembali ditulisi beberapa kata ketika matanya kembali tertuju pada lembar teka-teki. Setelah beberapa jenak seperti menyusun kerangka pikirannya dan Tikno tak berani mengganggu, barulah percakapan kembali dimulai.

“Oh iya, Pak Tikno.”

“Dalem?”

“Kenapa malam ini tidak ada makan malam di rumah?”

“O, ada. Pak Rustam dan Ibu Lies makan malam di kamar, makanya saya disuruh kemari karena bapak tahu Pak Adam sudah berangkat cari makanan. Ini ada uang titipan.” Kemudian pembantu itu mengeluarkan selembar uang berwarna merah dan menyodorkannya kepada penjaga warung yang lalu gelagapan mencari uang kembalian.

Mereka kembali tiba di rumah setengah jam kemudian. Adam dan Tikno bercakap-cakap ringan tentang diri masing-masing. Dari situ terungkap bahwa pembantu itu sudah bekerja di rumah ini selama sebelas tahun atas ajakan Bu Lies. Tikno sebelumnya adalah pekerja bangunan yang berpindah dari satu kota ke kota lain. Tapi pekerjaan rumah tangga seperti memberinya kenyamanan, selain karena bayaran yang tak pernah kurang. “Keluarga ini cukup baik, tak pernah memarahi saya, walaupun beberapa kali bersalah.” Mereka berpisah di ambang pintu utama.

Adam kembali mempelajari lembar teka-teki. Pikirannya sudah resmi bertaut dengan huruf-huruf dan kalimat di situ. Satu jam duduk dan mencoba memecahkan, tak banyak petunjuk yang ia perolah kecuali beberapa kata yang ia catat di selembar kertas.

APNEA, SLEEP APNEA = NGOROK.

DATAR

MIMPI

Tak banyak kata yang bisa ditarik dari susunan huruf-huruf yang membingungkan. Adam menggosok dagunya dan mengetuk-ngetukkan pensil ke pinggir meja saat pikirannya buntu. ‘Temukan Kata’ adalah jenis teka-teki yang menyenangkan, sebenarnya. Bagi beberapa orang jenis permainan pikiran ini lebih menyenangkan daripada teka-teki silang atau sudoku yang lebih cocok untuk seorang penyuka matematika. Tapi yang ini tetap saja unik. Karena susunan huruf-hurufnya menggabungkan kata-kata dari banyak bahasa.

Kata-kata seperti WEDOK, WONG, dan WAWANCARA MIRIP, muncul sebagai kombinasi unik yang menggelitik logika. Adam menggeleng beberapa kali kemudian menandainya, tapi masih buntu. Malam itu berlalu begitu lambat, dan ia merasa tak menghasilkan apa-apa.

Pagi menyeruak dan cahaya matahari masuk menembus jendela besar langsung ke ruang tamu. Adam ketiduran. Jaketnya bahkan tidak terlepas dari badan. Saat membuka mata ia langsung melihat secangkir teh panas dan beberapa roti berlapis selai coklat kacang di meja. Bunyi air membasahi rumput dan tanaman sudah terdengar lagi dari halaman luar. Saat berjalan sejenak meluruskan badan dan membasuh muka, Tikno menyapa ramah dan langsung menyilakan Adam menikmati sarapannya.

Minuman hangat yang sangat menyejukkan, menenangkan pikiran yang tidur tiba-tiba. Semalaman tak menemukan jawaban, ia merasa tak berbuat apapun di hari pertamanya di rumah itu. Seperti komputer yang yang mengalami shut down tiba-tiba dan saat dibuka menampilkan system resume dengan tampilan apa adanya, Adam berpikir liar untuk sejenak itu. Lalu tiba-tiba ia sadar sesuatu. Ia buka kembali lembar ‘temukan kata’ dan kalimat petunjuknya. Juga memindahkan pandangannya ke beberapa kata yang berhasil ditemukannya dengan tinta merah.

Tak banyak yang terungkap, tapi ia cukup puas setelah mengubah susunan huruf-huruf barisan pertama yang menghasilkan kata baru yang mirip dengan yang ia temukan sebelumnya. Ia sejenak memerhatikan ujung alat tulis yang digunakannya. Cahaya matahari membentuk bintang cerah di bagian besi di bawah itu, tepat berbatasan dengan kertas yang memantulkan bayangan.

APNEA ternyata bisa menjadi APENA.

A PENA. Sebuah pena. Bodoh!

Setelah meneguk teh dan mengunyah sekerat roti lapis itu, Adam bergegas meregangkan badannya dan lalu meminta izin kepada Tikno untuk bertemu dengan tuan rumah.

“Di mana Pak Rustam?”

Tapi ternyata tuan rumah sudah berangkat kerja. Yang menurut Adam itu tak biasa karena jam baru menunjukkan pukul enam.

(Selanjutnya …)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun