Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Foto Hitam Vila Sawangan (1)

10 Agustus 2012   15:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:58 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MEMENUHI undangan makan malam bukan langgam seorang penyendiri yang lebih suka sibuk dengan pekerjaan dan buku-buku bacaan misteri. Tapi Adam kali ini melakukan pengecualian. Alasannya tak lain adalah karena yang mengundang adalah kawan lamanya waktu masih di bangku SMA.

Tomo Hasanuddin kini seorang pengusaha mebel sukses yang punya tujuh belas cabang usaha di sepuluh kota berbeda. Dalam rangka liburan tahunannya kali ini ke Jawa Tengah, saudagar itu sengaja mencari Adam, teman masa remajanya yang belakangan santer ia dengar dari media lokal di Yogyakarta. Berangkat dari kota sekitar pukul tujuh pagi, ia disambut di sebuah desa bernama Ketep, terletak di dataran tinggi kecamatan Sawangan yang termasuk wilayah distrik Magelang.

“Wah, Adam!” seru Tomo ketika kedua tamunya baru turun dari mobil penjemput berjenis van hitam. Adam tersenyum sambil membuka lebar-lebar kedua lengannya. Mereka berpelukan hangat dan saling menepuk punggung beberapa kali. Adam terkekeh sambil berceloteh. “Wah, sudah makmur kau sekarang, Tom.”

Tomo yang merasa tersindir menyadari alasan temannya berkata seperti itu lantaran perutnya telah membuncit besar dan badannya telah terasa berat. Memang ia beberapa tahun lebih tua dari Adam, jelas terlihat dari ubannya yang mulai tersebar di barisan rambut dekat telinga dan ujung dagu serta kumisnya. Merasa enak sendiri dengan reuni singkat mereka, Adam sempat meinta maaf karena lupa bahwa ia datang bersama seseorang.

“Oh, maaf. Ini Alina. Istri ...”

“Mantan istri. Tomo, kalau tidak salah dulu kita hampir satu SMA ya?” sapa Alina ketika menyodorkan tangannya. Tomo menyambut dengan berusaha mengingat masa lalu yang dimaksud “O! Kita ketemu di loket pendaftaran SMA itu ya, dan saya akhirnya tidak jadi daftar,” seloroh Tomo saat menggiring mereka ke tanah lebih tinggi menuju ambang pintu vilanya.

Udara dingin pegunungan menyeruak. Kabut menggeliat turun sampai ke atap-atap pondok kecil di lereng.

Baru akan memasuki pintu, tiba-tiba datang lagi sebuah sedan keluarga perak yang membunyikan klaksonnya ketika berbelok langsung ke dalam garasi.

Yang turun dari mobil adalah tiga orang muda enerjik. Yang turun pertama kali dan langsung berlari ke pintu adalah perempuan muda dengan suaranya yang soprano tipis. Tubuhnya mungil tapi langsing berisi. Wajahnya ceria dan langsung akrab dengan semua orang. Tapi yang dipeluknya pagi itu pertama kali adalah Tomo. “Ayah, kangen,” katanya manja. Tomo mengusap-usap punggung anak gadisnya itu ketika dari arah belakang mendekat istrinya, ibu rumah tangga itu.

Nyonya Ningrum Suditomo mewakili rupa perempuan Jawa yang santun dan teratur. Pundaknya sempit menunjukkan ia lebih sering mengarahkan sepasang lengannya ke depan dan bukannya ke samping. Dagunya lancip dan senyumnya terkembang proporsional dari bibir tipisnya. Rambutnya yang masih mengkilap terbalut konde modern dengan beberapa pita halus mengurai sampai ke bagian samping.

“Aduh tuan putri ini, sudah sana istirahat saja,” kata nyonya rumah itu. “Biar Bu Retno yang angkat koper-koper kalian. Oh, Yoga juga datang ya. Mari, Nak. Silakan masuk.”

Yang dipanggil Yoga itu seorang pemuda tinggi dengan badannya yang relatif padat berotot. Rambutnya rapi meski nampaknya tak pernah disisir karena sangking pendeknya. Ia melempar senyum kepada tuan dan nyonya rumah itu sambil mengangguk, sesaat setelah meniup telapak tangannya sendiri. Sudah lama Yoga dikenal oleh keluarga ini. Bukan hanya karena hubungan asmaranya dengan sang tuan putri sudah berlangsung hampir dua tahun, tetapi juga karena Ningrum memang senang dengan atlet pencak silat. Mengingatkannya kepada mendiang kakek buyutnya. Tapi di mata Tomo anak itu biasa-biasa saja. Merokok, baginya adalah coretan hitam di portofolio anak muda ini. Tomo merasa telah benar dengan mengikuti prefensi kebanyakan ayah terhadap calon menantu laki-lakinya, meski di satu sisi ia merasa itu terlalu konservatif.

“Maaf kami datang terlambat.”

Seisi rumah tak terkecuali Adam dan Alina menoleh kembali ke arah pintu. Di sana sudah berdiri seorang muda berjaket denim dengan kamera hitam yang tergenggam di tangannya. Digital Single-Lens Reflex selalu nampak menarik jika dibawa oleh seorang muda yang pakaiannya santai. Kacamata berbingkai tebal itu nampak sudah lama menutup mata agak sipit yang menemani senyum penuh hormat. “Aini, ini ketinggalan di mobil tadi,” kata pemuda itu sembari menenteng plastik hitam yang mengembang di beberapa bagiannya.

Aini melompat dari sofa dan langsung mengambil bungkusan itu. “Aduh, Aku hampir lupa boneka-bonekaku. Terima kasih ya, Lingga.” Gadis itu ceria dan mengedipkan satu matanya. Lingga tersipu dan mukanya memerah. Belum pernah dilihatnya gadis itu ceria seperti ini.

Tomo yang kembali ke ruang tamu setelah sejenak naik ke lantai dua lalu menyambut Lingga sang juru foto. “Wah, kau benar-benar datang rupanya. Saya kira Aini tidak akan salah memilih juru foto untuk acara kita malam ini.

Lingga mengangguk kikuk kemudian berterima kasih. Ia menatap ke mata Aini hanya sepersekian detik, kemudian membungkuk ke beberapa arah.

“Keluarga ini akan hangat dengan diresmikannya vila baru ini.” Tomo mengangkat kedua lengannya ke samping. “Pak Adam, Bu Alina, saya ucapkan selamat datang di persinggahan kami. Barang-barang Anda sudah ditempatkan di kamar atas oleh Bu Retno. Siang dan sore ini kita akan beristirahat sebentar dan sore semoga kita bisa berkumpul lagi di sini untuk berangkat ke Ketep Pass. Pemandangan matahari terbenam akan indah sekali dari sana, sambil menyaksikan kabut yang menyelimuti Puncak Merapi di sisi lainnya.

Pukul 13.30

Makan siang baru saja usai. Alina banyak bertukar cerita dengan Aini dan Yoga yang nampak bersemangat mendengar hal-hal seputar hubungan suami istri. Pasangan muda itu sudah serius menjalin hubungan meski di beberapa bagian candaan yang dibuat gadis lincah itu Yoga justru mesem-mesem dan tertawa sekenanya. Seorang mantan istri harus berkata sewaajarnya kepada anak muda. Meski telah bercerai dengan Adam, Alina tak menyinggung banyak soal perpecahan asmara.

Lingga diam saja di sisi meja lain. Tak banyak bicara, setipe pecinta seni kebanyakan. Hal-hal yang diomongkannya seputar fotografi senja dan mode landscape yang sangat menarik perhatian Adam dan juga Tomo. Mereka berdua bahkan beberapa kali beranjak dari kursinya dan merapat ke dua sisi Lingga, memerhatikan gambar-gambar angka dan perubahan cahaya yang diatur melalui layar kecil di belakang kamera oleh Lingga. Penjelasan anak muda itu lancar tanpa celah. Fotografi benar-benar dunia di mana ia menenggelamkan pikiran. Sementara Ningrum lebih banyak menyimak. Sang nyonya rumah sedang menikmati momen-momen hangat ini. Keceriaan keluarga sungguh tak ternilai.

Pukul 17.00

Setelah hanya bersantai dengan beberapa majalah dan buku di perpustakaan mini di sisi utara rumah, Adam dan Alina duduk berdua di sebuah bangku kayu di atas rumput. Tuan dan nyonya rumah sedang beristirahat di lantai atas. Rumah itu hening saat menjelang malam. Tenggelam bersama kebersahajaan desa pegunungan yang dingin. Hanya ada sesekali bunyi kendaraan bermotod dari kejauhan.

“Anak itu benar-benar menikmati dunianya.”

Alina tiba-tiba berkomentar saat Adam hanya memiringkan kepala dan mengernyitkan dahinya. Pikirannya tenggelam ke halaman pertama Codex Seraphinianus. Buku teraneh di dunia.

“Adam.” Alina coba menyambungkan perbincangannya lagi. Tapi respon mantan suaminya itu cukup unik karena langsung membalas komentar tanpa menoleh.

“Lingga fotografer. Orang seperti dia harus melihat yang tak dilihat orang kebanyakan. Sudut pengambilan gambar, kombinasi cahaya atas dan cahaya bawah, titik fokus, kecepatan gerak, sampai ke cara menekan tombol shutter-nya.”

Alina mencibirkan bibir karena merasa ditepis dengan cara yang tidak menyenangkan. Awalnya ia hanya berniat menjadikan topik itu sebagai basa basi, terlepas karena juru foto muda itu sudah berjalan ke arah mereka dengan wajah ramah dan malu-malu.

“Pak Adam, Bu Alina. Bolehkah saya foto kalian berdua?”

“Silakan saja. Tapi entah orang ini tahu caranya bergaya atau tidak. Dari dulu ia tak suka difoto,” sindir Alina membuat Adam kini tersenyum kecut. Satu jepretan dan jadilah. Adam untuk momen pendek itu mengagumi tanpa kata kemampuan Lingga memutar-mutar tombol dengan dua jarinya sekaligus, sampai akhirnya lampu kilat menyala dan hasilnya sangat memukau. Mereka lalu berbincang beberapa hal kecil, termasuk keluguan Adam yang bertanya kepada anak muda itu apa maksud buku yang dibacanya. Lingga tertawa dan menggaruk-garuk kepala. Alina menggeleng kemudian berdiri dari kursi.

Setengah jam kemudian Tomo sudah kembali siap di belakang kemudi mobil keluarganya. Van 4WD cukup layak untuk medan menanjak. Perjalanan seisi rumah itu ke Ketep Pass tak lebih dari sepuluh menit pada kecepatan normal. Lingga tetap duduk di kursi belakang ketika Aini dan Yoga bercanda mesra di kabin depan mobil kedua.

Ketep Pass pada awalnya adalah wilayah terlarang dan hanya ditempati petugas pemerintah dari Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Sejak 2002, kompleks yang terletak di titik tertinggi bukit Ketep dan berhadapan langsung dengan kawah Merapi itu dipermak menjadi kawasan wisata seluas hampir satu hektar dengan taman bermain dan plasa pantau yang ramai setiap jelang petang. Tak ada yang akan melewatkan momen matahari terbenam dari puncak tertinggi.

“Kau bisa melihat hal lembut pada matahari terbenam,” komentar Tomo ketika mereka berjalan kaki ke tempat yang lebih tinggi.

“Atau merasakan kekuatan Tuhan di puncak gunung berapi,” tambah Adam sekenanya. Tomo mengangguk dan membuat semua perempuan di situ kagum. Dua lelaki yang merasa muda itu kemudian berdebat soal mana yang lebih cocok mewakili jenis kelamin laki-laki: gunung atau matahari.

“Kukira dua-duanya laki-laki, dan bumi beserta isinya adalah perempuan-perempuannya.”

Lingga yang berlalu sambil tersenyum setelah mengutarakan kalimat itu berhasil membuat kedua laki-laki tua itu mengangguk kalah. Alina dan Ningrum lah yang dibuat tersenyum merasa dibuai.

Adam dan Tomo bernostalgia dengan beberapa candaan, cara mereka untuk tahu cara menguasai momen. Tapi tak berapa lama para pemuda sudah menghilang dari rombongan, menemukan tempat mereka sendiri.

Untuk beberapa menit itu Adam dan Alina hanya saling tersenyum dan lebih banyak diam, mengikuti matahari dari atas bangku panjang terkuasai. Langit mengoranye dan bulatan cahaya itu menyambut awan yang perlahan menutupnya dengan segan. Kemudian mengilang dari punggung bukit.

Pukul 19.15

Meja makan yang panjang. Oval dan terbuat dari rangkaian kayu dan bambu yang terukir rapi. Retno sudah beberapa kali mondar-mandir di sekitar situ ketika para tamu datang satu per satu. Adam tiba duluan dengan tetap membawa buku misteriusnya. Yoga dan Aini bergabung beberapa menit kemudian tanpa saling bicara. Barulah bergabung Tomo dan istrinya Ningrum dengan bergandengan tangan dari tangga. Membuat Aini cemberut dan membuang muka ke tengah meja.

“Di mana Lingga?” kata Adam tiba-tiba ketika menyadari sebuah kursi masih kosong. Semua kebingungan tak terkecuali Tomo dan istrinya. Sementara Aini  mulai mengangkat mukanya yang sembab dan mengedarkan pandangan. Tak lama kemudian, tiba-tiba terdengar jeritan dari arah dapur.

Yang di meja makan berhamburan meninggalkan hidangan yang telah siap. Retno, pembantu rumah tangga itu sudah terduduk di lantai koridor gelap yang mengarah ke halaman samping. Tomo bertanya dan mengikuti arahan telunjuk pembantunya, kemudian kembali lagi dengan meminta istri dan anak perempuannya untuk mundur. Adam menyusul Tomo kembali ke halaman samping setelah mengisyaratkan Alina untuk menjaga yang lainnya.

Tubuh itu terlungkup di permukaan air. Tali kamera berwarna hitam dan merah masih menyilang antara pundak dan pinggangnya. Jaketnya masih terpasang, hanya satu sepatunya yang berada di pinggir kolam. Kulit anak itu telah putih kebiruan.

“Aaaa …! Lingga!” teriak Aini kemudian mendekat. Yoga mencegatnya dan membawa kekasihny itu kembali ke ruang depan. Tomo dan Adam lantas bekerja sama mengangkat mayat itu dari dalam air. Ningrum dan Alina hanya bisa menutup mulut ketika pembantu rumah itu sudah memalingkan wajahnya ke arah dinding. Polisi telah dihubungi. Makan malam dibatalkan seketika.

Pemuda juru foto telah tewas. Dan kamera itu masih di tangannya.

(Selanjutnya …)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun