Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kematian Ganda (9)

8 Agustus 2012   15:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:05 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13425301611058878093

Suratmi ditahan.

Adam berpacu dengan waktu agar fakta terungkap tanpa korban tambahan.

(Sebelumnya ....)

Kota lebih ramaih dari biasanya membuat kepala Adam berdenyut-denyut saat mengendarai sepeda motornya membelah lalu lintas menuju utara. Salon EVILIA menjadi tujuan berikutnya sebelum menuntaskan pembalikan fakta besar yang telah disusunnya dalam detik-detik terakhir. Orang-orang mulai berkumpul di jalan itu ketika mobil polisi kembali menyusuri gang dengan pelan dan beberapa personilnya turun merapikan pita tempat kejadian.

Adam meminta izin kepada ketua RT setempat dengan susah payah sampai akhirnya diperbolehkan untuk menengok ke dalam salon itu sekali lagi. Pintu digembok dari luar kini, dan di dalam ruang tunggu menghadap ke cermin itu, keadaan tidak banyak berubah. Kartu-kartu remi telah dirapikan ke atas meja di dekat gelas dan beberapa benda hiasan lainnya. Anggota polisi keluar masuk memastikan semua alat bukti telah terbawa. Tapi Adam hanya berjongkok di lantai itu sekali lagi. Sisa-sisa coretan kapur berbentuk badan itu masih membekas di atas terpal plastik tempat bercak-bercak darah mengering.

Mata Adam mencari sesuatu yang ia sendiri belum yakin apa. Menelusuri setiap sudut, mengingat kembali apa yang dilihat di sini sebelumnya, dan apa yang tidak terlihat. Ia mengulan langkahnya persis seperti saat pertama mencium aroma kematian di ruangan itu. Masuk ke bagian belakang kemudian kembali lagi. Tangannya meraba-raba permukaan meja bahkan kaca sembari matanya beberapa detik terpejam dan keningnya mengkerut. Tangannya akhirnya berhenti di suatu titik. Sebuah benda keras berbentuk bulat dan mengkilap terpaut dengan pikirannya. Saat membuka mata dan melihat ke arah benda itu, ia merasakan seolah-olah kepalanya dibenturkan ke dinding itu sekeras-kerasnya. Terguncang untuk kemudian tenang lagi dengan perasaan berdengung yang luar biasa. Semua fakta kejadian masuk perlahan-lahan bagai potongan gambar yang melintas berdesakan di depan matanya. Kerumunan polisi dua hari lalu, bentuk jenazah dengan ujung-ujung jarinya yang aneh, pengakuan dokter forensik, dan bayangan-bayangan mengerikan ketika sesosok tubuh jatuh bersimbah darah di atas lantai. Ia terkesiap. Napasnya cepat.

Saat keluar dari salon itu Adam langsung mengeluarkan telepon genggamnya dan berbicara kepada seseorang. Kalimatnya lugas dan meyakinkan. Panggilan kedua pun sama. Nampaknya orang-orang yang ia hubungi bisa mengerti juga pada akhirnya. “Temui saya di kantor polsek jam lima,” pintanya sebelum menutup panggilan. Motor itu kemudian melaju ke timur kota untuk satu petunjuk terakhir.

Gang sempit di antara dua jalan yang tak begitu terkenal di daerah Sayidan. Kawasan perumahan padat dengan kemiringan tanah yang mengejutkan. Adam bertanya ke beberapa orang hingga akhirnya menemukan sebuah rumah kecil beratap genteng kehitaman tempat beberapa pemuda tertawa kemudian diam ketika ia mengutarakan maksudnya. Setelah negosiasi yang nyaris alot dan demi sebungkus rokok filter putih yang sedianya tidak akan diserahkan, akhirnya ia diantarkan ke sebuah kamar kontrakan di bagian belakang rumah itu.

Agus Hilmani pernah tinggal di rumah itu. Sepintas kamarnya nampak pengap dengan pencahayaan yang minim dan sirkulasi udara yang buruk. Jendela tertutup permanen oleh paku dan dinding luar yang nyaris berbenturan dengan rumah sebelah. Lantainya tertutup terpal plastik dan kasur sempit merapat persis di atasnya, menghadap sebuah rak plastik susun tiga tempat buku-buku bacaan tergeletak beserta beberapa kertas bertabel yang nampak usang dan habis terpakai untuk bungkus sesuatu. Lemari terbuka dan pakaian di dalamnya jauh dari kesan rapi. Aroma yang menyeruak bercampur antara bau pakaian kotor dan pengharum badan yang menyengat. Setidaknya aroma itulah yang membuat Adam bahagia sesaat karena apa yang dicarinya persis seperti dugaan.

Adam membongkar sebuah plastik bungkusan yang ujungnya terikat. Matanya berbinar. Ia bahkan nyaris mencium benda plastik kecil itu andai aromanya tidak menyengat bagai pembusukan kimia yang beracun. Ia bergegas keluar setelah pamit kepada pemuda-pemuda penghuninya.

Di Polsek.

Herman terduduk sambil memeluk dada. Jaketnya tampak menghangatkan perasaannya yang puas melihat tersangka di depannya tertunduk lemas.

Suratmi menutup mukanya. Ia menyesali beberapa hal, tapi semua yang terjadi sekarang di luar dugaannya. Menyadari kekurangan diri pada saat semuanya terlambat sama sekali tidak mengenakkan. Tanpa sepatah katapun, ia bahkan membuat Yus suaminya yang sedari tadi mendampingi hanya bisa menggeleng dan berdebat berkali-kali dengan kapten polisi.

“Istri Anda terbukti meyakinkan melakukan tindak pembunuhan atas Winarsih, dua puluh sembilan tahun. Sabtu malam di salon EVILIA, tempat kerja korban. Anda bertamu sekitar pukul delapan sampai pukul sepuluh. Sesaat sebelum pulang itulah, Anda mencekik kemudian membenturkan kepala korban ke dinding dekat cermin. Korban jatuh dan sekarat saat Anda pulang bersama anak Anda, sekitar pukul sebelas. Di sisa-sisa tenaganya itulah korban mengambil kartu berbentuk tujuh hati, sebagai pesan kematian. Tujuh hati adalah tanda jelas bahwa Andalah pembunuhnya. Angka tujuh merujuk pada buku piutangnya yang memasang nama Anda di nomor urutan sama dengan jumlah utang paling besar. Apa ada yang salah dari penjelasan saya, Nyonya Suratmi?”

Herman mengangguk-angguk setelah membaca hipotesisnya itu. Suratmi menggeleng tanpa bisa membalas apapun. Sementara suaminya bergetar di kursinya. Mulai goyah, antara percaya dan tidak percaya. Antara meyakinkan polisi ataukah meminta pengakuan yang sebenar-benarnya dari sang istri. Saat kapten Herman bangkit dari kursinya dan mulai memutar alat perekam, pintu terketuk.

“Saya kira kita perlu mendengar banyak pandangan di sini, Kapten.”

Cahaya matahari masuk menembus ambang kemudian terpantul tepat di papan meja sang kapten. Herman melirik sosok di pintu begitu pula Yus dan Suratmi. Eno yang baru saja tiba dari bagian lain sontak menunjukkan raut wajah senang, meski ia harus tetap diam di depan perwira.

“Nyonya Suratmi,” kata Adam kemudian dengan lirih namun tegas. “Apa yang Anda lakukan kepada kekasih Anda Agus malam sebelum kematiannya? Katakan sekarang, atau Anda dipenjara tanpa satupun dari kita tahu kebenaran yang sesungguhnya.”

Semuanya terkejut. Tak terkecuali tersangka itu. Ia mengangkat kepalanya seketika.

(Selanjutnya …)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun