Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kematian Ganda (10-habis)

9 Agustus 2012   15:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:01 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adam tiba-tiba masuk dan memutus penjelasan Kapten itu di depan orang-orang.

Lalu, siapa tersangka sebenarnya?

(Sebelumnya ....)

Adam berdiri menyandarkan pundaknya di bingkai pintu, menghalangi cahaya dan memberi pandangan jelas kepada Suratmi bahwa sesuatu yang penting dibawanya. Nyonya itu memutar badannya di sandaran kursi dengan wajah tertunduk tanda pasrah dan sebagian  bingung. Pertanyaan tiba-tiba itu juga membingungkan bagi Kapten Herman, Yus, dan Eno.

“Saya membawa serta dua saksi berharga yang bisa membantu kita dalam pengungkapan kebenaran yang terjadi pada malam tanggal 2 Januari dan empat belas hari setelahnya, tanggal enam belas pagi ketika Lijah menemukan Winarsih tergeletak meninggal di salonnya. Masuklah kalian.”

Dari belakang Adam kemudian muncul sambil menundukkan kepala, Yuni. Seorang belia yang nampak masih berkeringat karena habis menempuh perjalanan jauh. Di belakangnya kemudian terdengar suara tangisan bayi. Lijah si istri tentara itu masuk berurutan kemudian langsung meminta tempat duduk untuk anaknya yang mulai menangis. Yunu duduk di ujung bangku kayu panjang dekat pintu arah koridor tempat Eno bersandar di dinding dengan satu tangan di pinggang.

“Bu Lijah adalah saksi kunci untuk TKP kedua, sedangkan Yuni adalah saksi penting untuk menjelaskan perihal kematian ganda ini sekaligus. Kalau kalian tidak keberatan, maka saya akan menjelaskan kronologi pembunuhan yang sesungguhnya terjadi pada malam Minggu itu, ketika beberapa orang dari kita di sini berada di bilik yang sama dengan Winarsih sebelum kematiannya.”

“Tunggu dulu.” Yus suami Suratmi kemudian bangkit dan memprotes. “Bukannya kita biarkan polisi yang menyelesaikan kasus ini, Pak Adam. Anda kan …”

Adam maju beberapa langkah sampai posisinya tepat berada di tengah ruangan itu. Pintu kemudian ditutup dari luar oleh dua petugas kepolisian. Herman mulai bingung dengan semua yang terjadi. “Cepat jelaskan saja kalau memang Anda punya dugaan, Pak Adam. Saya tidak punya banyak waktu untuk hal-hal yang mengganggu penyidikan.”

Adam tersenyum. “Baiklah kalau begitu. Terima kasih, kapten.”

“Pertama-tama. Lijah,” Adam membalik badannya ke samping kiri, saat ibu muda itu menengadahkan kepalanya sembari menenangkan bayi. “Ya, Pak?”

“Sabtu malam sekitar pukul tujuh, Anda menerima tamu di rumah?”

“Ya. Ibu Suratmi datang diantar tukang ojek. Kami ada janji untuk main kartu kecil-kecilan sambil menyusun rencana arisan bulan depan dengan Winarsih. Mbakyu itu ketua arisan kita, karena itu kami bertiga sering bahas soal arisan untuk ibu-ibu di Condongcatur.”

“Winarsih sempat menyinggung sesuatu malam itu?”

“Tak banyak. Paling-paling mengingatkan saya dan Bu Suratmi soal utang kami yang belum dibayar. Soalnya dia mengaku sudah perlu uang untuk memperbaiki salonnya. Modalnya habis, katanya.”

“Begitu. Anda selesai main kartu sekitar jam sebelas, betul?”

“Tidak, Pak. Saya pulang lebih cepat, karena anak saya yang dititipkan ke tetangga bisanya Cuma sampai jam sembilan.”

“Anda langsung pulang ke rumah setelah acara kumpul itu?”

“Ya, Pak. Saya langsung pulang.”

“Waktu Anda pulang, Bu Suratmi masih di situ?”

“Seingat saya iya,” jawab perempuan itu sembari melirik aneh ke Suratmi.

“Nyonya Suratmi,” kata Adam sembari mengalihkan pandangannya kepada tersangka itu. “Apa benar Anda pulang dari salon itu jam sebelas?”

“Sekitar itu,” jawabnya pelan. “Saya ketemu dengan beberapa petugas ronda waktu keluar dari salon. Winarsih langsung menutup pintu dan menyalakan televisi, saya lihat sesaat lewat jendela.”

“Dan malam itu anak Anda Hakim terlambat menjemput Anda?”

“Iya. Saya yakin dia pacaran dulu malam itu, kan malam minggu.”

Adam mengangguk kemudian beberapa saat terdiam. Lantas tersenyum yang kemudian membuat mereka semua bingung. Dengan gerakan misterius Adam lalu mengeluarkan beberapa lembar lipatan kertas dari kantong jaketnya, bersaam dengan buku catatan, pena, dan sebuah senter kecil. “Maaf, Bu Suratmi, bisa tolong pegang senter saya?”

Kapten Herman terheran, begitu pula Eno dan yang lainnya. Apa yang dilakukan investigator ini dengan beberapa hal yang sangat mengganggu. Untuk apa senter itu?

Suratmi meraihnya dengan tegas, membuat seseorang di situ gugup seketika. Saat tersangka itu kembali tertunduk dengan memegangi senter yang disodorkan sebelumnya, orang di bagian lain ruangan itu mengepalkan tangannya. Ia menyadari kelengahannya.

“Saya membawa sesuatu yang berat di sini,” lanjut Adam ketika mengeluarkan benda bulat mengkilap itu dari bagian terdalam sakunya.

Eno mengernyitkan dahi melihat benda yang tergeletak dengan bunyi keras di atas meja berlapis kaca itu. Lijah langsung mengenalinya meski Yus juga tahu persis untuk apa benda itu.

“Asbak?” tanya Lijah

“Benar.”

Adam kemudian menarik sapu tangannya yang sebelumnya digunakan untuk mengalas jarinya dengan asbak itu. “Asbak inilah saksi bisu kematian sesungguhnya seorang Winarsih. Menyaksikan dengan kejam bagaimana seseorang menghantam kepala korban malam itu, setelah terlibat pertengkaran hebat. Winarsih meninggal karena benturan di kepala, tapi itu tidak berasal dari lantai, melainkan dari benda runcing namun tidak tajam yang menghantam pelipis kanan bagian depannya. Dengan tanda-tanda forensik seperti yang saya dapatkan dari dokter Lukas, jelas ini adalah kematian mendadak. Bukan kematian perlahan sebagaimana diketahui sebelumnya.”

Adam lalu membuka telapak tangannya kemudian mengangguk kepada Suratmi. Senter itu dikembalikan.

“Terima kasih. Bagi saya, mustahil seorang Nyonya Suratmi yang tak punya pengalaman olahraga otot bisa melakukan pemukulan hebat yang berakibat seperti itu. Posisi jatuh korban merapat ke dinding bagian belakang, berarti serangan yang diterimanya disertai dorongan aya yang kuat dan bukan jatuh lurus sebagaimana lazimnya orang pingsan.  Bercak darah di dinding juga benturan kedua pada bagian kepala lain korban yang benjol dan pecah, bukan benturan pertama. Benturan awal darahnya tidak akan sebanyak itu. Lagipula …,” semburat senyum yang beredar ke semua orang di ruangan itu seperti menggetarkan ketika Adam makin menegakkan badannya.

“Bu Suratmi tidak bertangan kidal.”

Adam kembali mengangkat asbak itu dengan sapu tangan kemudian mengayunkannya di udara meniru gerakan seorang memukul ke arah kepala. “Dengan posisi luka di pelipis kanan, benturan yang diterima pasti dilakukan oleh seorang  bertangan kidal. Ya, tidak lain pelakunya adalah Anda,” Adam menunjuk ketika tangannya kembali merendahkan asbak kaca itu.

“Herman. Anda yang membunuh Winarsih malam itu. Benar begitu, bukan, kapten?”

Suratmi sontak berdiri, sementara Yus suaminya hanya melihat Adam dan kapten itu berganti-ganti. Tangan menutupi mulutnya. Di bangku lain Yuni merapatkan tangannya dan Lijah berhenti mengayun lengannya saat bayinya tiba-tiba diam. Eno melepaskan punggungnya dari tembok.

Herman tersenyum sambil berdeham.

“Bisa saja Anda ini, Pak Adam.” Jarinya bergerak-gerak menimbulkan bunyi berdetak-detak. “Bagaimana bisa Anda menuduh seorang polisi melakukan pembunuhan. Tidak masuk akal. Saya yang pertama kali …”

“Tepat,” balas Adam seketika. “Andalah yang pertama kali tiba di TKP setelah Lijah. Pagi itu Anda datang setelah sebelumnya sengaja menunggu laporan warga. Begitu panggilan masuk, Anda dengan sigap membawa pasukan dan tiba di TKP bersama forensik. Bukankah itu terlalu dramatis?”

“Itu prosedur standar, Anda ini tidak tahu  ya?”

“Lalu mengapa Anda memilih masuk sendirian pertama kali pagi itu? Beberapa anak buah Anda mengaku tidak diperbolehkan masuk sebelum Anda mengeceknya sendiri dan keluar lagi. Eno, benar demikian?”

Eno terkejut kemudian dengan terbata mengiyakan. Ia tak berani mengarahkan pandangannya ke mata Herman yang nampak pupilnya mulai mengecil.

“Tentu saja untuk merapikan TKP Anda, bukan? Dugaan saya?”

“Tentu!” Herman menjawab nyaris berteriak. Tangannya melayang-layang di udara. “Jangan macam-macam dengan saya, Pak Adam. Anda ini bukan …”

Adam melipat lengannya di kedua tangan. “Anda masuk pagi itu untuk meyakinkan forensik semuanya sudah pada tempatnya, termasuk asbak ini, Bukan?”

Pandangan mereka kemudian teruju lagi ke asbak kaca yang diam itu. Cahaya matahari petang berpendar di sudut-sudut bunganya. “Akan aneh bagi sebuah salon yang cukup terkenal di daerah itu memiliki asbak yang bersih mengkilap tanpa bekas pakai sama sekali. Padahal dua tempat sampah dan plastik tempat rambut nampak masih penuh dengan sampah. Tidak mungkin bagi seorang pekerja salon yang memerhatikan detil luput membuang sampah-sampah intinya saat membuang abu rokok, bukan?”

Herman tak membalas. Kepalanya menggeleng-geleng.

“Anda masuk, memeriksa korban yang sudah tak bernyawa, dan mengganti asbak berbekas darah dengan satu yang baru. Yang, saya yakin Anda beli di sebuah supermarket khusus menjual barang-barang rumah tangga. Agak sulit menemukan sebuah asbak yang kembar di toko-toko biasa. Tidak akan sulit melacak transaksinya. Asbak yang Anda pakai memukul kepala korban lalu Anda bawa keluar sesaat sebelum personel Anda masuk. Anda buang di mana? Oh tentu saja. Paling gampang di sungai kecil yang tak jauh dari situ. Tentu saja mereka tidak menemukan keanehan apa-apa karena asbak itu bersih, dan malah mereka teralihkan perhatiannya oleh kartu tujuh hati yang terselip di antar ajari telunjuk dan jari tengah korban. Hal pertama yang membuat saya aneh terhadap kartu itu, adalah penjelasan Anda yang mendahului fakta apapun bahwa tujuh hati sesuai dengan daftar buku piutang korban yang mencantumkan nama Suratmi sebagai pengutang terbesar. Itu adalah senjata besar untuk mengalihkan kesalahan Anda kepada orang lain, Bu Suratmi ini.”

Suratmi geram, nyaris melompat dari kursinya ketika tiba-tiba suaminya menahan dengan kalimat-kalimat penenang. Herman makin pucat karena menyadari ia tak punya apa-apa di kursi itu. Di sudut lain ruangan, Eno mulai merapatkan telapak tangannya pada sesuatu.

“Saya menyadari kebodohan saya pertama kali saat melihat Bu Suratmi ternyata seorang tangan kanan. Sementara pagi itu setelah menengok sebentar TKP, dari dalam mobil saya menyaksikan Anda meneguk botol minuman dengan tangan kiri di warung kecil. Eno saksinya.”

Eno lagi-lagi gugup karena tiba-tiba ditembak pandang oleh mereka berlima.

“Tidak hanya itu. Anda mengetik SMS, memasang jaket di kamar forensik, sampai menempatkan barang-barang kecil seperti pena di saku jaket dalam bagian kanan. Itu karena Anda bertangan kidal. Saya yakin sarung pistol Anda juga berada di sebelah kiri.”

Herman mulai menurunkan tangannya. Bukan ke arah sabuk, tapi ke laci meja.

Sontak Eno berteriak dan membuat semuanya diam. Moncong pistol kini terarah ke kapten itu. Dengan sigap kemudian Adam menutup semua gordin yang menutup kaca ruangan itu sehingga beberapa polisi yang berjaga di luar hanya sempat melirik tanpa reaksi berlebihan.

Eno bernapas cepat, ketika Herman menyerah. Tangannya kembali diangkat ke atas meja.

Adam kembali dengan penjelasannya. “Malam itu Anda bertengkar soal uang yang banyak dengan Winarsih. Belakangan saya temukan, Andalah yang menjadi pemodal utama bisnis sampingannya. Utang piutang. Anda memberinya uang dalam proses yang bertahap untuk kemudian ia gunakan untuk dipinjamkan kepada beberapa ibu yang tertarik membuka usaha. Tapi malam itu saya duga Winarsih meminta Anda menyetop saja aliran dana itu, setelah mencurigai Anda telah membunuh kekasihnya karena dinilai membahayakan karir Anda. Winarsih berani menuduh Anda telah membunuh Agus Hilmani karena takut karir Anda di kepolisian tercemar jika sewaktu-waktu pemuda itu membeberkan fakta aliran dana berupa kuitansi yang bertuliskan nama Anda dan tanda tangan Win. Bukti investasi haram Anda. Nyonya Suratmi hanya salah satu pelanggan yang tidak bisa membayar

Anda marah, kemudian terjadilah pembunuhan itu. Winarsih melawan sekuat tenaga, bahkan sempat mencakar Anda dengan tangan kirinya. Ia tewas seketika dan Anda pergi setelah menutup pintu. Hakim yang melintas sekitar jam sebelas sepulang kencan dengan pacarnya mengira itu pertengkaran Winarsih dengan pacarnya. Bukankah itu cukup jelas?”

Adam berdeham ketika ruangan itu hening. Keringat bercucuran di leher beberapa dari mereka. Tak terkecuali Eno yang baru pertama kali menodongkan senjata.

“Yuni, adik korban, menemukan beberapa kertas bukti aliran dana itu di dua tempat berbeda. Satu di  kamar kontrakan Agus Hilmani tidak jauh dari sini, juga di bilik kamar rumah ayah mereka di Magelang. Kertas-kertas inilah yang membuat kematian mengerikan di tangan Anda.”

Lipatan-lipatan kertas itu kemudian dilempar ke atas meja. Setidaknya ada sepuluh lembar dengan lipatan yang nampak sudah lama dan berdebu.

“Berkas inilah yang dipakai Agus Hilmani untuk membujuk kekasihnya menghentikan bisnis haram rentenir, bahkan memintanya pindah ke Magelang dan menikah di sana. Tapi apa daya, nasib telah berbicara dan justru ia meninggal dunia lebih dulu di kamar kontrakannnya, setelah melakukan kencan dengan Winarsih.”

Adam menatap tajam merendah ke Herman yang membalas dengan dua bola matanya yang seperti bergetar karena amarah dan kekecewaan terhadap diri sendiri.

“Kapten Herman, bisa tolong lepas jaket Anda? Jika Adan menolak semua penjelasan saya barusan, paling tidak tunjukkan bukti yang bisa meringankan Anda. Winarsih mencakar Anda malam itu, dan Anda dengan aneh akhir-akhir ini berlengan panjang, tidak seperti biasanya yang hanya berkemeja lengan pendek sebagaimana lazimnya seragam seorang polisi. Jadi sekarang, bisa tolong tunjukkan lengan Anda?”

Kapten itu tak berkutik sama sekali. Ia menghela napas merasa tak ada lagi jalan untuk membalas. Suratmi yang sedari tadi menatapnya hanya mengatupkan bibir saat pundaknya masih dipegang suaminya.

“Perempuan itu …,” kata Herman. “Tidak tahu terima kasih.”

Ia berdeham beberapa kali, menangkat tangannya seperti orang yang baru bangun dari tidur. “Seharusnya ia menikmati saja uang-uang itu demi kehidupannya. Saya hanya ingin membantu.”

“Tapi Anda menjerumuskan banyak orang, demi ego karir Anda sendiri. Itu rendah sekali!” Yus membentak kapten itu tanpa ampun, merasa di pihak yang kuat dan yakin bahwa Herman tak akan bisa membalas.

“Biarkan saja. Saya orang yang objektif. Obsesif. Saat pertama mendengar peluang promosi ke komisaris, saya bersemangat. Tapi kemudian Winarsih sial itu mengingatkan kerja saya yang menaruh uang sejak awal. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk investasi sebesar itu, Pak Adam. Anda tahu. Saya harus menyisihkan gaji saya dan mengobyek sana-sini! Itu demi perempuan itu! Sial. Andai dulu saya tidak mengencaninya. Dia perempuan jalang!”

Adam menggeleng heran. “Jadi, ia yang lebih dulu memeras Anda?”

“Ya,” jawab Herman parau. “Saat tahu saya anggota polisi dua bulan setelah memacarinya diam-diam, ia memeras dan mengancam akan melaporkan perselingkuhan saya kepada korps atau istri saya, jika saya tidak memberikan pinjaman modal itu.”

“Utang dalam utang,” komentar Lijah begitu saja. “Uang panas pasti akan menguap, Pak. Cepat dapatnya cepat hilangnya.”

Herman mengangguk. Bibirnya terlipat.

“Seharusnya Anda malu,” kata Adam memecah keheningan kesekian kali. “Anda adalah contoh bagi Eno dan anggota korps Anda lainnya. Kemampuan Anda menyelidik kasus disegani. Perhatian Anda terhadap hal-hal penting tak tertandingi. Semoga ini hanya pelajaran kecil bagi masa depan kehidupan Anda yang lebih baik, Herman.”

Tak lama kemudian terdengar bunyi sirene kencang dari luar. Matahari terbenam dan lampu dinyalakan nyaris serentak di semua ruangan. Saat pintu tiba-tiba digedor dari luar. Adam mengangguk pada seorang perwira tinggi dan beberapa petugas berseragam dengan helm putih mereka. Perwira itu tersenyum ramah dan langsung menyapa tiap orang, tak terkecuali Eno yang nampak lelah memegang pistol terarahkan.

“Saya sudah dengar semuanya melalui telepon ini. Terima kasih, Pak Adam,” kata komisaris besar itu. Herman kemudian bangkit dan memberi hormat, tak terkecuali Eno yang lantas menurunkan senjatanya. Komisaris besar polisi Kirmanto adalah wakapolda DIY. Dan malam ini ia datang memenuhi sebuah panggilan telepon yang diterimanya tadi sore.

“Selesaikanlah ini. Pak Herman, Anda akan kami bawa ke satuan Propam. Silakan ikut bersama mereka ini.”

Herman jalan sambil membungkuk mengikuti empat personel polisi yang mengawalnya. Eno lega kemudian memasukkan kembali pistol ke sarungnya.

Adam tersenyum kepada mereka semua, tak terkecuali Suratmi yang kini nampak lebih tenang. Perempuan paruh baya itu menangis dalam keharuan. Yuni dan Lijah berterima kasih dan mereka lantas saling bersalaman. Kedua sahabat yang tersisa itu saling peluk, Lijah ikut meratapi nasib mereka. Fakta-fakta yang sulit diterima, tapi mereka akan baik-baik saja.  "Sampaikan salamku pada Bapakmu, terima kasih," kata Adam kepada Yuni sebelum mereka berpisah.

***

“Adam, bagaimana dengan kematian Agus? Hermankah juga pelakunya?” kata Eno ketika mereka sudah kembali berada di kabin mobil ketika ikut ke markas propam. Kapolda meminta keterangan lengkap untuk laporan lanjutan.

Mendengar pertanyaan itu, Adam merogoh saku dalam jaketnya lagi dengan mengeluarkan bungkusan plastik bertuliskan nama produk jamu.

“Obat kuat,” jawabnya ringan. “Winarsih meminta kekasihnya meminum obat kuat malam itu, sebelum berkencan. Aku temukan di bungkusan plastik tempat sampah tidak jauh dari kasur kontrakan itu. Nampaknya Agus sempat menolak karena ia sadar itu bisa fatal. Sebelumnya ia minum-minum alkohol bersama beberapa tukang ojek dan anggota polisi termasuk Herman itu. Keterangan ini aku dapatkan dari tiga orang berbeda. Tukang ojek itu, dan dua teman kontrakan Agus yang juga ikut. Kombinasi obat kuat dan alkohol bisa sangat fatal. Tapi ia seorang pemuda yang tak bisa menolak apapun keinginan pacarnya. Terlebih Winarsih yang sudah memberinya banyak hal. Dia meninggal karena efek kejut di jantung sampai ke kontraksi di otak, begitu dugaan dokter Lukas yang mengotopsinya. Nampaknya fakta ini tak perlu terlalu diperdebatkan, karena toh Walkito sudah menerima kematian anaknya. Dan tidak akan ada pembongkaran makam.”

Eno tertegun mendengar fakta itu.

“Apapun itu, kita tidak harus menghargai mereka yang sudah meninggal.”

Eno mengangguk paham. Sesuatu yang tak perlu diungkapkan baiknya diterima saja sebagai garis takdir dari Tuhan. Kasus ini sudah cukup menguras energi selama beberapa hari terakhir. Dan mereka ingin bersantai sejenak.

“Kau catatlah semua ini dengan teliti dan lengkap. Jangan sisakan satu fakta pun.”

Mobil melanju membelah malam. Untuk waktu-waktu berharga itu, tak ada yang lebih menenangkan bagi Adam kecuali melihat ini semua berakhir.

Hari yang berat.

*

#Anonim Kematian Ganda selesai sampai di sini. Saya ucapkan terima kasih untuk teman-teman yang sudah memberi begitu banyak masukan berarti guna pengembangan penulisan fiksi di Kompasiana ini.

Afandi Sido, Agust. 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun