Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kematian Ganda (5)

4 Agustus 2012   15:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:15 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keterangan saksi kedua bermasalah.

Sementara petunjuk baru bermunculan tanpa kemungkinan yang jelas.

(Sebelumnya ...)

Mereka beranjak ke saksi ketiga yang ternyata seorang anak SMA. Hakim, begitu ia memperkenalkan diri ketika Adam menyapanya di sebuah warung makan di luar kampus UGM. Anak itu cerdas rupanya, karena sempat menanyakan surat perintah dan menolak menjawab sebelum akhirnya Eno menelepon atasannya lagi guna meyakinkan anak itu. Herman mengomel di seberang sana dan kemudian dengan sekali instruksi membuat Hakim tak banyak bicara. Entah apa yang dikatakan sang kapten itu.

Hakim menunduk. Tangannya bersedekap dan kepalanya urung terangkat ketika empat temannya keburu lari dengan batang rokok terselip di saku baju mereka. Anak ini nampak bersih, cuma kurang rapi. Potongan rambutnya cukup baik mengarah ke samping, namun kalung perak yang bertengger di luar bagian leher kaus dalamnya menandakan ia seorang pemberontak. Juga kaki baju dan celana yang digantung seadanya. Bagian  belakang sepatunya dibiarkan terlipat dan terinjak. Gaya retro yang menyimpang terlalu jauh untuk ukuran anak sekolah. Adam menggeleng sebelum duduk di bangku rendah menghadap anak itu.

“Saya tidak akan menilai penampilanmu, dik.”

Adam memulai dengan perlahan. Untuk sejenak ia melepas jaketnya dan membiarkan udara menyeka setiap lekuk badannya yang kini terbalut kemeja lengan pendek. Eno duduk di sudut jauh sambil menikmati coklat dingin.

“Kau benci polisi ya?” tanya Adam berbisik. Anak itu mengangkat wajahnya kemudian mengangguk.

“Tenang saja,” kata Adam lagi. Berbisik, ia berusaha meyakinkan saksi ini. “Aku juga tak terlalu suka mereka …, kau tahu?” Kemudian mengedipkan sebelah matanya. “Aku tahu tadi polisi sudah menanyaimu macam-macam. Dan aku tak berniat memintamu mengulang jawaban-jawaban tadi, kalaupun yang kau katakan pada mereka benar apa adanya. Aku hanya akan tanya pertanyaan-pertanyaan sederhana, dan kau boleh tidak menjawabnya kalau memang tidak mau. Kita main adil saja, setuju?”

Beberapa detik anak itu menelisik pandang Adam, melirik ke arah Eno di pojok sana, kemudian akhirnya mengangguk dan berbisik tanda persetujuan.

“Terima kasih,” sambut Adam. Ia pun mengeluarkan buku catatannya dan mulai mengumpulkan resume di dalam pikirannya. Mengetahui anak ini rentan untuk memberontak atau berkata kurang akurat, ia memilah-milih pertanyaan dengan seksama. “Pertanyaan pertama.”

Anak itu menyimak dengan baik. Sementara penjaga warung berusaha menguping sambil menghadapkan mukanya ke televisi yang tergantung agak tinggi.

“Apa kau berkata jujur kepada polisi tadi?”

Pertanyaan pertama itu langsung membuat anak itu terdiam sesaat. Matanya bergerak-gerak cepat dan pandangannya diarahkan lebih rendah. Adam tersenyum kemudian melanjutkan kalimatnya.

“Kau tak perlu menjawabnya. Sekarang, pertanyaan kedua. Di mana kau Sabtu malam antara jam 6 sampai jam 9?”

“Saya di jalan, Pak. Baru saja diantar ibu ke tempat teman di daerah Depok sebelum nongkrong di dekat stadion Maguwo jam sepuluh.”

“Lewat di depan salon Mbak Winarsih jam berapa, masih ingat?”

“Kalau tidak salah jam delapan. Ibu saya ke tempat temannya di dekat situ sekitar jam itu, dan saya dibolehkan bawa motor sebelum menjemputnya lagi sekitar jam sebelas lewat.”

“Dan kau mendengar ada keributan di salon itu?”

Anak itu mengerutkan keningnya, seperti mengingat sekuat tenaga. “Saya tidak begitu ingat apa itu keributan, karena saya kira Mbak Winarsih sedang bertengkar dengan pacarnya atau siapa begitu. Suara laki-laki satunya.”

“Waktu pulang jam sepuluh, apakah kau lihat masih ada kegiatan di salon itu?”

“Di depannya masih ada dua sepeda motor. Saya ingat karena tempatnya persis di tikungan. Kelihatan.”

“Kau pulang bersama ibu waktu itu?”

“Tidak. Ibu katanya mau diantar pulang oleh temannya Bu Lijah.”

“Dan kau tidak langsung pulang ke rumah sehabis itu?”

Hakim menunduk. Mukanya memerah. Kata-katanya tertahan namun Adam bisa menebaknya.

“Kau ke tempat pacarmu kan?”

Anak itu menjawab terbata-bata namun mengiyakan. Adam puas dan langsung bangkit dari kursinya, menarik jaket, membayar biaya minuman untuk tiga orang, kemudian berterima kasih kepada saksi ketiga itu. Eno yang kepalang tanggung lantas buru-buru menghabiskan minumannya dan mengikuti rekannya itu keluar dari warung. Tapi ternyata Adam kembali ke dalam warung dengan membawa secarik kertas, mendekatkannya ke mata Hakim kemudian sejurus bertanya.

“Apa benar ini ibumu? Mengangguk kalau benar, tidak perlu bersuara.”

Anak itu dengan gugup dan setengah takut sontak mengangguk.

“Terima kasih. Eno, ayo.”

Adam lekas berjalan menuju mobil dan mengamankan secarik kertas yang baru dipakainya. Buku catatan dan senter kecil juga sudah tersimpan rapat di dalam saku jasnya. Eno  yang kebingungan memilih menahan pertanyaannya sampai akhirnya rekannya itu memberikan instruksi lebih lanjut ketika mobil kembali  bergerak.

“Sudah kuduga ada hubungan antara dua kematian ini,” kata Adam begitu saja.

“Apa? Jadi maksudmu …”

“Ya, Eno. Keterangan ketiga saksi ini terlalu berantakan. Aku bahkan tak bisa melihat benang merah yang menyatukan fakta tentang kematian Winarsih. Si Hakim ini berbohong kepada polisi dalam pemeriksaan tadi pagi. Dan lagi orientasi ingatannya tidak begitu baik, padahal umurnya masih belia. Ia lupa atau mungkin tidak tahu, bahwa pada malam ketika ia melintas di depan salon itu, kekasih Winarsih sebetulnya sudah meninggal dunia. Dan berarti bukanlah kekasihnya yang bertengkar dengan korban waktu itu. Untuk itu aku yakin ada yang salah di balik ketiga saksi ini. Kita harus mencari saksi kunci yang sebenarnya luput dari perhatian polisi, yaitu ibu si Hakim ini. Dialah yang akan memberikan kita petunjuk tentang kebenaran, bahwa kematian perempuan salon dan kekasihnya ini berkaitan satu sama lain. Dan bahkan, bisa jadi ada kemungkinan …”

Eno menunggu sembari memasukkan gigi lebih tinggi. Kalimat Adam pada kenyataannya tak terselesaikan karena kembali tenggelam dalam nalar pikirannya. Kendaraan itu sudah melaju membelah keramaian kota Yogya saat matahari makin condong ke barat.

Ketika semuanya terasa mulai membingungkan, justru Adam merasa menemukan celah kecil petunjuk. Kunci kecil yang perlu mereka temukan.

(Selanjutnya ...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun