Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kematian Ganda (4)

3 Agustus 2012   15:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:17 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga saksi. Dua kematian. Satu keanehan yang sama.

Adam terpaksa berlomba dengan korps kepolisian untuk kesaksian yang membingungkan.

(Sebelumnya ....)

Pemberhentian berikutnya membawa Adam dan Eno pada sebuah rumah mungil yang teduh, sekitar tiga kilometer dari tempat kejadian kedua. Jalan Pesanggan lebih mirip gang sehingga tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Hanya beberapa satpam yang mondar mandir sehabis makan siang dan beberapa orang bercakap di warung angkringan yang berjejer dekat sekolah dasar. Rumah mungil itu terletak persis di seberang sekolah.

Tak lama setelah mengetuk, pintu terbuka. Mereka disambut oleh seorang perempuan paruh baya yang menggendong bayi. Ia memmperkenalkan dirinya sebagai Lijah, istri dari seorang tentara yang bertugas di pedalaman Kalimantan.

“Iya, tadi datang dua mobil patroli kemari,” jawab Lijah ketika Adam menanyakan apakah sudah ada polisi yang mewawancarainya. Jawaban itu memantapkan keterangan Herman bahwa memang benar saksi nomor satu ini sudah dimintai keterangan. Pembicaraan mereka kemudian banyak basa basi di awalnya, hingga akhirnya Adam tertarik menanyakan lebih lanjut sesaat setelah Lijah menyinggung sebuah nama.

“Suratmi. Heh, waduh mas orang itu jelas-jelas tidak suka dengan almarhum.”

Adam dan Eno saling pandang. “Siapa Suratmi ini?” tanya Adam.

“Teman-teman arisan sini juga. Tinggalnya di Deresan, tapi sering nyalon di tempatnya Mbak Winarsih. Hari minggu juga saya lihat dia datang ke salon.”

Adam kemudian mencatat beberapa kata. “Masih ingat jam berapa Ibu Suratmi ini Anda lihat di salon milik almarhumah?”

Lijah memutar bola matanya ke arah langit-langit rumah. Pikirannya kemudian disela tangisan bayi di dadanya sebelum akhirnya menjawab.

“Jam sebelas, kalau tidak salah. Saya pas menjemur baju anak-anak waktu itu. Dia lewat di depan dan saya sapa, katanya mau ke sana.”

“Sempat singgah kemari tidak?”

“Mboten, Mas. Tidak.”

Adam terdiam sejenak. Ia merapikan corat-coretnya. Eno kemudian tak tinggal diam dan sontak menanyakan isi pikirannya.

“Bu Lijah, tadi waktu diinterogasi, tempatnya di mana?”

“Ya di sini to Mas? Saya menolak dibawa ke kantor polisi, kan jaga warung. Ada si thole ini juga suka rewel.”

“Siapa yang mewawancarai Anda?” kali ini Adam yang gesit bertanya.

“Saya tidak tahu lah itu, Pak. Tidak lihat saya papan namanya.”

“Orangnya berkumis tipis?”

“Ho oh sepertinya begitu.”

“Tingginya seperti saya?”

Lijah menggeleng. “Lebih pendek, sedikit.”

Adam tersenyum sementara Eno mengangguk. Interogasi singkat itu kemudian berakhir setelah Adam menanyakan hal-hal terkait perilaku aneh korban sebelum kematiannya. Yang secara gamblang dan begitu lurus dijawab nihil oleh korban. Semuanya berjalan normal karena orang-orang sontak terkejut mengetahui seorang penjaga salon tewas dibunuh.

“Selain jasa salon, menurut Anda almarhumah ada pendapatan lain?”

Pandangan Lijah berubah sinis dan tajam. Perempuan itu bangkit dan lalu meminta izin untuk membuatkan susu bagi bayinya. Tak ada jawaban melainkan suasana tidak nyaman yang memaksa Adam dan Eno pamit dari rumah itu.

Pukul empat belas.

Setelah menuntaskan makan siang singkat di warung terdekat, Adam dan Eno kembali menghubungi kapten Herman dan meminta informasi terkait saksi kedua dan ketiga. Tapi dari jawaban melalui telepon itu tak ada yang memuaskan hasil penemuan mereka sebelumnya. Ada beberapa hal yang tidak sinkron dan justru menimbulkan pertanyaan.

“Mengapa Bu Lijah tadi menolak menjawab pertanyaan terakhir kita? Sementara di depan polisi semua pertanyaan lancar terjawab,” keluh Adam ketika menghabiskan teh hangatnya.

Eno menggeleng. “Polisi punya pendekatan berbeda. Atau, kita yang aneh cara interogasinya?”

“Menurutmu cara kita tadi tidak sesuai prosedur?”

“Kita tidak bawa surat perintah.”

Adam mengangguk paham. “Itu sudah jelas. Tapi secara teknis kita diterima kok oleh banyak orang tanpa melalui birokrasi yang berbelit-belit. Maksudku, apa yang membuat orang itu menutup-nutupi keterangannya?”

Eno menghela napas. “Mengapa kita tidak lanjut pada dua saksi terakhir kita saja?”

Adam tertawa. “Kau benar. Maaf aku terlalu pusing untuk detil kecil yang belum tentu berarti penting. Satu hal yang masih membuat aku salut pada korps kepolisian adalah ketelitian mereka ikut pada prosedur. Langkah demi langkah. Aku belum bisa setajam itu mengikuti alur yang sudah jadi langgam. Mari. Kita ditunggu oleh banyak informasi penting.”

Tapi pada kenyataannya kedua saksi itu pun tak memuaskan mereka sepenuhnya.

Tono seorang tukang ojek. Ia menggaku mengantarkan seorang perempuan ke salon, sekitar jam tujuh malam sebelum korban ditemukan meninggal hari berikutnya.

“Tidak ingat, Mas. Waktu itu gelap dan dia membayar uang dua puluh ribu. Waktu saya mau kasih kembalian, ia buru-buru dan masuk begitu saya. Namanya rezeki, ya saya langsung pergi saja.”

Adam menggosok dagunya mendengar penuturan itu. Sementara Eno membantu mencatat beberapa hal. Orang jasa itu masih lebih muda, sepertinya bekas preman karena tak ada yang berani mendekatinya saat ia mengangkat telapak tangan, terlebih karena tato dan anting di satu telinganya. Meski begitu tutur katanya lembut, seperti seorang ayah yang coba membangun tanggung jawab.

“Di mana Anda mengambil penumpang itu sebelum mengantarnya ke salon?”

“Di perempatan Ringroad depan. Tidak jauh dari sini. HP saya berdering dan ternyata penumpang minta diantar. Ya saya cabut saja langsung.”

“Tunggu dulu,” sela Adam. “Penumpang itu menelepon Anda?”

Tono mengangguk mantap. Rambut gondrongnya bergelombang dan terbawa gaya gerak. Kemudian jatuh teratur di sisi kepalanya. Bibirnya mengecap-ngecap seperti ingin sekali merokok.

“Dari mana ia dapat nomor telepon Anda?”

“Aduh, saya sebar nomor HP di banyak tempat, Pak Adam. Di pos juga saya pasang besar-besar tulisannya. Di Facebook juga ada. Teman saya ada tiga ratus, tidak semua saya hapal.”

Eno terbelalak atas jawaban terakhir itu. Sementara Adam tersenyum. Betapa semua jenis usaha masa kini memanfaatkan teknologi sampai sedekat itu.

Adam lantas menghela napasnya. Merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebatang rokok yang lalu disodorkan kepada saksi itu. Mereka berterima kasih kemudian tukang ojek itu berlalu setelah meminta sebatang lagi. Angin berhembus sejuk di bawah pohon angsana. Pos ojek itu sepi dan beberapa orang lalu lalang seperti bertanya siapa yang rapi berjaket duduk di situ.

“Luar biasa.”

Adam berkomentar dan membuat Eno bertanya apa maksud ungkapan itu.

“Petunjuk-petunjuk ini, Eno. Mulai terlihat gambarnya. Kita sudah dekat.”

“Apa benar?”

Adam terkejut. “Apa maksudmu?”

“Semua jawaban yang kudengar dari orang ini, sama sekali berbeda dengan keterangan yang dituang ke dalam BAP pagi tadi.”

“Apa?”

(Selanjutnya …)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun