Iyus Ismail meninggal dengan kepala tenggelam ke akuarium rumahnya. Listrik padam dan menyala.
Tapi sang istrilah yang paling gusar karena ingin mengetahui fakta yang sebenarnya.
Keheningan yang tidak biasa.
Adalah Win, sopir pribadi keluarga Ismail yang membukakan gerbang. Pembantu laki-laki itu santun dan banyak memperkenalkan arah bangunan ketika Adam berbasa-basi memuju tata letak taman di situ.
“Sepertinya Anda sedang sibuk, Pak Win?”
“Ya, seperti yang bapak bisa lihat, saya sedang merapikan taman. Maaf, saya tinggal sebentar, mau mengantar tamu.”
Sopir itu berlalu ketika Adam balas dengan anggukan. Sebagaimana pekerja yang nampak setia, badannya membungkuk beberapa kali setiap melewati seseorang. Telapak tangan direndahkan seraya senyum terkembang. Sambil menunggu pintu rumah dibuka, Adam menyempatkan diri berkeliling di taman yang terhubung dengan lahan sempit di samping rumah bagian timur. Cukup luas. Ada keran tempat selang tertangkup dan mengeluarkan air yang tertumpah ke blok batu. Saat Adam coba menutup keran yang ditinggalkan itu, ia memerhatikan sebuah sisi dinding yang menghadap langsung ke jalan. Bagian luar rumah yang hanya dibatas pagar satu meteran itu nampaknya menjadi tempat duduk santai yang nyaman kala sore hari. Hanya saja, kali ini tak ada seorangpun yang mengisi kursi-kursi di teras. Lonceng bambu berbunyi, angin berhembus. Pandangan Adam menyeka setiap inci sisi bangunan itu. Ia bisa melihat wajahnya yang kusam dari pantulan kaca jendela yang cukup besar. Ia tersenyum entah untuk apa.
“Dulu suami saya suka duduk di situ,” kalimat yang lebih dekat artinya dengan sambutan selamat datang. Adam mendekat ke pintu utama arah suara itu berasal. Nyonya Sonia Ismail nampak begitu cerah dengan baju lengan panjang lembut meski bagian bawah tubuhnya masih dilapisi celana ketat berwarna gelap. Adam diantar masuk dan langsung memerhatikan barang-barang yang perlu.
“Jadi ini akuariumnya,” ia berkomentar saat sudah berdiri di depan balok kaca berukuran setengah lemari es jika diposisikan tegak. “Siapapun bisa tenggelam di sini,” komentarnya lagi saat melihat tak ada kaca penutup di akuarium.
“Ya. Suami saya suka memelihara ikan berukuran besar. Tiga koi ini pemberian Pak Yus, sementara puluhan lemon baru dimasukkan karena saya yang membelinya. Kami baru berencana membeli dua koi lagi, tapi …”
Sonia menundukkan wajahnya sesaat, lalu memerhatikan tangan Adam yang mulai mengutak-atik kabel dan mencolokkannya ke listrik. Saat ia ingin memasukkan tangannya ke dalam air, nyoya rumah itu menyeru gesit. “Jangan!”
Lalu steker dicabut dan diangkatlah kabel mesin pompa elektronik itu. Ada lubang menganga meski baru kelihatan jika badan kabel diputar. Adam berterima kasih lalu memutuskan untuk tidak melanjutkan aksinya. Ketika bertanya kenapa kabel itu belum diperbaiki, Sonia mengaku tidak tahu menahu duduk persoalan akuarium dan lebih senang mengurusi bisnis internet miliknya.
Pindah dari akuarium, Adam diajak mengelilingi rumah dari kamar ke kamar. Saat melangkah di tangga, datang dari pintu luar seorang bocah perempuan dengan topi lebar dan kacamata tebal. Mirip tokoh kartun Jepang jika pipinya juga ikut kemerahan.
“Ini anak saya, Kei. Baru saja pulang dari sekolah.”
Anak itu mencium tangan ibunya kemudian gantian ke tangan Adam meski tamunya yang satu itu agak canggung dengan bentuk salam semacam itu. Sonia tersenyum sampai anak bungsunya itu menghilang di sudut koridor menuju kamarnya. Pembantu perempuan langsung menyusulnya dengan membawa handuk.
“Sepertinya anak-anak Anda cukup diperhatikan.” Adam berkomentar begitu saja ketika mereka sudah di lantai dua melewati balkon sempit yang menghadap ke lampu gantung ruang tamu.
“Kei lucu. Dia antusias terhadap apapun, dan reaktif. Ekspresinya juga tak kalah dengan orang-orang dewasa.”
“Saya bisa lihat itu.”
Sonia berdeham. Adam lalu bertanya perihal kebingungannya karena ternyata tak ada kamar lain yang digunakan di lantai itu, kecuali kamar Kei.
“Kami punya dua kamar tamu, tapi jarang dipakai.”
“Lalu anak Anda yang satunya lagi?”
“Oh, Nisa. Dia lebih suka di kamar bawah. Katanya biar tidak capai kalau harus keluar masuk. Malas naik tangga.”
“Oh.” Adam mengangguk paham.
“Pak Adam mau melihat kamar Nisa?”
Tapi tamu itu mengangkat telapak tangannya sambil menggeleng. “Biar nanti saja kalau Nisa sudah pulang.”
Tur singkat itu cukup memuaskan bagi Adam, meski masih ada beberapa bagian yang ia anggap sebagai kejanggalan baru. Sebuah bagian dinding di taman luar, salah satu alat akuarium, dan posisi kamar yang aneh. Ia catat di dalam benaknya ketika nyonya rumah itu menyilakan dia berkeliling sendiri.
Puas melakukan penyelidikan yang diperlukan, Adam akhirnya keluar dari pintu utama dan langsung disambut kembali oleh Win.
“Pak Win,” sapa Adam. Sopir itu membalas dengan anggukan antusias. Jumlah anggukannya melebihi siapapun. Badannya masih membungkuk ketika Adam mengajaknya berjalan-jalan. Mereka berjalan mengelilingi taman.
“Mmm ….” Win menggaruk dagunya. Sedang mengingat sesuatu. “Ada satu hal, sebetulnya,” jawabnya atas pertanyaan Adam apakah ada yang janggal sopir itu saksikan pada sore hari kematian majikannya.
“Kursi itu, Pak.”
“Kursi?”
“Ya. Yang itu. Di sana itu.”
Adam memicingkan matanya berusaha menetralkan pandangan dari sapuan sinar matahari. Beberapa langkah di depan sana, bersandar di dinding luar taman, sebuah kursi rusak yang berkaki tiga. Sandarannya merapat ke dinding membuatnya tetap datar.
“Kursi duduk Pak almarhum, rusak jadi ditaruh di sana. Belum sempat saya buang karena mungkin lebih baik menunggu tukang barang bekas lewat.”
“Apa yang aneh dari kursi itu?”
“Berpindah, Pak.”
“Pindah? Sore kejadian?”
Win nampak kebingungan lagi. Ia berusaha mengingat lagi.
“Seingat saya, kursi itu ditaruh di tiang ketiga. Terus, waktu Pak almarhum dibawa ke rumah sakit dan saya lewat situ lagi waktu mau menaikkan kontak listrik, kursi itu pindah dengan sendirinya! Ke tiang keempat.”
Tiang yang dimaksud sopir itu adalah penopang lampu yang mengarah langsung ke trotoar jalan di luar. Ada lima tiang yang ujung barisnya berakhir pada gerbang utama. Tiang ketiga yang dimaksud itu tak dihalangi tanaman apapun, jadi kursi itu bisa dirapatkan ke tembok di dekatnya, semestinya. Tapi pagi ini, sebagaimana yang mereka lihat, kursi berkaki tiga itu bersandar dalam posisi yang sama, namun tempat berbeda. Kursi itu bersandar di dinding, satu meter di samping kanan tiang keempat.
“Ini aneh, Pak. Karena saya yakin tidak ada satu orang pun yang lalu-lalang sore itu di sini. Wong saya lagi menyiram tanaman kok!”
Adam berjongkok di depan kursi itu, memperlihatkan bagian kakinya yang patah, lalu mencoret beberapa kata lagi di buku catatannya. Win memerhatikan itu dengan saksama, ikut berjongkok bahkan menggaruk dagu.
“Terima kasih, Pak Win.” Adam bangkit dan menjabat tangan sopir itu. Win senang bukan kepalang. Nampak sekali tangannya sudah lama sekali tidak dirangkul sehangat itu. Membungkuk sampai sepuluh kali.
Adam meninggalkan rumah itu setelah menitipkan salam pamit untuk nyonya rumah yang sudah berdiam di kamarnya sejak tadi. Saat keluar dari gerbang, sebuah taksi berhenti dan menurunkan penumpang, perempuan muda dengan dandangan khas anak kampus. Perilakunya lebih tertutup meski gerak lengan dan langkah kakinya menunjukkan ketegasan sikap. Adam memerhatikan sampai gadis itu masuk ke rumah.
“Non Nisa, dia yang paling terpukul atas kematian Pak almarhum,” komentar Win begitu saja.
"Bukannya anak Bu Sonia namanya Mesty?"
"Mesty Annisa Ismail. Sama ibunya memang dipanggil Mesty. Tapi dia lebih senang dipanggil Nisa."
"Oh."
“Saya juga sedih, Pak. Pak Almarhum itu orangnya baik sekali.”
Adam menepuk pundak sopir yang nampak ikut meratapi duka itu. Kemudian berlalu. Catatannya sudah hampir lengkap. Petunjuk mulai menyeruak.
Tapi ada satu hal yang mengganggu pikirannya tiba-tiba.
Yang namanya Nisa itu, ada sesuatu dengannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H