Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buku Harian Sebelum Menikah

9 Juli 2012   12:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:08 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (zastavki.com)

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Ilustrasi (zastavki.com)"][/caption] * Jumat, 13 Februari. Ada satu hal yang disebut kimia. Pertautan dua elemen dengan menemukan ikatan yang tepat di antaranya. Orang-orang berpikir bahwa menjalin hubungan kasih adalah hal yang sakral. Sebagian lain menyebutnya sebagai gaya hidup semata. Diganti sesuai perubahan suasana hati. Tapi dia, membuatku bertanya-tanya tentang teori dan penerapan untuk semuanya. Caranya memperkenalkan diri, tutur katanya, bahasa tubuhnya, juga kata-kata yang dilontarkannya. Entahlah, tapi dia begitu spesial sejak hari pertama. Bayangkan, bagaimana dia tahu soal kebiasaanku mengonsumsi jus kacang hijau di saat pertama ketemu? "Kulitmu cerah, matamu putih. Kamu juga sepertinya berkeringat teratur. Itu cuma dimiliki orang-orang dengan keseimbangan kadar serat dan protein nabati di tubuhnya." Benar-benar tak terduga. Dia seperti profesor! Meski memang berlebihan aku menilainya. Kamis, 20 Mei. Taman Roya tetap hijau. Rumputnya tidak berubah. Begitu pula dengan pohon-pohonnya. Tapi bunga-bunga kecil itu, ada sesuatu dengan mereka. "Sudah tumbuh lima senti lebih tinggi. Itu karena kau menjaganya." Katanya soal empat tangkai bunga yang kami tanam bersama di hari pertama dekat. Aku tak pernah suka memerhatikan bunga apatah lagi rumput. Tapi dia menunjukkan caranya. Bagaimana bisa kumenolak ajakannya menanam lima tangkai bunga sepatu di atas rumput yang begitu hijau? Bahkan aku merasa tidak enak ketika kaca matanya kotor karena kecerobohanku menggali tanah. Tapi dia tertawa dengan begitu manisnya. Dua lengannya benar-benar mengagumkan ketika melakukan sesuatu. Hari ini, tiga bulan kami bersama. Entah bagaimana harus kutuliskan pertalian sayang yang terjadi begitu saja. Tidak usahlah. Senin 11 Juli. "Aku harus segera menikah, Nun." Menikah, katanya. Aku diam saja karena sudah sewajarnya. Memangnya harus kutanggapi seperti apa? Kami menjalani kasih begitu wajarnya. Hangat, tidak berlebihan dan tidak merasa kurang secuil apapun. Meski ia berulang kali harus minta maaf karena sulit menemuiku di waktu kerja dan pekan-pekan sibuk karena gejolak konflik, ia tetap mengejarku. Seperti belum berpacaran. Semangatnya begitu menggugah entah diturunkan dari ayahnya yang memang pekerja keras. Aku teringat satu hal ini yang membuatku jatuh cinta. Kami sementara saling merasa cukup. Semuanya berjalan begitu indah meski tak sempurna. Tapi menikah? Sabtu 17 September. Dia menghilang. Ya, menghilang begitu saja. Sudah tiga bulan lamanya. Entah ke mana saja dia. Sejak permintaannya tentang menikah waktu itu, aku jadi tak bisa banyak bicara. Perbincangan menjadi kikuk, mungkin karena ketakutanku semata jika sewaktu-waktu ia meminta itu lagi. Aku masih tujuh belas. Dan dia dua puluh sembilan. Apakah aku harus mengatakan iya atau tidak dalam waktu bersamaan? Lalu saat dia tak lagi menanyakan apapun, aku kehilangan dia. Duh, sudah lamanya. Aku tak bisa bekerja seperti sedia kala. Orang tua dan kawan-kawan pun tak berdaya dan sibuk dengan banyak prasangka. Berat, tapi ini sudah terlalu lama. Aku harus berhenti menunggu? Januari. Tak pernah kurindukan Februari. Mulai ragu menunggu yang tak pasti. Senin, 13 Februari. Aku harus menerima Yusuf. Ibu sakit-sakitan dan memintaku sampai menangis. Tidak tahu harus menulis apa lagi. Besok harus bersiap menyambut keluarga calon mempelai. Yusuf seperti apa orangnya juga aku tak pernah benar-benar tahu. Adat yang jauh lebih tahu. Seperti orang-orang yang ingin sekali menikahinya. Tak ada pendapat buatku. Hanya perintah. Selebihnya permintaan tulus dari orang tua yang mengandung dan mengurus sejak bayi. Biarkan saja .... Aku tidak menunggu siapa-siapa lagi. 20 Mei. Jelang akad nikah yang lucu. Tapi bukan karena kue yang jatuh atau lebar karpet yang tanggung. Tapi karena aku berlari ke tengah lapangan. Aku melepas sepatu dan melintas di atas taman. Mereka mengejarku tapi aku berlari begitu saja meski beberapa kali hampir jatuh. Saat di sana, benar saja. Bunga-bunga itu tak lagi ada di tanah, tapi di genggaman tangan seorang laki-laki. Yang tersenyum, yang akhirnya kulihat lagi. "Nun, aku ..." Tak perlu dilanjutkan kalimat itu. Aku memeluknya begitu saja. Tak peduli orang-orang berkata apa. Tak peduli apapun yang terjadi setelahnya. Di waktu yang singkat itu, tak kurang dan tak lebih. Hanya merasa bahagia.

===================================

Ditulis untuk Wedding Party Dua Kompasianer Palembang.

Melalui fiksi ini juga saya mengucapkan selamat berbahagia untuk

Mbak Uli Hape dan Mas Yusep Hendarsyah.

***

"Pernikahan menjadi indah karena menyatukan dua perbedaan, bukan sejuta persamaan."

===================================

Jangan lupa oleh-olehnya yaaaa....!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun