Penampilan yang cukup, tapi baginya belum. Rambut mengkilap dan dasi terikat rapi.
"Sempurna," kata penata rias.
Tapi ia menggeleng. "Rasanya ada yang kurang."
Penata rias itu, berkecak pinggang sambil mencibirkan bibirnya. Kemayu yang diterima secara umum. "Oh, Arya. Sudah kubilang kau butuh sedikit senyuman. Orang-orang memujamu, mereka menunggumu di luar sana. Berilah sedikit senyuman."
Sambil pipi ditarik ke atas dan ke bawah. "Sudahlah. Jangan dipaksakan. Aku lupa caranya tersenyum."
Penata rias cemberut lagi. Bibirnya terlipat lagi.
***
"Cepaaat! Sudah jam lima!"
"Iya. Sebentar. Maaf." Gadis itu terangguk-angguk sambil berlari menyeret sepatunya. Riasan gelang flanel bahkan belum rapat terikat di pergelangan tangannya. Poninya disisir dengan jari juga pada akhirnya. Berlari. Naik bus.
Lima belas menit kemudian mereka tenggelam dalam keramaian yang menyesakkan. Lampu-lampu sorot berpijar dan laser berpendar. Bunyi dari pengeras suara mendentum berkali-kali mengejutkan dada.
"Nisa, itu!"