Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misteri Sepotong Roti (9)

1 Juli 2012   09:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:22 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelas sudah, ini adalah pembunuhan.

Orang itulah yang diduga kuat sebagai pelakunya.

(Sebelumnya ....)

Keempat orang itu terus bertanya dengan mimik mereka masing-masing. Kapten Hilmi dan Eno mencoba menenangkan ketika beberapa petugas di luar ruangan mulai mengamati tajam, bersiap untuk segala kemungkinan. Dini yang paling gencar bertanya diselingi protes dan ancaman, tapi kapten Hilmi terus menenangkan dengan sesekali melirik ke Adam yang hanya memeluk dada menyandarkan badannya ke tepian meja.

“Kalau Anda tidak bersalah, seharusnya tidak perlu khawatir. Hanya orang bersalah yang perlu takut.” Idham berbicara dengan nada rendah. Dini yang mendengar itu nampak sewot dan mencibir, mengomel lirih entah kepada siapa sebelum akhinya merapatkan badannya ke sofa. Adam melihat bahasa tubuh keduanya dengan cermat. Di dalam benaknya Idham Samawi tetap perlu diawasi. Sementara ketika suasana kembali tenang, ia berbicara.

“Saya kira itu benar,” kata Adam. “Anda semua hanya perlu mendengarkan hipotesa saya. Kalau keberatan Anda bisa mengajukan tuntutan kemudian. Tapi status Anda sekarang mewajibkan untuk tetap di ruangan ini sampai pengungkapan selesai. Betul begitu, kapten?”

Kapten itu mengangguk. “Iya betul. Kalau semua sudah siap, saya mulai memutar rekaman. Apapun yang Anda katakan akan tercatat sebagai bagian dari arsip pemeriksaan. Jadi mohon bekerjasamalah.”

Diam.

“Baiklah. Pertama-tama, mari kita rekonstruksi sederhana kasus ini dari awal.” Adam akhirnya memulai hipotesanya. Eno yang memerhatikan dari sudut ruangan mulai menyiapkan kertas dan pena jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

“Minggu, 1 Agustus. Ratna Siregar ditemukan meninggal dunia dengan posisi tergantung pada bagian leher, tepat di atas meja tamu di rumahnya.” Adam melanjutkan kalimatnya dengan sangat hati-hati, pandangannya sesekali diarahkan ke wajah Reza yang kembali menunduk. “Reza, adik korban, adalah saksi utama yang tiba di TKP sekitar pukul dua belas. Saksi sempat curiga karena gembok di bagian pintu tidak terpasang sempurna, tidak seperti biasanya ketika korban sedang bekerja. Yang dilapori pertama kali adalah Mukhlis, ketua RT Karang Rejo. Polisi kemudian tiba sekitar jam satu. Selain mayat korban, di TKP, oleh polisi, ditemukan beberapa barang sisa sarapan pagi itu. Satu gelas berisi teh hangat yang diminum setengahnya, selapis roti selai coklat kacang yang terpotong di dua bagian, juga sisa sarapan. Menurut pengakuan adik korban, dialah yang menggigit roti itu sebelum berangkat ke sekolah.”

Reza mengangguk. Mukhlis dan Dini melihat sekilas kemudian menyimak lagi, sementara Idham baru saja selesai dengan telepon genggamnya.

“Polisi menyimpulkan dengan mudah kasus ini bunuh diri, tapi menurut pengamatan terbaru ada beberapa kejanggalan yang menyiratkan hal lain. Dari bukti-bukti tersisa itulah, saya menyimpulkan bahwa kematian Ratna tidaklah wajar. Ada seseorang yang bersamanya pagi itu, tepat sebelum kematiannya.”

Dini merapatkan lututnya, sementara Mukhlis menatap tajam seperti elang. Idham melepaskan punggungnya dari sandaran sofa dan merapatkan jari-jarinya. Sepatunya tergeser beberapa kali pertanda buyarnya ketenangan yang tadi dibawanya dengan penuh percaya diri. Adam menatap mata ketiganya berulang-ulang sebelum melihat Reza dan Eno sekilas.

“Ratna dibunuh, dengan cara yang paling ceroboh.”

Mata ketiga saksi itu membelalak bersamaan. Nampak jelas meski mereka berusaha menyembunyikannya.

“Tentu saja modus awal yang dipakai tersangka adalah mengelabui polisi seakan-akan ini adalah kasus bunuh diri. Cara yang sering digunakan dan polisi selalu saja tertipu.”

Kalimat terakhir itu membuat Hilmi ingin memotong kata tapi Adam buru-buru melanjutkan kalimatnya. Eno hanya tersenyum.

“Ada beberapa fakta yang perlu disebutkan agar kasus ini nampak lebih jelas. Pertama, korban dibunuh bukan di ruang tamu."

Adam membiarkan keheningan menyelimut ruangan itu sebelum kembali melanjutkan. "

Menurut bukti forensik, ada beberapa luka yang tak biasa di tubuh korban. Meski bekas jeratan benda tumpul di bagian leher bisa dipastikan sebagai penyebab kematian, tapi itu bukanlah bagian fatal dari serentetan cidera dan sisa trauma fisik di tubuh korban. Di ujung jari kanan terdapat sisa kayu yang terselip ke dalam lubang kuku.”

Hilmi menyela dengan penasaran, “Bagaimana bisa?” Gesit, tapi bisa mengontrol diri.

Adam berjalan ke belakang meja untuk bisa merasakan struktur tembok ruangan itu dengan telapak tangannya. Bahasa tubuh yang aneh di mata semua orang di situ.

“Dinding kamar korban sebagian besar terbuat dari tripleks. Itulah yang membekas di dalam kuku. Korban dicekik dengan lengan dari arah belakang ketika lengah. Untuk mencegah teriakan, tersangka juga membekap mulut korban dengan telapak tangan satunya hingga akhirnya korban meronta. Di bagian belakang tumit kaki sebelah kanannya ada bekas gesekan benda tajam yang ukurannya kecil, kemungkinan adalah lantai. Ketika perlawanan usai, tersangka membawa tubuh korban ke ruang tamu, menyiapkan sarung yang diambil dari lemari, lalu menggantungnya. Tentu saja tidak ada bekas seretan kaki di ruangan tamu karena bagian itu diperhitungkan matang-matang oleh tersangka. Dengan sebelumnya menyingkirkan piring roti dan gelas, tersangka dengan susah payah menggotong tubuh korban dan menggantungnya. Terpeleset saat naik, kursi yang dijarikan tangga kemudian terjatuh menghadap dinding. Korban tergantung dan berayun, persis di tengah meja. Tentu saja tersangka sering menonton tayangan kriminal karena jelas lidah korban ditarik keluar seakan-akan kematian berawal dari jeratan sarung. Meja dirapikan kembali, dan nampaklah tidak ada keanehan apa-apa.”

Reza menutup wajahnya sambil menggeleng keras. Anak itu tersungut.

“Setelah selesai memosisikan tubuh korban seakan-akan melakukan bunuh diri, barulah tersangka menuju kamar korban untuk membawa sesuatu.”

“Apa yang ingin dibawa?” tanya Hilmi.

Adam menggeleng dan mengisyaratkan untuk melanjutkan penjelasannya terlebih dahulu. “Sayangnya, tersangka tidak menemukan yang dicarinya, ketika jam berbunyi tepat pukul dua belas. Menyadari adik korban sebentar lagi pulang, ia tak ambil risiko. Rumah ditinggalkan, gembok dipasang tidak sempurna di pintu dan pagar, rumah itu kembali sepi. Pelaku meninggalkan rumah itu tanpa membawa apa-apa. Menggunakan sepeda motor tergesa-gesa, pelaku sempat terkejut karena melihat adik korban di jalan. Reza, kau ingat siapa yang memakimu di jalan itu kemarin?”

Reza berusaha mengingat tapi nihil. Ia menggeleng. “Saya hanya lihat sepatunya.”

Adam tersenyum. “Nah. Sepatu seperti apa?”

Anak itu menunduk seperti mencari-cari sesuatu. Kemudian dengan tegas lengannya terangkat dan telunjuknya terarah tegas.

“Itu.”

Semua mata tertuju ke sepasang sepatu yang dikenakan begitu rapi oleh seseorang di situ. Mengkilap, menopang sepasang tungkai yang berbalut celana kain warna gelap.

(Selanjutnya ...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun