Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bagikan atau Tidak?

21 Juni 2012   08:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:42 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="630" caption="Ilustrasi (2.bp.blogspot.com/geardiary.com)"][/caption] Keputusan untuk membagi (share) konten di media-media sosial adalah bagian padu dari apa yang disebut "aliran" atau dalam dunia jurnalistik diumpamakan rumor. Kalau jumlah tweet di Twitter bisa mencapai lebih dari 400 juta per hari di seluruh dunia, maka jumlah retweet per pengguna bisa mencapai angka 10.000 untuk satu tweet, seperti yang dialami penyanyi muda Justin Bieber.  Sepenuhnya menjadi hak pembaca konten apakah membagi kepada lebih banyak orang atau tidak. Tapi apakah ada saat tertentu ketika kita harus mempertimbangkan matang sebelum menekan "share" atau "retweet"? Sampai saat ini sudah banyak pakar media sosial yang mengulas tentang pentingnya mengetahui saat yang tepat untuk membagi sebuah konten ke lebih banyak jejaring sosial. Dipercaya, ketidaktepatan waktu atau pengambilan keputusan yang "gegabah" dalam pembagian konten bisa berdampak besar pada aliran informasi yang diterima masyarakat. Lantai bursa saham bisa tiba-tiba riuh karena sebuah tweet, dan sebuah agen federal bisa tiba-tiba menangkap seseorang karena tulisan di dinding Facebook. Bahkan, seseorang bisa dipidanakan karenanya. Yogi Santani (22), sampai tulisan ini dibuat masih berurusan dengan kepolisian atas kenakalannya mengunggah foto-foto tidak relevan seputar korban jatuhnya pesawat Sukhoi S100 awal Mei lalu. Jika dilihat dari konteks sempitnya, keputusan seorang pengguna jejaring sosial untuk membagi atau membagi ulang konten di internet berdasar atas bombastisitas. Aktualitas berita selalu akan ditilik banyak orang di dunia maya. Hal ini berkaitan juga dengan kejadian sedang berlangsung atau yang memang ditunggu-tunggu. Waktu Instagram dibeli Facebook , tercatat topik ngetren di topik yang bertahan sampai tiga hari berkaitan dengan itu, dari 9 hingga 12 Maret. Aktualitas sering berkaitan dengan asas kedekatan. Facebook adalah jejaring sosial sejuta umat. Itulah kenapa berita ini jadi sangat menggemparkan. Bayangkan jika ternyata berita itu adalah hoax, betapa banyak orang yang akan marah. Tidak bisa dipungkiri besar pula potensi berita sensitif dan tidak benar akan terbagi secara luas melalu media sosial. Untuk itu, para pengguna yang cerdas dapat melakukan pertimbangan singkat antara waktu mengonsumsi sebuah berita dengan detik saat ingin membaginya. Beberapa pertimbangan yang bisa dilakukan cukup mudah. Harvard Business Reveiw sebagaimana dirilis majalah TIME Mei memberikan petunjuk berikut. Apa yang harus dipikirkan sebelum menekan tombol "share"?

  1. Kenali tendensi. Kita tidak mungkin dengan mudah membagikan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang yang dengan sengaja maupun tidak, telah kita ketahui. Bahkan jika sahabat Anda menceritakan kehidupan pahitnya secara tulus dan tidak menyampaikan satupun larangan kepada Anda untuk menyebarluaskan kisahnya, maka Anda tetap harus mempertimbangkan apakah berita yang akan Anda muat pertama kali di blog publik atau bagikan melalui dinding Facebook terkait hal itu mengandung tendensi atau tidak. Bayangkan bagaimana respon orang-orang yang mungkin mengalami nasib yang sama, atau orang-orang yang senang jika mendengar berita demikian. Anda dituntut untuk menggunakan kepekaan sosial dalam hal ini. Dan bukan semata-mata untuk meraup jumlah klik.
  2. Pertanyakan motif. Sangat berguna jika Anda pertanyakan kepada diri sendiri apa motif Anda melakukan pembagian berita ini. Apakah karena publik sebaiknya tahu? Ataukah karena narasumber ingin cepat dikenal? Ada banyak motif di balik berita, termasuk berita-berita yang berdasar fakta. Jangankan berita hoax, bahkan berita benar terkait runtuhnya rumah tangga seseorang pun pasti mengandung motif. Secara ekstrem, dalam hal ini Anda harus membaca masa depan.
  3. Kedepankan transparansi. Cantumkan sumber berita dengan jelas. Tulislah nama narasumber dengan lengkap jika memungkinkan. Menyatakan sumber berita akan meringankan tanggung jawab Anda jika sewaktu-waktu ada yang menggugat informasi yang anda bagikan kepada publik. Meski demikian, Anda tetap tidak dapat berkilah dan lepas tangan jika ternyata informasi tersebut tendensius.
  4. Kroscek. Jika terkait berita yang terlalu bombastis, misalnya isu kematian tokoh terkenal atau bencana alam, sebaiknya lakukan pencarian informasi secara lebih detil. Perhatikan format berita. Biasanya laporan resmi dilengkapi dengan narasumber yang jelas, latar waktu dan tempat yang transparan, serta berita-berita tambahan yang membuat publik tidak bertanya-tanya lagi. Selain daripada itu, silakan tahan diri Anda untuk menekan "share" atau retweet. Jika berita ternyata benar, bagikanlah secukupnya, jangan overshare.

Berita buruk akan selalu ada setiap hari. Tapi akan jadi sedikit lebih baik jika yang mengonsumsinya adalah orang-orang yang tepat. Khalayak maya semakin plural. Menjangkau semua lapisan sosial dan usia. Berita-berita seputar isu sensitif yang lebih relevan digunakan orang dewasa jangan dibagikan melalui jejaring sosial yang pengguna terbesarnya adalah remaja bawah umur. Isu yang terlalu sensitif mestinya tidak dibagikan secara terlalu luas. Bahkan, ada pula waktu-waktu yang bagi pengguna media sosial untuk lebih baik diam. Karena media dan jejaring sosial kini kastanya sudah setingkat laman-laman sumber berita arus utama, para pengguna dituntut untuk mengadopsi profesionalitas yang melekat pada konteks berita tertentu. Pengguna cerdas tahu kapan harus membagikan konten, dan kapan menahan diri. Karena belum ada batasan yang jelas yang bisa membendung sebuah aliran berita, semua tergantung pengguna apakah ia memilih jadi pengguna cerdas atau tidak. Bagikan tulisan ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun