Idham Samawi bukan seseorang yang menyenangkan. Pencarian semakin sempit.
Adam dan Eno harus kembali ke tempat mereka memulai.
Desa Karang Rejo cepat melupakan kejadian yang menimpa warganya. Kehidupan normal apa adanya demi rezeki yang harus diburu. Warung-warung kelontong dijaga pemiliknya saban siang dan gantian menjelang sore penjaja makanan ringan masuk dengan gerobak-gerobak mereka. Keramaian yang normal. Hal itu membuat adam bisa tersenyum sepanjang perjalanan kakinya mengitari dua dusun sambil melakukan rencana-rencananya.
“Aku kira masyarakat kita sekarang jauh lebih cerdas ketimbang dulu,” kata Adam ketika mereka berdua sudah berjalan-jalan santai di siang hari di gang menuju utara.
“Ya,” Eno mengiyakan. Ia terus mengangguk kepada tiap perempuan muda yang tersenyum dari jauh.
“Memangnya kau tahu arah pembicaraanku?”
Eno tergelak sejenak. Merasa tak kehilangan arah pembicaraan, ia berusaha menjawab. “Lebih modern, kehidupan mereka lebih teratur?”
Tapi atas jawaban itu Adam justru tersenyum melihat ujung sepatunya.
“Itu satu sisi, memang benar,” timpalnya. “Tapi bukan itu.”
Eno melihat seperti baru saja tertelan terowongan misteri pemikiran Adam yang lalu menghela napas.
“Reaksi mereka, Eno,” lanjutnya. “Mereka seperti jauh lebih terbiasa terhadap krisis, hal-hal terjadi jauh lebih mengerikan daripada hal-hal di masa lalu. Dan nampaknya, mungkin karena pendidikan mereka juga lebih baik, masyarakat sering kali menganggap banyak tragedi sebagai bagian wajar dari kehidupan mereka. Terkejut hanya di awal, lalu melupakan di belakang.”
“Bukannya itu bagus?”
Adam mengangguk. “Lagi-lagi di satu sisi. Tapi bahayanya, kita bisa justru terjebak dalam keheningan yang berbahaya.”
“Air tenang yang menghanyutkan.”
Adam tersenyum dengan pengibaratan yang ditambahkan rekannya itu. Setelah berbelok di gang keempat yang mereka tuju, barulah Adam berhenti di depan sebuah rumah. Tidak bertingkat, berpagar tembok yang kurang dirawat, serta halaman dengan gerbang yang hanya berjarak empat langkah dari pintu kayunya. Seorang perempuan muda sedang duduk sambil menyusui bayi, cepat-cepat merapikan bajunya ketika matanya melirik kedua orang aneh di depan pagarnya. Adam tersenyum, memberi salam yang kemudian terjawab, lalu masuk melewati pagar.
“Permisi, Ibu.” Mereka memperkenalkan diri kemudian disambut dengan dipersilakan masuk ke dalam rumah. Eno tak banyak bicara sampai mereka berdua ditinggalkan tuan rumah yang lalu ke dapur.
“Untuk apa kita kemari?” tanya Eno penasaran.
Tapi atas pertanyaan itu Adam hanya mengangkat telunjuknya ke mulut, sambil berkedip. Kedipan mata itu sudah dihapal baik oleh polisi berpangkat inspektur yang di pikirannya sudah sangat sering melihat gerak-gerik misterius seorang investigator. Ia memilih diam. Saat tuan rumah menaruh bayinya di ayunan sarung dan duduk merapatkan lutut di kursi tamu, barulah perbincangan dimulai.
Dini, begitu si tuan rumah memperkenalkan dirinya. Adam nampak bersemangat meladeni beberapa pertanyaan yang justru diajukan tuan rumah. Ia menangkap ekspresi defensif yang kuat di tiap gerak tubuh dan kalimat perempuan paruh baya itu.
“Kami kemari untuk membantu keluarga almaruham Ratna, Bu Dini.”
“Untuk apa itu? Bukannya anak itu bunuh diri?” Tuan rumah langsung menyergap dengan sengit.
“Dugaan sementara oleh kepolisian memang demikian, Bu. Tapi kami, saya sendiri, berpendapat lain.”
Perempuan itu memiringkan wajahnya dan hanya melirik sesekali setelah menyilakan kedua tamunya meminum teh panas penyambut.
“Kalian menganggap ini pembunuhan, begitu?”
Adam melirik ke Eno sesaat sebelum melontarkan jawabannya. Sejenak atas pertanyaan barusan ia langsung mengetahui bahwa perempuan ini cukup cerdas, paling tidak tercermin dari caranya membaca arah perbincangan mereka.
“Saya kira tidak ada salahnya berprasangka jika muncul fakta-fakta yang lebih tepat, Bu.”
“Fakta apa?”
“Nanti akan disimpulkan setelah semua petunjuk terkumpul. Sekarang saya hanya minta tolong kepada Anda untuk menjawab beberapa pertanyaan yang jadi dugaan saya ini. Apa benar Ratna adalah keponakan Anda?”
Tuan rumah itu nampak terkejut, meski emosinya cukup terkendali. “Bukan keluarga langsung. Saya tidak begitu dekat dengan anak itu.”
“Bagaimana dengan Reza?”
“Kalau adiknya cukup akrab. Dia sering kemari minta tambahan uang belanja buku kalau dapat sedikit dari kakaknya.”
“Seingat Anda, Ratna pernah meminjam uang?”
“Uang?” Dini berusaha mengingat-ingat. “Pernah, dua kali. Waktu lebaran Idul Fitri dan Idul Adha. THR-nya selalu kurang, jadi saya membantu sedikit, di samping kasih baju koko juga buat Reza. Sekadar bantu.”
“Utang itu sudah dibayar?”
“Sudah. Dibayar lunas tanpa bunga Juni tahun kemarin. Sekarang tidak pernah ada sangkutan lagi. Dia naik jabatan, jadi mungkin gajinya juga lebih dari cukup.”
Adam mengangguk. Eno yang duduk di sampingnya hanya menyimak sambil mencatat beberapa hal.
“Apa Anda mengetahui ada pekerjaan lainnya yang dilakoni Ratna, selain di perusahaan pengelola acara?”
“Aduh, kalau itu saya tidak begitu tahu. Anak itu mandiri, ditinggalkan orang tuanya sejak SMA. Dia bisa saja punya banyak sumber pendapatan. Dia pernah dagang batik untuk orang-orang kompleks sini. Cukup laris, apalagi dia nyambi mengajar waktu itu. Kalau sekarang kan, mungkin sudah tidak sempat jualan lagi.”
Adam mencatat di bukunya beberapa kalimat. “Menurut Anda,” tanyanya lagi. “Ratna saat ini sedang dekat dengan siapa. Pacar, misalnya. Anda tahu?”
“Tidak tahu. Saya tidak mengurusi masalah itu.”
“Menurut Anda Ratna anaknya bagaimana?”
Mendengar pertanyaan itu terpancar kebencian yang kembali menutupi pupil sang tuan rumah. Suasana ruang tamu itu jadi lebih hening sesaat sebelum jawaban terdengar.
“Banyak rahasia.”
“Rahasia?”
Dini mengangguk. Bola matanya baergerak-gerak ke samping, bawah dan atas bergantian. “Anak itu sebetulnya tidak tertutup, cuma menurut saya dia punya banyak rahasia. Seperti punya harta terpendam yang tidak ingin orang lain tahu. Rasa-rasanya lho, ya.”
“Tapi …,” akhirnya Eno menyela. “Bukannya tadi Anda bilang Ratna sempat pinjam uang, berarti dia memang kekurangan.
“Saya tidak bilang uang. Cuma harta. Beberapa kali ia terlihat tiba-tiba mengenakan perhiasan, Cuma sehari, kemudian besoknya balik biasa lagi tampilannya. Heran juga saya. Mungkin dia rezejkinya sedang bagus, atau dapat hadiah undian. Itulah kenapa juga saya tidak pernah nyaman meminjamkannya uang. Eman-eman.”
Adam tersenyum mendengar kalimat terakhir itu. Catatannya bertambah, tapi entah apa hubungan informasi barusan yang rasanya masih terlalu dangkal dan tidak memuaskan hatinya.
“Semuanya tiba-tiba kabur, Eno. Data-data kita dangkal,” komentar Adam ketika mereka sudah kembali berjalan di gang menuju tengah kampung.
“Ibu tadi itu sepertinya tidak suka dengan almarhumah.”
Adam menyetujui dugaan itu dengan senyuman. “Dia menyimpan kebencian. Orang seperti itu tak bisa kita manfaatkan kecuali hatinya diluluhkan terlebih dahulu.”
“Jadi menurutmu kita sudah tepat barusan?”
“Lumayan. Cuma kita akhirnya harus mencari data primer.”
“Data primer?”
“Kita kembali ke TKP.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H