Pagi. Corat-coret tidak jelas. Sudah lima menit kesepuluh direktur itu hanya duduk terpekur tanpa berani bersuara. Di atas kertas sudah terbentuk lingkar-lingkar berbentuk seperti orbit planet yang tak tentu arahnya. Ujung pensil tak pernah lepas dari permukaan kertas, menarik dan menarik. Bentuk gambar yang tidak jelas. Hanya bunyi itu yang bersaing dengan bunyi yang keluar dari pengatur suhu udara. Dua-tiga direktur sudah hampir mengantuk tapi tak berani menguap. Keheningan itu akhirnya sirna ketika terdengar bunyi batang rapuh yang patah. Ujung pensil terlempar beberapa senti jauhnya, menyisakan serbuk-serbuk karbon berhamburan di atas meja. “Bu Naya,” kata Direktur Pemasaran yang duduk di baris kiri. Seorang pemuda tegap dengan penampilan yang nampak seimbang dengan kecerdasannya. Di ujung meja yang jadi pusat perhatian, si pemegang pensil menatap kosong kemudian memeriksa coretannya lagi. “Naya,” kata Noel mengulang seruannya. Menghadapi presiden direktur yang sekaligus adalah kekasihnya itu bukan perkara mudah. Menempatkan diri antara kelembutan perasaan juga ketajaman logika. Apalagi, ini rapat resmi. Tidak boleh ada yang salah. “Kita harus segera memutuskan.” Akhirnya Presiden Direktur angkat bicara. Ia menarik tangannya yang selama beberapa detik terakhir ditindih telapak tangan oleh Noel. Ia menghela napas kemudian melempar senyuman misterius kepada peserta rapat. “Kita bisa pangkas gaji sampai sempat puluh persen,” katanya yang mengejutkan semua orang. Di sisi kanan meja, sudah dua direktur angkat tangan meski kemudian hanya satu di antara mereka yang berani berbicara. “Maaf, Bu Naya. Tapi kita sudah melakukan itu kuartal ketiga pada dua tahun yang lalu. Saya kira situasi kita yang sekarang berbeda. Kita menghadapi krisis …” “Saya tidak peduli krisis!” balasan yang cepat beriringan dengan tepukan di atas meja. Naya meninggikan nada suaranya meski ia selalu dalam kontrol emosi yang baik. “Dengar. Kalian semua tahu saya tidak pernah sekalipun memecat orang. Sejak perusahaan ini masih sebesar garasi mobil Anda, Pak Yusep.” Tatapan tajam diarahkan ke direktur Telekomunikasi yang sebelumnya mengajukan tawaran solusi itu. “Dari awalnya hanya tiga orang sampai sekarang kita punya tujuh ribu karyawan, saya kira tidak bijak kalau kita mengorbankan keluarga-keluarga kita sendiri untuk selamat. Kita di atas kapal besar yang mau tenggelam; lebih baik membuang galon-galon tempat bubuk senjata atau lemari-lemari pakaian kita daripada manusia, sekalipun mereka tukang pel lantai. Anda mengerti maksud saya?” Tak ada jawaban selain anggukan. Beberapa saat hening, akhirnya Noel angkat bicara. Dengan menegakkan badannya ke depan, ia memulai dengan sangat pelan. “Bu Naya,” ia membuka. “Krisis ekonomi ini sudah menghabiskan galon-galon dan lemari-lemari kita sejak tiga bulan yang lalu. Semua biaya sudah disusutkan bahkan kita memotong jam operasional pabrik sampai empat jam guna menghemat pengeluaran energi. Penjualan kita merosot sampai tiga puluh persen sejak enam bulan terakhir karena nyaris tidak ada permintaan dari rekanan. Thailand sudah bangkrut dan separuh perusahaan dalam negerinya tutup. Sementara harapan terakhir kita Malaysia, Vietnam dan juga Washington sudah menutup kemungkinan menambah permintaan. Mereka fokus di efisiensi stock opname. Semua negara siaga dampak krisis ekonomi ini. Mau tidak mau, kita harus menghadapi tak banyak pilihan.” Akhirnya direktur utama itu diam juga. Pikirannya masih terlalu muda untuk urusan krisis, meski kedap-kedip matanya mengisyaratkan semangat liar yang menyuruhnya untuk tidak menyerah begitu saja. Menguasai pucuk pimpinan perusahaan tidak pernah serumit ini dalam benaknya. Ia akhirnya menyadari telah terjebak di gambaran-gambaran indah dan tak menyadari potensi masalah yang begitu besar karena menyangkut keuangan nasional. “Rupert dan Sudira Husada sudah mendaftarkan kebangkrutan mereka,” Noel melanjutkan. “Persiapan likuidasi telah mereka jalani. Itu belum belasan perusahaan lain yang massanya sebesar kita. Mereka mengefisienkan produksi bahkan PHK dua pertiga jumlah karyawannya, tetap saja mereka tidak selamat. Kita masih untung karena pemegang saham masih menaruh kepercayaan sehingga kita punya cadangan dalam sistem akuntansi. Tapi mau tidak mau opsi kita satu-satunya adalah efisiensi personalia. Kalau tidak mau potong gaji, kita harus potong jumlah karyawan.” Naya memotong kata, “Kita masih bisa potong gaji. Ayolah Noel, aku butuh dukunganmu dalam hal ini.” Kekasihnya tertunduk, tersenyum sebelum akhirnya membalas. “Sayaselalu mendukung Anda, Bu Naya. Tapi saya juga ingin mendukung sepenuhnya perusahaan ini. Saya sudah bekerja di sini sembilan tahun dan tidak mau perusahaan ini lenyap begitu saja karena krisis. Kita harus bertahan, minimal sampai dua tahun ke depan. Kalau kita bisa lepas dari jebakan likuidasi dan menemukan celah pasar baru, saya yakin kita bisa melewati krisis ini. Tapi ya itu, harus ada pengorbanan.” Hadirin mengangguk setuju. Nampaknya mereka sendiri juga sudah lelah dan kehabisan ide. Naya menatap mereka satu per satu dengan pertanyaan yang tak ingin ia ungkapkan. Posisinya sulit, tapi semua keputusan memang berada di telapak tangannya. Ialah sang pemimpin. Serbuk-serbuk hitam masih berserakan di atas kertas putih. Noel menyaksikan itu kemudian berkata, “Untuk meruncingkan pensil, kita harus membuang bagiannya beberapa mili. Pensil akan semakin pendek memang, tapi kemudian jadi runcing dengan mata tulis yang baru.” Naya menatap kekasihnya itu tanpa suara. “Kita bisa melakukan ini, Naya. Semua ada di tanganmu.” Naya menatap sekali lagi hadirin rapat yang kini nampak lebih hangat. Wajah mereka kelelahan tapi masih menampakkan dukungan yang tak berhenti terhadap pemimpin muda itu. Yusep, direktur telekomunikasi itu, mengangguk tanda dukungan.” Tangan Naya kini menggenggam pulpen hitam dengan ujung tebal dan tegas. Pikirannya masih kalut tapi ia ingin menemukan celah cahaya di antara pintu-pintu yang ia sendiri belum tahu arahnya. Ia hanya ingin tetap berada di jalan yang tepat. “Semoga Tuhan mengampuni kita.” *** “Pak Yoso!” Sapaan itu mengejutkan laki-laki tua yang baru saja mengambil masker dan celemeknya dari dinding perlengkapan karyawan. Yang menyapanya, pemuda berperawakan sedang dengan senyum ramah meski tubuhnya dibalut pakaian manajer operasional divisi III. “Aa … Pak Firgi,” balas Yoso sambil membungkuk. “Pak Yoso, sudah berapa kali saya bilang tidak perlu panggil Pak. Panggil nama saya saja. Sehat, Pak?” Orang tua itu mengangguk kemudian tersenyum. Ia lalu melangkah sembari ditemani Firgi yang membawa papan jepit tempat puluhan lembar daftar cek operasional dijepit rapi. “Negara kita sedang krisis. Tapi kita tetap harus bekerja. Bukan begitu, Pak?” Firgi mencoba berbincang. Mereka sudah melewati beberapa meja pengemasan dengan ratusan karyawan yang bekerja dalam diam meski tangan-tangan mereka lincah mengatur jalannya barang di atas konveyor. Yoso hanya mengangguk dengan senyuman yang masih menghiasi wajahnya. “Kita harus makan tiap hari, memang harus bekerja.” “Pak Yoso betah kan?” tanya Firgi penasaran. “Saya sudah lima belas tahun di sini, apa harus lebih betah?” Kalimat yang mudah dimengerti. Yoso termasuk karyawan terlama di perusahaan itu. Hanya Firgi manajer operasional yang paling dekat dengannya. Meski pemuda itu baru empat tahun mengenakan seragam. Bersama manajernya itu, Yoso merasa ditemani sekaligus dibimbing. Merasa diawasi tanpa harus merasa dikekang. Itulah juga kenapa Yoso sudah menganggap Firgi seperti anak sendiri, meski masih sering lupa perihal panggilan ‘Pak’. “Kabarnya akan ada PHK ya?” tanya Yoso ketika sudah merapikan perlengkapannya di bilik operasinya. Firgi mengangguk mengiyakan. “Iya, Pak. Sudah diputuskan rapat minggu lalu. Pengumumannya sore ini. Tapi tenang saja, saya yakin Pak Yoso tetap di sini sampai bosan dan keluar sendiri,” anak muda itu cerdas menghibur, meski ia sendiri belum bisa memastikan nasibnya. “Selamat bekerja, Pak. Ingat apa tujuan Bapak pertama kali menginjak perusahaan ini.” Yoso mengangguk ringan sambil tangannya mulai mengenakan sarung karet. Mesin-mesin itu menjadi satu-satunya bunyi yang mendominasi di bawah atap produksi hari itu. Seperti biasanya, Yoso tersenyum meski hanya menghadapi sarung tangan dan karet konveyor. Saat manajernya berlalu, orang tua itu berbisik sendiri. “Tentu saja aku ingat itu. Putriku di sini, dia satu-satunya alasan.” *** Magrib. Yoso baru saja menuliskan namanya di daftar lembur. Hanya sejam yang ia bisa hari ini. Ia mengambil jaket dan topinya di kamar karyawan sebelum pulang. Di koridor ketujuh menuju ruang ganti itu ia mendengar tangisan beberapa orang dari balik dinding. Ia mencari-cari, hingga akhirnya ketemu dengan kumpulan karyawati yang saling menyemangati. Kertas-kertas tergeletak begitu saja di lantai ketika para karyawati itu terisak. Yoso bertanya apa yang terjadi, entah kepada siapa, tapi tak ada yang menjawab. Kemudian ketika bermaksud pergi, seorang pekerja lain yang beberapa tahun lebih muda, memanggil namanya. “Pak Yoso, ini surat untuk Bapak, tadi lupa saya sampaikan.” Yoso tergelak. “Surat apa?” Tapi rekan itu lantas berlalu setelah mengangguk dan meminta maaf. Yoso merasakan keanehan ketika menerima tepukan tangan di pundak kirinya. Saat ia melihat wajah sembab karyawati yang sebelumnya ia hampiri, ia akhirnya sadar baru saja menginjak ubin yang sama. Nasib yang sama. Yoso tak membuka surat itu. Ia sudah tahu apa isinya. Pikirannya selama ini terlalu bersemangat sampai tak sedetikpun memikirkan pahitnya pemutusan hubungan kerja. Anehnya, itupun tak bisa ditolaknya kini. Di pintu keluar, Firgi, manajernya, memandang tanpa berani berkata apapun. Yoso tersenyum berusaha menghibur anak muda itu. “Saya selalu punya bagian-bagian kehidupan untuk dipelajari, Nak. Tolong sampaikan salamku untuk semuanya.” Orang tua itu berjalan lambatmeninggalkan kompleks kerjanya. Tubuhnya nampak lebih bungkuk dari biasanya. Firgi berdiri mematung. Surat di tangannya kini adalah untuk Yoso. Bawahannya itu menyerahkan begitu saja seperti sampah yang telah ia ambil maknanya. Firgi sendiri tak percaya perusahaan itu memecat karyawan. Tapi yang lebih tidak dipercayainya, adalah kekuatan Yoso menyembunyikan dirinya di dalam belantara kerja yang kenikmatannya hanya ia sendiri yang tahu. Tiga tahun sebelum itu, saat pertemuan mereka yang pertama kali, Firgi terkejut ketika Yoso membuka rahasia kepadanya. “Saya harap Bapak bisa menyimpan rahasia ini,” kata Yoso di meja konsuling. “Karena jika sampai anak saya tahu ayahnya bekerja di sini, entah betapa malunya dia.” Firgi terdiam, hanya mengangguk.
===========================
Ditulis untuk Weekly Photo Challenge eps. VIII, Kampretos
Semua ilustrasi yang ditampilkan adalah dokumen pribadi.
===============
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H