Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misteri Sepotong Roti (4)

4 Juni 2012   16:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:24 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya adik korban angkat bicara.

Ratna bukanlah korban pertama yang ditemukan dalam kasus bunuh diri.

(Sebelumnya ....)

Bangunan dua lantai dengan empat jendela rabun hitam itu cukup mudah dikenali sebagai kantor CAKRA. Tenda berbentuk kubah rendah berukuran sedang yang menutupi lapangan parkirnya seluar kira-kira sepuluh meter persegi cukup menegaskan bahwa tempat ini adalah kantor sebuah organisasi aktif yang mempekerjakan setidaknya lima puluh orang. Dua orang berjaga nampak sebagai petugas keamanan sementara seorang lagi, perempuan muda dengan dandanan rapi dan rambut sebahu yang melengkapi senyumannya yang memikat, berjaga di meja setinggi dada sebagai front officer. Perempuan muda itu menyapa kedua tamunya sambil berdiri kemudian menyilakan duduk. Eno menyampaikan maksud kedatangan mereka, yang uniknya, tiba-tiba membuyarkan senyuman manis di wajah perempuan itu.

“Anda berdua tidak bisa mewawancarai saya pas jam kerja begini, Maaf.”

Adam mengangguk dan mengatakan bahwa mereka datang untuk menemui direktur pelaksana mereka. Setelah nampak menimbang-nimbang dengan pandangan curiga selama satu menit, barulah petugas itu duduk dan dan merapatkan telepon ke telinganya. Sambungan interkom itu membuatnya mengangguk dua kali sebelum akhirnya berbicara kembali kepada tamunya.

“Anda bisa menanyakan terkait semua karyawan di sini kepada direktur personalia. Namanyak Pak Idham. Beliau sudah menunggu di lantai dua. Kantor paling depan sebelah kanan.”

Petugas kembali mengangkat senyuman yang tak semanis sebelumnya ketika mengarahkan telapak tangannya ke sebuah tangga di sisi lain ruangan. Adam berterima kasih dan Eno berlalu di belakangnya sambil merapikan kerah bajunya. Pandangan mata petugas FO itu terus ikut sampai kedua tamu menghilang di sudut tangga ke lantai atas.

Idham Samawi, direktur personalia itu, sedang menandatangani beberapa dokumen ketika pintu biliknya yang terbuat dari kaca hitam terketuk dua kali. Sikapnya setegak badannya menunjukkan posisinya yang disegani. Ia bangkit kemudian menjabat tangan kedua tamunya. Dua telepon pintar diletakkan bertumpukan di atas meja. Mereka berkenalan singkat sampai akhirnya kedua tamu dipersilakan duduk. Idham bangkit mematikan televisi di sudut bilik itu kemudian menuangkan jus jambu kemasan ke dalam dua gelas ukuran kecil yang baru diaturnya di atas meja.

“Saya banyak mendengar tentang Anda, Pak Adam. Pekerjaan yang unik di zaman seperti ini.”

Adam mengangguk dan berterima kasih. Perkataan seperti itu memang pantas dianggap sebagai pujian meski maknanya bisa jadi multitafsir tergantung sudut pandang apa yang dipakai.

“Entah apa bisa disebut detektif atau sejenisnya, saya kurang paham kalau masalah itu,” lanjut Idham ketika menyandarkan punggungnya lagi ke kursinya yang empuk. “Tapi entah saya mengena Anda atau tidak, Pak Polisi.”

Eno bereaksi ringan saja atas pertanyaan itu. Senyum seperti biasa. Meski ia belum banyak dikenal kalangan menengah karena posisinya, ia memilih menyimpan beberapa responnya sampai waktu yang tepat.

“Apa maksud Anda berdua kemari? Waktu saya tidak banyak. Dua klien besar akan datang kemari dalam setengah jam.”

Adam menegakkan badan seraya menaruh kedua tangannya di atas meja.

“Kalau Anda tidak keberatan, kami ingin menanyakan beberapa hal terkait mantan karyawan Anda, Pak Idham.”

“Maksud Anda Ratna Siregar ... gadis malang itu. Untung tidak jadi kunikahi dia.”

“Apa?” Adam tergelak.

Idham yang menyadari keterkejutan tamunya malah tertawa. Suaranya memantul di dinding ruangan itu meski harus melewati bilik kaca dan menabrak langit-langit. “Anda terlalu serius, Pak Adam. Silakan diminum dulu.” Idham masih menikmati intermesonya ketika kedua tamunya jusru memasang wajah terheran-heran. Eno sendiri merasa lebih senang menginterogasi seorang pembunuh daripada bos yang angkuh dan bertele-tele.

“Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan gadis itu. Prestasinya juga biasa-biasa saja. Dia tidak termasuk karyawan yang menonjol.”

Adam kemudian mengangguk. Ia mulai bisa mendapatkan ritme wawancara itu. Pertanyaan lanjutan ia kemukakan begitu Idham nampak kembali tenang dan meneguk minuman dinginnya. Tak lama kemudian asap rokok sudah membumbung ke udara.

“Bagaimana dengan disiplinnya? Dia pernah bolos kerja, atau cuti, misalnya?”

“Tidak. Setiap karyawan memakai sistem presensi mekanik pakai kartu hadir. Tanggal dan jam datang dan pulang tertera di situ.”

“Ada berapa divisi kerja karyawan?”

“Tiga. Marketing, Organizer, Administrasi. Ratna terakhir di Marketing, sebelumnya administrasi.”

“Jadi dia belum pernah ikut secara langsung dalam kegiatan bersponsor?” Eno menyergap dengan pertanyaan.

Idham menatap polisi itu dengan remeh. “Anda lumayan punya daya tangkap, polisi muda biasanya memang begitu. Oportunis.”

“Maaf?” tanya Eno memrotes. Adam lalu cepat-cepat mengendalikan situasi dengan mengajukan pertanyaan berikutnya.

“Anda menjalankan fungsi konseling untuk karyawan? Anda tahu ...”

“Tentu saja.”

“Apakah pernah ...”

Idham langsung menggeleng. “Tidak. Tidak pernah. Ratna tidak pernah bercerita tentang masalah keluarganya, persoalan cintanya, keuangan, atau apapun yang ingin Anda ketahui. Saya kira Anda tidak akan bisa mendapatkan banyak informasi dari perusahaan ini. Silakan memeriksa di tempat lainnya. Saya pribadi jamin bahwa tidak ada kaitan antara perusahaan ini dengan pembunuhan atau apapun.”

Adam menatap tajam tanpa kata. Idham meniupkan bola asap ke udara yang kemudian pecah menyesakkan ruangan. “Jika Anda tidak keberatan, saya mau makan siang. Silakan ambil kartu nama ini dan Anda bisa menghubungi saya kapanpun setelah ini. Tapi sekarang saya benar-benar sibuk. Maaf.”

Merasa tidak mendapatkan apa-apa, Adam kemudian pamit dan segera menuruni tangga. Idham melihat kedua tamunya menjauh kemudian menjejalkan ujung rokoknya ke lubang asbak sambil mengangkat telepon. Bibirnya bergerak seperti sedang memaki.

Adam dan Eno melalui meja front office dan hanya mengangguk kepada perempuan muda yang menjaga di situ. Sesaat kemudian mereka sudah berada beberapa meter di luar pintu perusahaan itu.

“Tak banyak yang bisa digali di sini, Eno.”

Rekan polisinya mengangguk dengan berusaha meninggalkan semua rasa jengkelnya di lantai bilik kaca tadi. Saat mereka berjalan di bahu jalan menuju mobil, barulah Adam berucap lagi.

“Idham orang yang perlu diawasi.”

“Apa maksudmu?” tanya Eno penasaran.

“Sepatunya.”

“Sepatu?”

“Aku memerhatikan beberapa hal saat kau nyaris meluapkan emosimu tadi, kawan. Aku lihat ujung tali sepatu terselip di sisi bawah pintu lemari yang tertutup dari lemari pendek di belakangnya, persis di bawah jendela. Idham orang yang rapi, meski itu membuatnya menjadi sedikit angkuh dan berhati-hati terhadap orang. Kedua telepon mahalnya ditaruh bertumpuk di atas meja, satu garis lurus dengan asbak yang tidak menumpahkan satu abu pun. Tapi ujung tali sepatu itu menandakan ia bisa juga ceroboh. Meskipun tidak kelihatan, aku yakin ada sepasang sepatu di dalam lemari itu. Yang dimasukkan secara buru-buru.”

Eno menimak sejenak sambil menekan tombol pembuka kunci otomatis mobilnya. Nada terdengar dan mereka segera berada di dalam kabin depan. “Selain sepatu, apa lagi?” tanya Eno saat pintu tertutup.

Adam diam sejenak, seperti mengingat-ingat. “Ia menelepon seseorang begitu kita turun tangga.”

“Apa?”

“Ya. Seperti buru-buru dan sangat cerdik. Seperti yang kubilang, Eno. Orang yang terlalu mudah menunjukkan kekuasaannya biasanya juga mudah kelihatan kelemahannya. Uniknya, kebanyakan orang sepertinya tidak menyadari itu. Semua bilik di ruangan lantai dua berdinding kaca, dan aku sempat melihat pantulan bayangan orang itu di sebuah cermin kecil yang menggantung di dinding tangga.”

Eno kagum dengan jawaban itu meski ia menyadari mereka masih harus fokus pada beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan.

“Bagaimana? Sudah ada izin dari Pak Hilmi?”

“Ya,” jawab Eno mengangguk. “Beliau baru saja SMS. Katanya kita boleh melihat jenazah jam empat nanti, saat rumah sakit mulai sepi. Korban baru akan diantarkan ke kediamannya nanti malam atau besok pagi.

“Sempurna. Sekarang masih jam dua. Berarti untuk sementara kita ada waktu luang.”

“Untuk?”

“Untuk hal lain yang tak kalah pentingnya. Kita kembali ke Karang Rejo. Di sana kita bisa dapatkan lebih banyak hal yang bermanfaat.”

(Selanjutnya ...)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun