Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Ngekos" dan Gaya Hidup Sehat: Cerita dari Jogja

2 April 2012   03:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:08 2026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_172134" align="alignnone" width="630" caption="Salah satu sudut Perkampungan Kali Code, 22 Maret 2012 petang. (Foto: LikaLiku Photography)"][/caption]

Mau tidak mau, ketika hidup a la "anak kos", seseorang menghadapi dunia yang penuh warna. Tentu saja nampak berbagai lapisan masyarakat di luar pintu atau halaman rumah "ngekos". Dari kalangan menengah-atas yang gaya hidupnya terlihat serba rapi, sampai masyarakat kalangan bawah yang punya cara sendiri untuk mengatur gaya hidup. Bagaimana dengan gaya hidup sehat? Apakah yang "ngekos" juga bisa mengambil pelajaran dari berbagai kalangan yang tinggal di sekitar?

Yang dibutuhkan untuk memahami benang merah dari ini adalah memosisikan diri sebagai bagian dari kehidupan sosial bermasyarakat. Saya, sebagai seorang pelajar yang tinggal "ngekos" selama setidaknya empat tahun, semakin menyadari betapa kearifan lokal banyak membentuk gaya hidup sehat masyarakat. Tentunya strata sosial tak melulu menghilangkan kearifan lokal ini. Dari perjalanan dari rumah kos sampai kampus, misalnya, saya bisa menjumpai barisan rumah-rumah mewah yang bersandingan satu RT dengan rumah-rumah sederhana yang sama asrinya. Bedanya, ya semata-mata luas dan bentuk bangunan. Kebersihan halaman, sistem pembuangan, dan sirkulasi udaranya sepintas nampak sama baiknya. Lalu apa yang saya cari?

Di Yogyakarta, masyarakat masih  hidup dengan kentalnya kearifan lokal. Kota dengan ragam penduduk yang jumlahnya turun sebanyak 17.525 jiwa ke angka 3.457.451 jiwa (BPS DIY: Sensus 2010) ini masih menyimpan tradisi impulsif yang ada sejak era beberapa Sultan sebelumnya. Tradisi "jimpitan", misalnya, saat ini masih bisa dengan mudahnya ditemukan di hampir semua kompleks kos-kosan yang berada di dalam struktur kewilayahan berbentuk kelurahan. Bagi yang belum tahu, "jimpitan" adalah istilah sebuah bentuk manajemen sederhana pengelolaan keamanan lingkungan dengan bentuk sumbangan Rp 200 hingga Rp 500,- per malam per rumah. Uang recehan ini dipasang di dalam kaleng kecil yang diletakkan di luar pagar rumah, sebagai bentuk sumbangan bagi petugas ronda keliling yang beroperasi menjelang tengah malam setiap harinya. Dengan "jimpitan", warga diajak untuk peduli, meski tidak bisa terlibat langsung dalam musyawarah dusun atau aktivitas ronda. Ini adalah bentuk tradisi, yang sudah menjadi gaya hidup.

Kesehatan dan Tradisi

Berkaitan dengan tradisi, dari segi kesehatan pun masyarakat Yogya menunjukkan sikap sebagai tuan rumah yang baik bagi ratusan ribu penduduk pendatang dari berbagai provinsi di Indonesia. Meski tak melulu disebut sebagai asimilasi gaya hidup sehat antara penduduk asli dan pendatang, di kawasan-kawasan tertentu, perkampungan begitu peduli dengan gaya hidup sehat.

Masyarakat Jogja, sebagaimana kebanyakan orang yang lahir dengan kebudayaan Jawa, menjunjung tinggi kebersihan lingkungan. Setidaknya hal ini bisa saya gambarkan dengan kebiasaan masyarakat (utamanya yang tinggal di kawasan perumahan atau pedukuhan) menyapu halam rumah setiap pagi dan sore hari. Memang lebih rutin membersihkan halaman ini pada sore hari menjelang petang.

Melalui kegiatan bersih-bersih itulah, masyarakat melakukan apa yang saya istilahkan sebagai "interaksi insidental". Di depan rumah kos saya adalah sebuah rumah bentunknya masih sangat "Jawa", dengan bentuk atap menyerupai Joglo berbahan genteng tua. Mbah Wiji, begitu saya memanggilnya, adalah pemilik rumah itu. Dari pengamatan saya, Mbah Wiji inilah yang paling rutin menyapu jalan setapak yang membatasi beberapa rumah di sekitar situ setiap pagi dan sore hari. Hingga pada akhirnya, dua tetangga baru yang menempati rumah kontrakan berdinding bambu dan seng di sebelah utara tempat tinggal saya pun mengikuti kebiasaan itu. Di sisi lain jalan, sebuah rumah berdinding tembok juga melakukan hal yang sama, meski hanya tiga hari sekali. Rumah kos itu ditinggali tujuh mahasiswa asal Kalimantan Timur. Begitu pula dengan rumah yang hanya berbatas dinding dengan tempat tinggal Mbah Wiji. Rumah itu kelihatan selalu bersih, meski ternyata baru empat bulan terakhir ditinggali oleh beberapa mahasiswa Keperawatan asal Flores. Ini yang saya maksud dengan "asimilasi alami". Proses ketika gaya hidup sehat yang dibawa tradisi lokal dinikmati oleh semua warga yang memiliki latar suku berbeda.

Gambaran di atas juga mengingatkan saya kepada tayangan salah satu program televisi swasta yang beberapa hari lalu mengangkat cerita tradisi masyarakat Suku Badui Dalam di kawasan pegunungan Cikeusik, Jawa Barat. Suku Badui Dalam melalui tayangan tersebut digambarkan memiliki tradisi unik yang terkait dengan pola hidup sehat, yaitu kebiasaan kolektif memungut sampah-sampah di sekitar pemukiman dan kampung adat setiap sore hari. Anak-anak berbaur dengan orang tua membawa karung-karung yang diisi sampah-sampah berupa sisa makan, bekas pekerjaan kerajinan kayu, bahkan sampah-sampah yang dibawa para wisatawan. Saya kira mereka tidak memahami teori kesehatan sebagaimana kita mendefinisikannya. Akan tetapi melalui ketegasan tradisi, mereka mengajarkan kebiasaan sehat itu dengan menunjukkannya langsung.

Bedanya Kali Code

Pernah ke kawasan Kali Code? Kawasan ini adalah salah satu bagian kota Yogyakarta yang penataan kampungnya sedikit berbeda. Tentu saja, karena ratusan rumah penduduk di sana berada di bantaran Kali Code, sungai yang langsung menerima setiap aliran lahar dingin Gunung Merapi. Data peta yang diluncurkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2008 lalu menunjukkan, ada 151.542 jiwa yang tinggal di kawasan Kali Code kota Yogyakarta, tersebar di 5 kecamatan dan 14 kelurahan. Bisa ditebak, penduduk di sana terdiri dari dewasa, manula, hingga anak-anak. Rata-rata warga telah tinggal di bantaran sungai itu selama setidaknya dua tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun