Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Mirror] Pernah Dengar Sumiati?

13 Desember 2011   02:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:24 7931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelurahan Minasaupa, Makassar, September 1999. Anis kelelahan. Pikirannya tidak karuan. Dunia baginya bagaikan rimba jaring laba-laba yang kusut di setiap peraduannya. Cahaya tidak begitu terang namun silau di matanya. Ia kalah di meja judi. Langkah Anis terasa terhuyung-huyung berbelok ke dalam gang tepat di bawah pohon beringin besar dengan akar-akar menggantung. Pukul 2.50. Langit tak begitu cerah di awal bulan, seperti mendung namun udara begitu panas. Berkali-kali ia mengibas-ngibaskan kerah kausnya saat berbelok ke gang tempat tinggalnya. Gang Kancil sebetulnya adalah sebuah jalan kecil. Aspalnya tak begitu bagus hingga langkah Anis tersandung beberapa kali. Hanya suara napas dan bunyi batu-batu itu yang ia dengar, sesekali diselingi lolongan anjing liar dari kejauhan. Aktivitas malam membuatnya sering pulang larut. Tapi kali ini, ada yang membuat semuanya berbeda. Ujung gang nampak samar. Sebuah rumah berlantai dua di sudut terjauh gang bahkan hanya terlihat samar di tengah remang jalan yang hanya disinari lampu-lampu kecil. Tiba-tiba hidung Anis menyergap aroma yang tak biasa. Bau itu seperti aroma daun rimba yang perawan bercampur rempah yang datang dari tempat jauh. Ia bersungut berulang-ulang, aroma itu makin tajam. Ia lebih siaga. Jendela-jendela rumah khas Bugis berbaris dengan rumah tembok modern seperti mengacuhkannya. Udara dingin tiba-tiba menyergap belakang tubuhnya, membuatnya berdiri tegap. Ia terus berjalan ke dalam gang itu. Asramanya hanya beberapa meter di depan. Anis sudah di pertengahan gang. Lalu pandangannya menangkap sosok itu. Sama sekali tak terlintas seseorang akan melintas dengan penampilan seperti itu di pagi buta. Rambutnya terurai ke samping, lengannya jatuh. Langkahnya ringan. Wajahnya lurus ke depan dengan pandangan kosong. Badannya yang langsing berpadu setelan panjang kain mengkilap yang menutup hingga punggung tangannya. Bawahannya berbalut kain hitam yang tak biasa. Saat mencoba meraba pandangan ke arah wajah perempuan itu, badannya terasa berat seketika. Aroma rempah itu semakin tajam saat pipi Anis melewati pipi perempuan itu. Guntur tiba-tiba menggelegar. Perempuan itu terus melangkah, sedangkan Anis sudah berada di balik pintu asramanya setelah berlari kencang ke dalam. Berusaha mengobati rasa penasaran, ia kembali membuka pintu lalu berjalan keluar. Tapi tak ada siapapun di sana. Hanya pohon mangga bergoyang dan sampah kertas terbang di jalan. Hujan turun deras. Tiga hari kemudian... Tetangganya yang akrab, adalah seorang perempuan tua. Pagi-pagi Anis sudah dijamu di ruang tamu saat ia menanyakan hal itu. Namun justru pertanyaan nenek itu mengejutkannya. "Pernah dengar Sumiati?" Bergetar tubuh Anis. Nyatanya, nama itu tak begitu akrab. Hanya sedikit tahu rumor yang berkembang di masyarakat selama dua tahun terakhir. Nama Setan Sumiati menjadi pembicaraan warga Makassar sejak penampakannya di beberapa tempat. Konon, Sumiati adalah perempuan muda yang diperkosa. Hingga pada akhirnya, ia bunuh diri dengan menggantung leher di tempat ia sering bermain, Benteng Rotterdam. "Malam itu ia pakai baju apa?" nenek itu bertanya lagi. "Putih." "Kau tidak apa-apa." "Maksudnya, nek?" "Kalau memakai baju putih, artinya Sumiati hanya lewat. Tapi kalau merah, berarti ia mencari nyawa." Bulu kuduk Anis kembali berdiri. Wajah sayu Sumiati yang sempat dilihatnya kembali ke pikirannya seketika. Sore itu ia masih sering kembali ke rumah tetangganya itu untuk berbagi. Tujuh rekannya masih berada di kampung halaman. ***

Setan Sumiati populer di kalangan masyarakat kota Makassar dan sekitarnya sekitar tahun 1997 hingga 1999. Sebagian kalangan menyangsikannya. Bahkan, beberapa menyebutkan Sumiati sejatinya tak pernah ada.

[caption id="attachment_149204" align="aligncenter" width="320" caption="Ilustrasi (sangbaco.com)"][/caption] ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- No. 49: Afandi Sido

NB : Untuk membaca hasil karya event Cerita Mini Horor yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Cerita Mini Horor.

__________________________________________________ Bergabunglah di group FB : Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun