Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Surat Tak Terkirim (39)

30 November 2011   11:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:00 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

(SEBELUMNYA....)

“Pak, Anda harus melihat ini.”

Petugas NTMC Polri di pusat pengamatan lalu lintas Jakarta memanggil atasannya, menunjukkan perubahan yang nampak pada sebuah monitor. Atasan berjaket kulit hitam itu adalah Kadiv Humas Mabes yang baru dua bulan menjabat.

“Ini adalah pantauan sekarang di sebuah jalan kecil di daerah Sanur, Denpasar selatan. Perhatikan aspal ini, Pak.” Petugas itu menekan beberapa tombol yang membuat tampilan lebih dekat dan gambar diperbesar.

“Permukaan aspal ini berbentuk pola lengkung bekas ban, yang sepertinya baru saja terbentuk, sekitar satu jam yang lalu. Dan perhatikan bagian yang ini, Pak.” Ia menunjuk dengan jari bagian pinggir dari jejak karet itu.

“Yang ini berarti kendaraan keluar kembali, perkiraannya kendaraan tipe ukuran A, keluar dari daerah itu sekitar pukul 04.15 sampai 04.30 WIB.”

“Itu sekitar satu jam yang lalu.”

“Betul, Pak.”

Kadiv Humas kembali menegakkan badannya lalu berpikir.

“Sudah identifikasi itu kompleks apa?”

“Kompleks...” Petugas berpangkat bripda itu lalu kembali mengutak-atik hasil pantauan kamera melalui komputernya. Kali ini yang ia tampilkan adalah citra tiga dimensi seperti tampilan foto lanskap satelit. “Kompleks kosong, Pak. Sepertinya bekas pabrik yang tidak jadi terpakai.”

“Bagus. Itu adalah petunjuk kita. Minta Kapolda untuk melakukan pengecekan.”

“Tapi, Pak.”

Kadiv Humas lalu memperhatikan.

“Rekaman CCTV yang ini...” kata anak buahnya.

“Ini satuan apa?” kata Kadiv Humas ketika memperhatikan monitor yang memperlihatkan rekaman kamera lalu lintas. Beberapa sedan bersirene sedang berhenti di sekitar tempat yang ditunjukkan sebelumnya.

“Dari kode kendaraannya, bisa dipastikan itu satuan patroli jalan raya kota Denpasar, Pak. Kemungkinan Pak Kapolda Bali juga ada di rombongan. Lihat ini. Mereka sempat keluar dari mobil di persimpangan Empu Tantular, lalu bubar. Mereka hanya berjarak 200 meter dari kompleks yang tadi.”

“Begitu ya.”

Kadiv Humas melihat jam, melirik ke sekeliling ruangan itu, lalu menepuk pundak petugas di depan komputer itu. “Terus pantau, Nak. Kerja bagus.”

Ia lalu berjalan keluar ruangan sambil menekan tombol-tombol telepon genggamnya.

“Pak Kepala, Anda harus kemari segera. Saya butuh petunjuk.”

***

Matahari telah terbit. Matius sudah berdiri merapat di sisi kanan mobil yang baru dikendarainya. Bangunan Museum Bali nampak megah meski diselingi keriuhan jalan kota yang tersamar polusi kendaraan yang merambat di semua sisi. Ia memainkan telepon pintarnya sambil sesekali membanting lengannya ke kanan dan ke kiri. Permainan balap WRC termodifikasi khusus untuk layar sentuh itu betul-betul menghiburnya di tengah sepinya kompleks lebih dari satu hektar itu.

Museum Bali berdiri kokoh sebagai bentuk perlawanan liberalisme terhadap kungkungan tradisi pribumi yang kurang mengapresiasi sejarah dan benda-benda seninya. Hingga pada akhirnya, seorang Kurt Gundler yang dianggap eksklusif melepaskan kebebasannya sendiri dan pada tahun 1910 mengajak raja Buleleng I Gusti Ketut Djelantik membangun museum untuk menyimpan semua saksi bisu sejarah bangsa yang baru didatanginya. Kompleksnya secara umum terdiri atas tiga bangunan inti di bagian tengah: Tabanan, Karangasem, dan Buleleng yang berderet dari utara ke selatan. Di pagar jalan masuk terdapat dua pelataran Bale Kulkul dan Bale Bengong yang langsung berhadapan dengan Jalan Kapten Agung. Pohon-pohon tamarindus indica dan ficus benjamina yang lebih akrab disebu pohon beringin berdiri gagah memayungi. Pohon-pohon itu tertancap sedemikian rupa di sudut depan sehingga cukup untuk meneduhkan udara di sekeliling bangunannya.

Matius menyudahi permainannya saat ia mendengar antukan dari dalam kotak bagian belakang mobil yang disandarinya. Ia menerawang perkiraan sejenak, lalu kembali melihat sekeliling. Sang sandera telah tertidur. Tak lama berselang, telepon genggamnya berdering.

“Oh Pak Kapolda? Iya. Saya sudah di lokasi. Baik. Saya tunggu.”

Segera ia merapikan baju dan rambutnya, melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 05.45, lalu membuka pintu mobil dan mengetuk kepala pengawalnya. Tejo terkejut dan menangkis pukulan yang selanjutnya hampir mendarat lagi di kulit kepalanya. Ia kemudian turun dari mobil lalu berlari ke bagian belakang. Ia mengetuk dua kali hingga membuka bilah pintu karena tidak ada jawaban. Jalil Soemantri tertidur dalam posisi teringkuk. Punggungnya melengkung bagaikan embrio yang menunggu dunia lebih terang. Kedua kaki dan tangannya masih terikat. Matius melangkah ke dalam mobil lalu membuka ikatan-ikatan itu. Bekas tekanan nampak memerah sejenak lalu membiru di pergelangan tungkai orang tua itu. Ia membangunkannya.

“Pak Jalil. Pak Jalil. Bangun!”

Jalil membuka matanya dengan senyap, ia kelelahan. Sejenak yang dilihatnya hanya bayangan hitam lalu cahaya yang sangat terang membuatnya kembali mengatupkan kelopak matanya. Matius menyeretnya keluar sambil membisikkan sesuatu yang membuatnya langsung membuka mata lebar-lebar.

“Ingat perjanjian kita. Nyawa anak Anda, dan juga nama baik Anda, ada di tangan Anda sendiri. Bersikaplah seperti seorang berwibawa. Anda akan pulang.”

“Cintya! Di mana kau tahan anakku?”

...

(SELANJUTNYA...)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun