"Amir...! Mandi!" sahut Ibu memanggilku berkali-kali sejak pukul empat tadi. Supaya aku mandi, katanya, mumpung air di bak masih banyak.
Bak mandi kami di belakang itu sedikit bocor, dan airnya hanya dari curah hujan kemarin. Minggu lalu, tak sampai tiga hari cuaca panas terus, bak mandi kami kering, atos, tak ada air. Ujungnya, Ibu dan aku bergantian memikul dua jerigen air dari Masjid Baiturrahman, tak jauh dar sini.
Aku bukannya tak mau mendengarkan perintah Ibu menyuruhku mandi. Terkadang juga Ibu mengerti dan mengira aku sedang menyelesaikan PR dari sekolah, padahal apa yang kulakukan, tak banyak diketahui Ibu.
Sudah delapan paragraf.
Ah, tinggal dua atau tiga paragraf lagi, baru aku mandi.
Laptop 14 inci ini lah satu-satunya mainanku sekarang. Boleh saja aku masih kelas IX, tapi pikiranku sering melayang hingga menyapu fiksi Negeri Jiran. Aku senang sekali menulis fiksi. Cerpen adalah favoritku, puisi beberapa puluh lah ada. Laptop hitam ini juga hasil lomba cipta puisi tingkat Provinsi tahun lalu, hingga kini masih kurawat, tak pernah kukeluarkan dari kamar.
Sejak kupunya laptop, kesibukanku lain dari anak kebanyakan. Teman-temanku pun mengaggapku tidak asik. Entah bagaimana caraku bergabung lagi dengan mereka, menjelaskan pikiranku atau maksud puisi-puisiku. Mereka banyak bermain, aku banyak mengetik cerpen. Mereka membeli baju baru dan HP, aku membeli paket internet dinamis yang kuisi setiap dua minggu.
Aku masih kelas IX. Jelas saja semua peruntukan biayaku ditanggung Ibu.
Bahkan saat hampir sakit, beliau masih bangun tiap subuh dan membungkus beberapa makanan buat dijual. Di dapur, ternyata nasi dan sedikit lauk buatku sudah tertutup rapat dan hangat. Sejak Bapak meninggal, Ibu lah yang bekerja. Pernah ada pembantu kecil-kecilan dipekerjakan ibu. Waktu itu aku masih SD, tapi apa dibuat? Pembantu itu menyeleweng, kabur dengan tiga ratus ribu rupiah hasil dagangan Ibu dua hari.
Ibu kini sendirian bekerja.
Aku sibuk di kamar, Ibu tak bisa jauh dari kedai di halaman rumah.
Begitulah setiap dua minggu, aku meminta dua puluh rbu rupiah ke Ibu. Kadang juga Ibu menghela napas, mungkin sedikit heran mengapa anaknya rutin meminta uang. Pernah sekali kuceritakan tentang puisi-puisi dan tulisanku dimana pulsa kuperuntukkan, tapi Ibu tak paham. "Apalah itu urusanmu Nak, yang penting kamu tidak mencuri dan tidak membuang-buang rezeki," katanya sambil menepuk pundakku.
Ibu, sesungguhnya aku menjadi berbeda dengan teman-temanku, meluruskan hobi berpuisi dan bercerpen seperti ini yang tak banyak kau mengerti, bukanlah untukku. Ini semua untuk Ibu.
Mungkin Ibu belum begitu tahu rasanya, saat aku mengangkat piala lomba menulis, sejak tingkat kelurahan hingga tingkat provinsi yang memberiku laptop ini. Ibu pernah bilang baru akulah orang di rumah ini membawa barang canggih masuk ke ambang pintu. Untuk itulah aku begini, bu.
Aku tahu banyak sekali pengeluaran ini-itu karena kesibukanku. Untuk pulsa, untuk listrik, untuk obat batuk buatmu karena serak memanggilku untuk mandi, anakmu ini sudah paham bu. Usia remaja sudah kuinjak, sebentar lagi dewasa.
Bagaimanapun, aku harus siap menjadi penopang rumah kita, beberapa tahun lagi sebelum Ibu bisa tenang menikmati jerih payahku sekarang.
Memang kelihatannya belum ada apa-apa bu. Hanya anakmu yang sibuk di depan laptop, tak ada apa-apa. Tapi keyakinanku, Bu. Aku selalu bermimpi menjadi orang besar karena tulisan-tulisanku. Dan atas itu, aku berniat setiap salat subuh untuk menjadikan ini sumber rejeki besar buat Ibu.
Ibu, bersabarlah.
Ini tinggal sedikit lagi. Saat beberapa orang besar digerakkan oleh Tuhan untuk menaruh nilai dalam karya-karyaku ini lalu mengirimkan beberapa uang kertas yang rupa dan bentuknya jarang kita sentuh, nasib kita akan berubah.
Kelak, mungkin tahun depan, Ibu tak lagi menjual makanan bungkus di halaman, tapi sudah makan enak di sebuah restoran. Mungkin tahun depan rumah kita akan direnovasi sehingga tak perlu lagi kita membeli dua jerigen air tatkala kemarau. Mungkin tahun depan, anakmu ini bisa menjadi orang besar yang dewasa, lalu kembali memelukmu sambil berkata, "Ibu, ini sesungguhnya buat Ibu. Bukan untukku, Ibu."
Yogyakarta, Juli 2011
*terinspirasi oleh seorang kawan di masa lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H