Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pesan-pesan dari Perbatasan (4)

14 April 2011   11:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:48 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CERITA SEBELUMNYA

Minggu menjelang petang, 1 Mei 2011.

Tiga ekor babi itu bagaikan koloni kecil yang membandel, membuat pengembalanya kelelahan., Si pengembala ini seorang bocah dengan kulit gelap, keringatnya mengkilap, rambutnya yang berwarna kemerahan nampak serasi dengan barisan gigi-gigi kecilnya yang nampak bersinar, Kalau disusun, merah rambutnya di atas gigi-gigi putihnya mirip bendera. Ya, bendera Merah Putih. Kaos bergambar partainya yang kebesaran menyusahkannya saat tangannya harus memegang kayu panjang untuk menghalau babi-babi menjauh dari jalanan. Setelah berapa lama ia berusaha menghalau, akhirnya babi-babi itu dibiarkannya berjalan ke tengah jalan menuruni bukit. Si bocah terduduk di tengah jalan, napasnya cepat, senyumnya tertahan, dahinya mengkerut. Ia kelelahan.

Matanya mengejap-ngejap, menembus fatamorgana sinar matahari, di kejauhan ia melihat babi-babinya seperti ketakutan, berlari cepat ke luar jalan, masuk ke semak-semak. Si bocah bangkit, lalu berdiri dan mulai berjalan ke arah jalan di depannya. Apa gerangan yang menghalau babi-babiku?

Bruuumm.... terdengar oleh si bocah suara mesin yang susah payah dipaksa menanjak jalan tanah berbatu-batu. Setelah si bocah mencapai titik tertinggi, matanya membelalak, seratusan meter di depannya ia melihat barisan kendaraan-kendaraan pengangkut dengan rombongan yang ramai sekali. Di beberapa mobil itu ada bendera warna-warni. Semakin mendekat. Si bocah kemudian melongo, mulutnya terbuka lebar. Ia mengacungkan telunjuknya, “Satu.... dua.... tiga... empat....” Si bocah berhitung. Lalu tiba-tiba ia berbalik dan lari ke arah kampung. Si bocah berlari kencang, tak dipedulikannya lagi babi-babi, ia ingin menemui seseorang, segera.

Tepat di jembatan dekat puskesmas desa, Bu Martini terheran-heran melihat seorang bocah, yang dikenal sebagai anak muridnya yang sering tidak masuk sekolah lantaran menggembala ternak, berlari ke arahnya dengan wajah gembira. Ia semakin terheran ketika si bocah hanya melewatinya, tak ada sapaan, tak ada apapun. Bu Martini hanya bisa mengangkat bahu, lalu berjalan lagi.

“Kak Satriaaa....” “Pak, keluopa bih Satria” kata anak itu tergopoh-gopoh kepada seseorang yang baru saja keluar dari puskesmas. “Pak, lihat Kak Satria?” Lalu oleh orang itu si bocah ditunjukkan ke arah puskesmas. Si bocah pun langsung berlari, menanjak ke halaman puskesmas.

“Kak Satria...!” teriak si bocah mengejutkan semua orang di ruangan itu. Hari Minggu memang kesempatan warga untuk rama-ramai ke Puskesmas karena Pak Mantri libur dari pekerjaannya di Kuong dan bisa menjaga puskesmas sehari penuh.

“Hei, Emon!” Satria yang terbaring di atas meja di ruang belakang, dekat meja Pak Mantri, tiba-tiba membalas. “Ada apa?” katanya sambil menenangkan si bocah. “Fuuuh.... Atur napasnya dulu.” Satria berusaha menenangkan.

“Sudah. Ada apa?”

“Kak Satria.” Anak itu semakin membuat penasaran. “Ayo ikut saya cepat.” Ada orang banyak datang.”

“Orang banyak?”

“Iya, Kak Satria. Ayo cepat.” Si bocah menarik lengan Satria, yang akhirnya dengan tergopoh-gopoh mengikuti anak itu ke arah gerbang desa.

“Iya sabar. Pelan-pelan. Masih sakit ini, Mon.” Satria berjalan sambil pincang.

Apa yang dilihat Satria benar-benar membuatnya terbengong, tak bisa berkata-kata. Ia terpaku di tengah jalan itu, Si bocah berlari menjauhinya, mendekati rombongan kendaraan pengangkut yang sejak tadi membunyikan klakson berkali-kali, menarik perhatian warga yang hampir semua sudah berdiri di pinggir jalan.

“Ya Allah.... Terima kasih.” Satria berbisik, matanya basah, kakinya dirapatkan ke tanah, telapak kakinya benar-benar merasakan hangat dan damainya tanah desa, untuk pertama kalinya.

Dari kejauhan orang-orang di atas mobil angkutan yang sebagian berupa truk tentara itu melambai-lambaikan tangan, ada yang melambaikan kain bendera organisasi amal, satu orang di antaranya, dengan kacamata hitam di sepasang matanya, rambutnya tertiup angin. Kemeja panjang yang lengannya digulung hingga siku, lalu lengan dilipatkan di depan dada, berdiri di atas kendaraan yang berjalan, membuatnya kelihatan mencolok, bagaikan calon bupati yang sedang kampanye.

“Anak itu....” Satria menangis sambil tersenyum saat sepasang matanya mengenali pemuda yang mencolok dengan kacamata hitam itu. Iring-iringan kendaraan semakin mendekat, Satria tak ingin minggir dari tengah jalan, ia ingin menyambutnya di situ. Iring-iringan terpaksa berhenti. Ardi melepas kacamata hitamnya, menatap sahabatnya di bawah sana, menggosok lubang hidungnya dengan jari, lalu mengarahkan telunjuknya ke Satria yang masih mematung di jalan depan. “Hey, bro! You miss me?” Itulah kata-kata yang pertama kali ia ucapkan kembali kepada sahabatnya, setelah lima bulan hanya bisa berkomunikasi lewat surat. Kali ini, ia mengucapkannya dengan senyuman yang sangat dinantikan.

“Turun sini kau! Dasar penjahat! Hahaha....” Itulah kata-kata Satria yang pertama kali, kembali, menyambut sahabatnya yang nyaris ia tak percayai lagi. Kali inipun, Satria hanya bisa menahan tangis haru dan melepaskan semua kegembiraannya. Ardi melompat turun dari truk, orang-orang di rombongan merasa berhak menyaksikan momen bertemunya dua sahabat ini.

“Sehat-sehat saja, bro? Tambah gemuk kau tinggal di sini ya.” Ardi duluan menyapa. Namun saat melihat pergelangan kaki Satria yang diperban, ia terkejut. “Lho. Itu kenapa? Gulat lawan anjing gila kamu?” Lagi-lagi ia bisa menebak Satria.

“Hahaha.... Biasalah.” Jawab satria singkat. Kedua sahabat inipun hanya bisa berjabat tangan dengan hangat, tanpa pelukan, tanpa berbicara banyak. Penantian mereka segera terjawab.

“Oh ya, Satria. Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi setelah membaca surat terakhir dari kamu itu. Semalaman aku nggak bisa tidur. Syukurnya, media mempercayai cerita-ceritaku pas wawancara live minggu lalu itu. Hanya berselang tiga hari, rombongan sudah terkumpul segini. Beberapa bantuan obat-obatan ada di truk paling belakang. Di truk kedua itu,...” Ardi menunjuk ke arah truk bagian belakang, yang beberapa orang di atasnya kemudian melambaikan tangan. “Mereka calon relawan di sini. Guru, tiga orang perawat, sisanya relawan serba bisa.” Satria membalas lambaian tangan. “Ohiya, dan kayaknya kantor pos kita butuh tenaga administrasi tambahan, kita juga bawa dua orang relawan. Mereka ini calon TKI yang abis kena tipu sama agennya, akhirnya milih ikut kita. Semua catatannya di situ.” Jelas Ardi sambil menyerahkan sebundel kertas kepada Satria. “Ohiya maaf SMS sama telponmu kemarin aku nggak angkat pas wawancara. Aku nggak pengen kelihatan bodoh di TV. Hahaha....” lanjut Ardi

“Aku ngerti. Thanks.” Satria menjawab ringan. Ia memang selalu yakin dengan kepercayaannya.

“Hai, Satria” sapa seorang gadis riang yang ikut loncat dari atas truk.

“Hai, Dea. Apa kabar?” Satria menyapa.

“Lah, kamu yang apa kabar?” canda Dea. “Ini....” belum selesai Ardi berucap, Dea menukas...

“Tenang saja. Aku dari awal tahu kalo yang nulis surat-surat cinta itu loe, bukan Ardi.” Dea mendekatkan wajahnya ke Satria.

“Hehe.....” Satria hanya bisa tersenyum kecut. Ardi, sudah menutup-nutupi wajahnya di belakang Dea.

“Tapi tenang aja.” Dea mengedipkan sebelah matanya. “Gue jatuh cinta sama dia karena sesuatu yang gue rasain sendiri, yang gue lihat sendiri, bukan surat.”

Fiuhhh....” syukurlah, Dea. Satria lega, lalu mengedipkan mata ke arah Ardi.

“Selamat datang di Desa Kahuliyat!” teriak Satria ke semua orang di situ. Iring-iringan kendaraan kembali berjalan. Nampak di atas truk paling belakang, anak-anak desa berlompatan ke atas dan ikut merasakan nikmatnya menumpang kendaraan.

“Eh, Satria.” Sapa Ardi ketika mereka bertiga berjalan kaki ke arah kampung.

“Hmmm...?”

“Kamu ada sabun mandi nggak? Aku lupa bawa.”

“Jangan pake sabun mandi. Mandi di sungai tu. Gosoknya pake batu atau sabut kelapa.”

“Hah? Serius....”

Melihat sahabatnya terheran-heran dan panik, Satria tertawa. “ Hahahaha.... Dasar anak kota!”

“Satria?!”

Satria dan Dea hanya bisa tertawa sepuas-puasnya.

Matahari tenggelam dan suara burung beradu suara serangga-serangga malam, menemani keceriaan mereka hari ini. Desa kahuliyat kedatangan tamu, banyak sekali, dan memang inilah yang ditunggu-tunggu selama hampir sepuluh tahun ini.

Senin Pagi, 2 Mei 2011.

Rombongan sudah berkumpul di lapangan sekolah. Warga-warga desa juga sudah duduk rapi sambil tersenyum-senyum di bawah tenda yang disediakan tim relawan. Hari ini, untuk pertama kalinya, di Desa Kahuliyat akan dilaksanakan upacara Peringatan Hari Pendidikan Nasional. Tampak di salah satu sudut sekolah Bu Martini sibuk menghafalkan naskah sambutan dan amanat upacara dibimbing oleh seorang relawan perempuan. Di sudut lain, Ardi merapikan celana ala tentaranya, lengkap dengan sangkur terlilit di pinggang. Oleh batalyon Kecamatan Buriang ia dipercayakan sebagai komandan upacara. Di sudut lapangan, Dea kebingungan menghadapi tiga murid sekolah yang bertugas mengibarkan bendera. Bendera Merah Putih di SD itu sudah sobek, dan bagian sudutnya susah disambungkan untuk dikibarkan kembali.

“Satria, ini gimana benderanya? Gak ada yang lain?” teriak Dea. Satria mendekat sambil berlari dari arah kerumunan warga desa di antar barisan kursi-kursi di bawah tenda. “Itu....” Satria ikut-ikutan bingung. Tak mungkin upacara hari ini tanpa pengibaran bendera.

“Satriaa...!” tiba-tiba terdengar teriakan dari kejauhan. Satria mengikuti arah datangnya suara di jalan, di matanya ia melihat seseorang itu kembali lari mendekatinya. Gadis itu melambai-lambaikan kain berwarna merah putih di tangannya. Ais mewarisi banyak sifat mendiang ibunya. Ia tak pernah bisa melihat orang yang dikenalnya mengalami kesulitan, dan kali ini, ia sengaja kembali mencoba menarik hati pemuda yang berhasil menarik perhatiannya beberapa hari yang lalu. Satu hal yang lupa diceritakan adalah saat Ais ditemani Bu Martini mencari rumah Satria beberapa hari yang lalu itu, tepat di hari Ais pulang sambil menangis setelah dibentak oleh Satria, Bu Martini mencegatnya.

“Ada apa, dek?” tanya Bu Martini saat melihat Ais menangis.

“Tak apa, bu.” Jawab Ais.

“Sudahlah. Tenang saja. Cerita saja. Ibu tidak akan bilang siapa-siapa.”

Akhirnya hari itu, di beranda sekolah Ais dan Bu Martini bercerita banyak hal, saling berbagi dari hati-ke-hati, itu adalah perbincangan yang hangat antara dua perempuan yang sama-sama merasa menemukan teman bicara yang menghangatkan. Akhirnya, hari itu pula Ais memutuskan memberi sedikit bantuan kepada SD Kahuliyat, dan Bu Martini meminta agar Ais membantu mengganti bendera saja, bendera Merah Putih di tiang halaman sekolah, dan Ais langsung menyanggupinya.

“Satria.” Kata Ais ketika berada di depan Satria dan Dea, di bawah tiang bendera.

“Ini aku jahit sendiri. Maksudku, aku bawa ke tukang jahit sendiri.” kata Ais sambil menyodorkan bendera Merah Putih yang berwarna sangat cerah kepada Satria. “Bendera di kantor Abi juga sudah aku ganti yang baru.” lanjutnya.

“Tapi, Ais....” Satria bingung.

“Sudahlah, Satria. Sudah aku maafkan. Abi sudah cerita semua tentang kamu dan desa ini. Aku selalu salut dengan lelaki yang berjuang tidak hanya untuk dirinya sendiri.” Jawab Ais mantap, sambil mengedipkan mata ke arah Dea. Dea hanya bisa tersenyum membalas, lalu melihat ke arah Satria. “Udah diterima aja. Ini pertolongan Tuhan lho! kata Dea melirik ke Satria.

“He.... Terima kasih ya Ais.” Melihat respon Satria yang begitu pasrah, Ais pun riang bukan main.

“Oooo.... Pantas saja betah di sini. Dapat bunga desa nih yee....!” Ardi dari kejauhan berteriak. Hampir semua orang di lapangan dan di bawah tenda itu tertawa melihat aksi mereka berempat ini.

***

“Hormaaat, grak!”

Ardi yang menjadi komandan upacara memberi aba-aba. Semua orang berdiri dan memberi hormat kepada bendera Merah Putih yang perlahan ditarik menuju puncak tiang. Bu Martini begitu hikmat menghadap ke bendera Merah putih. Di barisan warga ikut serta memberikan hormat adalah Ais, gadis berkewarganegaraan Malaysia yang mencari ketetapan hatinya. Di belakangnya Nek Maru asik mengunyah sirih, saat tangan kanannya ditempelkan di dahi, tangan kirinya disembunyikan di belakang, wajar saja, karena pisau besar masih dipegangnya di situ. Di tengah lapangan, barisan murid-murid SD Kahuliyat berjumlah sekitar 50 orang berbaris, seragam mereka nampak cerah dan baru, sewarna dengan bendera. Salah satu murid yang berdiri di barisan depan nampak tak henti-hentinya senyum, giginya yang berbaris nampak putih sekali, rambutnya kemerahan, tampilannya mirip bendera juga dengan rambut dan gigi seperti itu. Dalam posisi hormat dan diam, Satria hanya bisa membayangkan banyak hal yang telah dilaluinya dalam lima bulan terakhir. Hal-hal dengan warga desa, dengan gadis-gadis desa, dengan Ais dan ayahnya di kantor pos, dengan Nek Maru yang mengobati kakinya, dengan babi-babi, dan dengan seekor bebek yang tak pernah dilihatnya.

“Bebek?” tiba-tiba rasa hikmat Satria pudar. Tertangkap di matanya seekor bebek, berbulu warna coklat, tiba-tiba nyelonong masuk ke tengah lapangan. Berlenggak-lenggok, bebek itu sama sekali tak peduli acara penting yang didatanginya, dengan tenang saja ia berjalan mendekati Ardi sang komandan upacara, lalu mematuk ibu jari kaki Ardi yang hanya dibalut sandal gunung. Kwekk... kwekkk...! Bebek itu mungkin ingin ikut bernyanyi “Indonesia Raya.”

Melihat kejadian itu, orang-orang berusaha menahan tawa, mereka benar-benar menahan tawa, sambil terus bernyanyi “Indonesia Raya”. Satria sendiri, merasa tergelitik dengan apa yang dilihatnya. Bebek yang dicari-carinya selama ini, justru datang di saat yang tidak tepat. “Hahaha.... Bebek.” lepas begitu saja tawa Satria selepas lagu selesai. Beberapa orang lain juga ikut tertawa. Upacara menjadi tidak fokus, karena seekor bebek.

***

Petang hari itu.

“Hey, pejuang.” Sapa Ardi kepada Satria yang terduduk di atas sebongkah batu besar di tengah padang rumput, jauh di pinggiran desa.

“Kata Bu Martini mungkin kamu di sini, jadi aku kesini. Kerjaan juga udah mulai selesai. Dea sama Ais itu kelihatannya cocok, mereka langsung akrab, membantu warga memasak buat acara nanti malam.” Kata Ardi saat ikut memanjat batu itu dan duduk di samping Satria. Dua sahabat ini, duduk merapatkan pantat mereka di puncak sebuah batu.

“Aku masih nggak habis pikir.” Satria membelah keheningan. Suara burung gereja dari kejauhan bagaikan pelengkap drama yang usang, berulang tiap hari, namun selalu menghibur.

“Apa yang ada di benak orang-orang kaya, yang punya kekuatan lebih untuk memberi, namun lebih senang menghabiskan uangnya di mal, atau di luar negeri.”

“Ya, Satria. Orang-orang yang punya banyak uang justru merasa cepat lega kalau uangnya cepat dibelanjakan. Plong. Seperti orang buang air.” Ardi menjelaskan pendapatnya.

“Lalu saat dalam negeri terjadi bencana alam misalnya, mereka mengeluarkan uang agar semakin dipandang, dan biar uang bisa mengalir semakin banyak ke kantong-kantong mereka.”

“Hmmmm....” Satria hanya berdeham.

“Tapi yang penting,” lanjut Ardi bersemangat. Ia bangkit dari duduknya, memilih berdiri dan menginjak batu itu.

“Lihat, Satria. Ayo berdiri.”

“Kita berada di tempat paling tinggi sekarang.”

“Dan leganya, karena kita berhasil menuliskan nama kita di sini, sebagai satu-satunya penakluk.”

“Bukan penakluk orang lain ataupun penakluk sebuah desa, tapi penakluk diri sendiri, keluar dari zona nyaman, lalu berbuat lebih bagi orang lain yang menjanjikan senyum lebih baik buat kita. Berasa, kan?” kata-kata Ardi terdengar sangat bijak di telinga Satria.

[klik play untuk memainkan lagunya] 09 Dave Koz - You Are Me, I Am You.mp3

Satria pun berdiri dari duduknya, mengenakan sepasang sandalnya yang baru, lalu menjabat tangan sahabatnya itu.

“Kemarin rombongan bahkan sengaja ngadain acara pelepasan tanpa mengundang orang kementerian. Biar mereka sadar sendiri.” Lanjut Ardi.

“Hahaha.... biarkan saja.” Satria mengangguk.

“Rasanya aku punya banyak suksesor di sini, Ardi.” lanjutnya lagi.

“Iya. Mereka akan bertahan di sini, melanjutkan perjuanganmu itu, kawan.”

....

“Trus, abis ini apa lagi?” Satria iseng bertanya.

“Hmmmm.... Aku kepikiran Gorontalo.” Ardi menyahut ringan sambil menatap jauh hamparan padang rumput di bawah sana. Angin mengibas-ngibaskan ujung kemejanya.

“Aaaa.... pasti seru. Tapi kali ini kamu yang di desa ya. Gantian aku di kota.” Tukas Satria bercanda.

“Hahaha....” Mereka berdua tertawa.

Akhirnya Satria bisa meluapkan semua kebahagiaannya di atas batu ini. Di angkatnya kepalan tangannya tinggi-tinggi, senyumannya terbuka lebar menghadap ke matahari mengoranye, lalu ia berteriak sekencang-kencangnya.

Ardi, sahabatnya, hanya bisa tersenyum bangga melihatnya.

Di petang ini, tepat di hari pendidikan nasional, dua sahabat sehati telah menyelesaikan misi mereka di sebuah desa di perbatasan.

Biiipp.... Biiiipp.... HP Ardi bergetar dari dalam saku.

“Halo? Tante? Ohiya. Tentu saja. Satria ada di sini sama aku sekarang. Iya, tante. Dia sehat-sehat saja.”

“Nih.... dari Ibumu.” Ardi menyodorkan HP ke Satria

Satria bimbang, namun akhirnya merapatkan telepon itu ke telinganya.

“Halo? Iya Mama. He? Iya. Anu.... aku sekarang di.... Iya... eh, itu....”

“Ampuuuuuuuuunnn....!”

Ardi hanya menggeleng-geleng, sudah terbiasa ia melihat sahabatnya ini diomeli lewat telepon oleh Ibunya di kampung halaman. “Tetap saja anak mami....”

[caption id="attachment_100740" align="aligncenter" width="654" caption="Ilustrasi (flikriver.com/Inaki A.)"][/caption]

Pesan-pesan dari Perbatasan, selesai.

_____________________________________________________________

Terima kasih kepada semua yang menjadi inspirasi cerita ini:

Tokoh Bu Guru Martini diadaptasi dari film dokumenter "Cerita dari Tapal Batas" karya Keana Production.

Dua orang kawan terhebatku yang menjadi inspirasi tokoh Satria dan Ardi.

Teman-teman Kompasianer para pembaca, kalian menginspirasi hampir setengah cerita ini.

Lokasi puskesmas di dekat jembatan, terinspirasi dari sebuah rumah sakit di Desa Herlang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Tokoh Nek Maru terinspirasi oleh nenek buyutku, Almh. Atik.

Terima kasih semuanya. Yang jelas, Satria dan Ardi tidak berhenti sampai di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun