[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Rakyat Mesir di Tengah Perjuangannya di Tahrir Square"][/caption]
Saat ini Mesir resmi memasuki masa transisi sosial dan politik pasca-mundurnya Hosni Mubarak sebagai presiden. Rakyat dan para partisipan pendukung merayakan kemenangan perjuangan mereka setelah 18 hari turun ke jalan memprotes pemerintahan diktator. Mereka telah membuktikan people power bisa menumbangkan siapapun yang dianggap sudah tidak pantas lagi menguasai pemerintahan dalam negeri mereka. Militer pun yang mengawal jalannya demonstrasi selama ini akhirnya diberi wewenang untuk membangun kembali tatanan pemerintahan yang baru beserta konsep pemilihannya sesuai konstitusi.
Kemenangan rakyat Mesir yang dirayakan hampir di seluruh dunia ini adalah bukti besarnya demokrasi yang diidam-idamkan oleh rakyat untuk rakyat. Indonesia, pun bisa belajar demokrasi yang terbentuk melalui gerakan masyarakat secara masif seperti di Mesir ini.
Beberapa pihak sudah memancing pandangan publik yang menghubung-hubungkan kuasa rakyat di Mesir menggulingkan pemerintahannya dengan kondisi politik dalam negeri Indonesia yang juga mulai gencar diprotes dengan berbagai aksi unjuk rasa. Dilihat dari perkembangan sejarah, Indonesia memiliki pengalaman lebih baik mengawal demokrasi. Setelah diktator orde baru Soeharto berkuasa selama 32 tahun, demokrasi mulai lahir pada tahun 1998, mengulang lahirnya people power yang sudah sejak dulu dikoar-koarkan oleh pemerintahan Soekarno.
Mesir sudah mengajarkan kepada dunia kekuatan rakyat yang bersatu dalam pandangan yang sama. Mereka seakan meyakinkan dunia bahwa tak ada azas pemerintahan lebih baik daripada demokrasi. Sebaik apapun diktatorisme ataupun monarki membawa kemaslahatan pembangunan sebuah negara, demokrasi masih jauh lebih baik karena menjamin psikologis perjuangan rakyat untuk menyuarakan keinginannya sendiri setelah disesuaikan dengan koreksi program-program pemerintah. Walau bagaimanapun, bentuk komunikasi dua arah masih jauh lebih baik dalam pembangunan bangsa dan negara, penyelenggaraan pemerintahan, serta penguatan aspirasi rakyat dalam mengawal pemerintahnya.
Jutaan rakyat Mesir yang berkumpul di Tahrir Square selalu meyakini bahwa pemerintah tidak akan membuat mereka menunggu begitu lama sebelum tuntutan mereka dipenuhi. Itulah kenapa mereka tak selangkahpun menjauh dari pusat legitimasi jalanan itu selagi bertindak sebagai oposan spontan yang kuat. Entah itu alasannya kerinduan kolektif akan tatanan pemerintahan demokratis yang telah lama hilang di tanah mereka, ataukah semangat inspirasi positif yang mereka rasakan bergetar dari negara tetangga, fakta kebersatuan ini mengajarkan kepada dunia bahwa bagaimanapun cara yang ditempuh dalam kebersatuan memprotes pemerintah, selama tujuannya jelas dan berdasar pada kerakyatan yang demokratis, tidak ada yang mustahil menumbangkan rezim sekuat diktator manapun.
AM Fachir, duta besar RI untuk Mesir dalam wawancaranya dengan Metrotv Sabtu (12/2) malam mengatakan, militer Mesir sudah akan menegakkan wewenangnya menghadapi kemungkinan terjadinya kerusakan selama proses transisi. Selain itu, hingga hari ini sudah diberitakan bahwa beberapa warga sipil mulai menjadi relawan membantu militer membersihkan puing-puing sisa demonstrasi dan bentrokan selama hampir 3 minggu terakhir.Sementara itu, militer mengungkapkan bahwa pihaknya akan bekerjasama dengan menteri dalam negeri melakukan amandemen konstitusi serta penyusunan konsep pemilu yang bebas dan terbuka. Mereka juga menambahkan, pihak militer selalu akan mengedepankan pandangan rakyat dalam penyusunan dua agenda utama masa transisi tersebut.
Fachir menambahkan, pihak kedutaan RI di Kairo dan Alexandria tengah menyusun rencana penanganan WNI dan telah berkoordinasi dengan pemerintah pusat di Jakarta.
Sementara itu, Falahuddin Qudsi, mahasiswa Al Azhar yang memilih terus mengikuti perkembangan dalam negeri di Kairo mengatakan bahwa ia dan teman-teman masih dalam keadaan waspada dan tetap mengikuti peraturan militer dengan membawa kartu identitas setiap keluar rumah. Ia juga menyampaikan bahwa saat ini kebutuhan paling mendesak dari mahasiswa di Mesir adalah dana insentifberupa uangserta logistik, mengingat transisi belum begitu pulih dalam hal bisnis ataupun toko-toko. Mereka juga meminta agar upaya pemantauan terus dilakukan oleh pemerintah RI agar setiap perubahan yang terjadi dapat diantisipasi dengan baik.
Rakyat Indonesia pernah merasakan kekuatan rakyat yang sama pada 1998. Saat itu suasana tidak jauh berbeda dengan Mesir, baik dari segi alasan berkobarnya aksi maupun cara perjuangan perlawanan yang ditempuh, menduduki pusat perhatian negeri. Saat itu, kompleks DPR Senayan adalah Tahrir Square-nya. Pendudukan ribuan mahasiswa di atas gedung wakil rakyat itu hanya berlangsung efektif selama kurang dari seminggu hingga akhirnya kemenangan diraih saat Soeharto mengumumkan sendiri pengunduran dirinya pada pagi tanggal 22 Mei. Namun, satu dekade setelah kemenangan besar rakyat itu, saat ini masyarakat Indonesia seakan mulai surut lagi, terlena dalam proses pemerintahan yang rajin mengemas alasan-alasan pembelaan diri melalui pencitraan dan retorika. Rakyat masih menurut, paling tidak belum mau melakukan aksi perlawanan masif yang rekonstruktif. Masih ada pemakluman, masih diberikan waktu bagi pemerintahan sekarang untuk membuktikan kinerjanya.
Memang, masih terlalu dini dan jauh jika kita memproyeksikan kekecewaan masyarakat dalam negeri akan berujung sama dengan Mesir. Konteksnya berbeda, walaupun bukan mutahil untuk terjadi. Namun, tidaklah merendahkan diri jika Indonesia harus belajar banyak dari demokrasi yang ditunjukkan oleh jutaan rakyat mesir yang memperjuangkan suara mereka, tepat selama 18 hari di sebuah lapangan luas pusat kota bernama Tahrir Square Kairo itu.
[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H