Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kapan Kita Produktif?

17 Desember 2010   02:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:39 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12925536771955376656

Pola hidup konsumtif masyarakat kita masih kental. berbagai preferensi dalam hidup, bekerja, mata pencaharian, menuntut ilmu, berpolitik, penegakan hukum, semuanya terkesan bahwa kita masih setia sebagai Konsumen, bukan produsen. Lalu kapan kita beralih menjadi produktif dan memberikan sumbangsih nyata bagi perubahan-perubahan mendasar yang kita idamkan? [caption id="attachment_78514" align="alignnone" width="277" caption="ilustrasi produktif/fastweb.com"][/caption] Sebagai Bangsa, mari kita melihat ke dalam. Kita bisa melihat setidaknya ada dua sisi pembagian apakah kita bisa produktif atau konsumtif. Pertama, sisi Makro, yaitu kita sebagai bangsa dan negara. Selain di bidang ekonomi, pola perjalanan bangsa kita masih cenderung 'menikmati apa yang ada'. Masalah hukum misalnya, Undang-Undang baru yang dibuat terkesan memperjelas (atau memperluas) pernalaran Undang-Undang yang salam sehingga semakin tahun UU makin banyak dan pemahamannya butuh lebih kompleks, begitu juga penerapannya dalam pengadilan dan urut-urut perkara. Masyarakat akhir-akhir ini, baik yang terdakwa atau yang tidak terkesan justru dibuat bingung dengan hukum yang dipakai. Pasal yang tidak relevan, vonis yang terlalu jauh dari dasar hukumnya, bahkan anggapan bahwa hukum sebetulnya sudah tidak relevan lagi bagi kondisi sekarang. Dibutuhkan sistem hukum baru yang dibuat oleh orang Indonesia sendiri untuk bangsanya sendiri. Kita sudah terlalu lama memakain hukum turunan dari pemerintahan Hindia Belanda. Di bidang lain semisal pendidikan, kita baik karena berkaca pada sistem pendidikan internasional di luar negeri yang sekarang diaplikasikan dalam bentuk sekolah-sekolah berstandar internasional di dalam negeri. Namun lagi-lagi, preferensi kita nampaknya meleset dari esensi "apa yang bisa diraih dan pantas dipakai" dari sistem yang mendunia itu. Saat ini tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekolah yang berpandangan bahwa RSBI terbatas pada fasilitas sekolah yang sama dengan sekolah di Inggris (misalnya) dan pengantar Bahasa Inggris oleh guru yang semakin membuat siswanya memutar otak hanya untuk memahami pengantar pelajarannya setiap hari. Di bidang ekonomi sendiri, warisan sistem ekonomi untuk rakyat kita juga nampaknya menunjukkan alur positif yang baik. Dalam satu dekade terakhir kita berhasil melalu dua krisis dunia, di AS dan Yunani, berlum lagi resesi pada 1998 yang dampaknya mulai dipulihkan sekarang. Kita bisa saja mengaku produktif dalam ekspor barang dalam negeri. Honda Astra motor tahun ini tercatat memiliki jumlah ekspor yang jauh lebih banyak dari Thailand, walaupun nilainya masih kalah jauh. Aburizal Bakrie bahkan baru-baru ini mengaku bahwa sebetulnya ekspektasi pertumbuhan ekonomi kita bisa hingga 10% tahun ini dan tahun depan. Namun, apakah ini menjadi indikasi kita produktif? Coba dicek lagi. Indonesia sudah lama dikenal sebagai Lumbung Padi Asia, tetapi justru stok beras kita masih jauh di bawah level "aman" untuk menjadi eksportir. Nilai produksi beras nasional 3,2 juta ton belum aman untuk bisa memenuhi kebutuhan beras nasional kita sekaligus mengeskpor. Pemerintah melalui Bulog masih mendahulukan pemenuhan beras dalam negeri sehingga ekspor ditunda. Apakah kita (kembali) sudah dianggap produsen beras oleh Asia saat ini? Kedua, sisi Mikro, yaitu preferensi individu kita Ambil saja contoh Seleksi CPNS. Di Blitar, pendaftar diharuskan bayar hingga 100juta untuk mendapatkan sertifikat profesi CPNS walaupun masih harus tunggu hasil tes apakah lulus/tidak. Padahal, logikanya CPNS mendaftar untuk mengabdi pada negara dan bangsa, tapi pembayaran itu? "Mosok mau ngabdi justru bayar?" Seakan tidak ada pilihan lain (maaf) selain menjadi Pegawan Negeri Sipil. Padahal, semangat kewirausahaan saat ini sudah semakin distimulus melalui lomba-lomba, kebijakan sektor swasta yang dituntut melaksanakan CSR (Corporate Social Responsibility) di bidang pemberdayaan masyarakat. Sebut saja Bank Mandiri melalui Program Wirausaha Muda Mandiri dan Program Kemitraan Bank Mandiri (PKBM) melalui kedit produktif bagi masyarakat desa dan kurang mampu. Ini bisa jadi alternatif dalam mengembangkan jiwa entrepreneurship individual di desa. Tak bisa dipungkiri, stigma masyarakat kita masih percaya pada "aman" dalam mencari pekerjaan. Sekolah tinggi-tinggi untuk menjadi pekerja, bukan pencipta lapangan pekerjaan. Sekolah tinggi nantinya "hanya" jadi konsumen pekerjaan, bukan "produsen". Kapan? Memang, kondisi makro kita mempengaruhi tumbuh berkembangnya keunggulan mikro kita. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dituntut untuk peka dan paham kondisi mikro, tidak secara ekonomi, tapi juga sosial dan individual. Kita masih bisa berubah dari bangsa konsumtif menjadi bangsa produktif. Jika kita mulai saling mengingatkan untuk memperbaiki pola pikir kita. Terlalu banyak bercermin dari dunia luar juga tidak selamanya baik. Lihat kondisi kita sekarang, pelajari, identifikasi kebutuhannya, mulai! [tulisan ini saya tujukan untuk diri saya sendiri juga] Yogyakarta, pagi hari tanggal 17 Desember 2010.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun