Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Teman Perjalanan

6 Maret 2015   18:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:04 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14256143582076740722

Pukul lima tigapuluh pagi, fajar menyingsing. Cahaya keemasannya perlahan-lahan menyapu pergi mega merah yang menegelilingi matahari sebagai memesraan gelap malam lalu. Udara menyeruak sejuk dan kabut perlahan-lahan kelihatan di pungguk lembah pasir di kejauhan. Dari ketinggian ini, lautan Hindia tampak seperti surgawi bahari yang jauh dan gelap, bertukar cahaya dengan langit yang kebiruan dan kelam. Awan serupa kanopi kapas yang tak berbatas. Harry menghela napas panjang, dan sebagaimana tradisi orang-orang penakluk puncak, ia berteriak lantang. Tanpa kata tertentu, tanpa bunyi konsonan tertentu. Hanya berteriak panjang dengan mulut yang terbuka lebar. Sesaat setelah mengatupkan mulutnya yang kering, Harry mendengar teriak-teriakan dari segala penjuru. Orang-orang dengan penaklukannya. Ada yang dekat, ada yang jauh. Bahkan ada yang sumber suaranya tidak jelas sama sekali. Disaksikan fajar, puncak gunung melagukan nyanyian pagi dari jiwa-jiwa yang mencari jawaban atas masalah dan tantangan-tantangannya. Alam adalah jawaban paling dekat untuk jiwa yang mencari kebajikan, maksud dan nilai-nilai. Dan di ketinggian tak terpatri, konon para pendaki bisa lebih dekat dengan penciptanya, merasakan kebesaran-Nya, bagaikan melihat lantai surga dari puncak yang menyiksa.

Harry menjatuhkan badannya, menutup mata sejenak dan memikirkan hari-harinya yanga telah lalu. Ia mengingat apa saja yang dilakukannya selama tigapuluh tahun hidupnya dengan sadar, pekerjaan-pekerjaan yang menyulitkannya, momen rezekinya yang paling menyenangkan, kelahiran anak pertamanya, kemarahan bosnya, kebaikan mertuanya, kisah-kisah cintanya semasa SMA, sore sewaktu kakinya terjerembab ke selokan hingga patah, hukuman-hukuman yang diterimanya di kelas matematika, pertemuannya dengan istrinya pertama kali, hingga mimpi-mimpinya yang belum tercapai. Semua berurutan dan tergambar jelas. Udara dingin merasuk lewat hidungnya dengan lancar hingga ke paru-paru, matanya menerawang mengikuti arakan kabut yang menggelayut di tengah langit. Saat sinar matahari akhirnya menyapu pipinya, ia merasa hangat, dekat, merasa dimanjakan. Seperti orang bodoh Harry tersenyum, menggumam, berderai tawa. Tetapi kemudian sebuah dehaman sopan membuka matanya.

“Em, maaf, semoga saya tidak salah orang....”

Bayangan menghalangi pandangannya, dengan aksen yang aneh. Sebuah wajah kecil dalam poosisi terbalik sedang menatapnya. Ditutupi topi rajut, tinggal ujung-ujung rambut dari sosok itu yang mengintip keluar. Harry bangkit dan kepalanya nyaris berbenturan dengan kening gadis itu.

“Oh iya, maafkan saya. Saya baru saja tiba dan...” Harry berusaha menjelaskan sekenanya tetapi perkataannya didahului oleh orang asing yang kini di depannya. Perempuan Jepak, tebak Harry di dalam hati, setelah memerhatikan cara berpakaian orang itu yang begitu rapi dan siaga.

“Saya menemukan sebuah kompas di jalan kecil keluar dermaga. Apakah ini...” Gadis Jepang men yodorkan benda berkilau dari balik sakunya. Harry menyambarnya dan langsung mengiyakan.
“Anda benar! Ini kompas saya. Bagaimana...”
Gadis itu tersenyum. “Saya pikir kita menumpang kapal yang sama. Ketika saya menemukan itu, saya sempat melihat Anda tapi cuma punggung, dan tak bisa apa-apa di tengah keramaian. Sampai akhirnya saya diberitahu seorang penjaga ...warung? Bahwa Anda juga mampir di sana, ketika saya menceritakan kompas ini saat beristirahat di sana. Lalu saya coba mencari Anda, barangkali belum jauh...tetapi.... Ada kejadian aneh saat saya melewati danau.”

“Di pinggir danau.... Anda sosok pembawa cahaya di pinggir danau tadi!” Harry mengingat peristiwantadi buta itu dan langsung tahu kalau senter yang tergantung di pinggang perempuan ini rasanya akrab baginya.
“Apa?”
“Ya. Ya! Saya coba memanggil-manggil Anda karena ketakutan tidak ada teman perjalanan. Mungkin saya salah jalur, dan melihat seseorang membawa senter di kejauhan. Anda sempat berhenti, kemudian hendak berbalik, tetapi lalu pergi. Anda tidak tahu siapa yang memanggil Anda. Itu saya!”

“Oh benarkah?” Perempuan itu tertawa. “Saya pikir saya mendengar hantu. Saya ketakutan kemudian pergi. Jadi itu Anda yang tidak punya teman perjalanan?” Gadis itu tertawa lagi. “Maafkan saya. Harusnya saya mengikuti naluri saya ketika itu.”

“Oh tidak apa-apa, sungguh.” Harry lalu mengajak tamunya duduk. “Saya berterima kasih.”

Keduanya lalu berkenalan. Perempuan itu bernama Akiko Matsumara dan mengaku telah bekerja di sebuah perusahaan riset tenaga angin di Selayar, Sulawesi Selatan selama lima tahun terakhir. Sebentar lagi ia akan pindah ke Lombok jika pendakiannya ini membawa 'firasat yang baik', begitu ia menyebut pertimbangan naluriah. Harry jadi percaya mitos wisata bahwa beberapa tempat dan daerah di Indonesia dikenal dengan mistisnya yang memikat, bukan dalam pengertian menyeramkan, tetapi keberpautan hati dan perasaan. Seperti Akiko, pasangan Prancis yang diceritakan penjaga warung itu juga pasti menemukan hal yang sama.

“Saya jatuh cinta dengan gunung- gunung, terutama yang sulit ditaklukkan justru karena keindahannya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun