Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Callisto

18 Februari 2014   19:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:42 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Lima kilometer dari perbatasan desa Jagoi, meliuk-liuk sungai kecil Kumba yang dulunya dikenal sebagai anak Bengkayang.

Di tepian sungai ini tidak banyak berjajar rumah panggung kayu sebagaimana bantaran sungai tanpa tanggul pada umumnya –kecuali terdapat puluhan kandang dan patuk-patuk kekang untuk mengawal ternak minum, kadang babi, kadang unggas. Jarak antar-rumah diisi dengan kebun tanah liat yang ditumbuhi kakao, melinjo dan belukar. Itu menegaskan kalau supremasi hutan masih tersisa walau tertekan makin ke dalam.

Kalimantan masih setia dengan hutannya. Di ujung perkampungan yang berbatasan dengan desa Sekida, berdiri Kelenteng Sumber Budi, konon dibangun oleh para pedagang Tionghoa yang membawa lada merah ke Jawa pada 1900-an. Di Kelenteng inilah sebuah almanak setebal 741 halaman, ditemukan dari dasar sumur berdinding batu sungai sedalam delapan belas meter.

Tian Peng Li baru saja mendarat si Soekarno-Hatta setelah mengunjungi Hong Kong selama tiga hari terakhir, mempelajari peta langit kecil digital tentang Ursa Major dan Ursa Minor. Hanya delapan jam ia di darat karena petang berikutnya, ia sudah terdiam selama perjalanan tiga jam di atas mobil multifungsi sport yang membawanya membelah hulu Kalimantan. Sejak penerbangan dari Jakarta sampai akhirnya menyusuri Singkawang ke utara, ia banyak diam. Waktunya di mobil ia manfaatkan membaca dan mempelajari salinan surat dan deskripsi soal sebuah Kelenteng dan sebuah Almanak tua yang berisi rahasia sebuah keluarga Cina. Tak banyak kejelasan dari surat itu, kecuali bahwa judul almanak menggunakan bahasa latin Callisto. Kepulangannya setelah sepuluh tahun ia rasa akan sulit, bukan saja karena panggilan meninggalnya sang bapak, menjejal dadanya dengan separuh kesedihan.

Karena namanya kini telah berubah menjadi Ben Hidamunsi, laki-laki dua puluh sembilan Tian Peng Li lebih merasakan kegamangan masa lalu yang jadi cermin atas dirinya sendiri. Dia seorang arkeolog, “penggali harta” dalam pemahaman orang-orang kampung. Ayahnya, Ru Peng, menjaga betul nama keluarga Li sampai ke anaknya yang memilih kehidupan liberalis ibu kota. Di pikiran Ben, kepulangannya bisa jadi obat penebus rindu pada sang ayah meski sosok yang kini jenazah itu pernah memusuhinya di masa lalu.

Tian Peng Li kecil tumbuh sebagai anak hiperaktif, urakan dan cerdas. Kecerdasan yang mengejutkan itu membuatnya tidak bergaul normal di kalangan anak-anak kampung Bengkayang yang dijaga betul dengan adat. Ajaran Ru Peng Li pada anak-anaknya agar tetap tinggal dan membesarkan kampung halaman tidak mempan pada Tian. Anak ini lebih memilih bermain tanah, mengamati bintang-bintang, dan bertambang pasir di sungai Kumba ketimbang sembahyang di kuil atau meramaikan Cap Go Meh. Lebih senang mengenal orang-orang luar desanya yang kaya ketibang sopan kepada para tetanganya yang Dayak.

Bertahun-tahun proses remaja Tian lewati dengan pertentangan pada bapaknya sampai, selepas SMA ia nekat merantau sendirian ke Jakarta. Keputusan sepihak itu ia rasa telah membakar rasa benci sang bapak kepada dirinya, sampai-sampai bahkan sepucuk suratpun tidak pernah sampai di Jagoi.

Setelah meraih cita-cita bangkangannya sebagai arkeolog, dan sepuluh tahun kegamangan jauh dari keluarga, Tian yang memilih namanya sendiri sebagai Ben memenuhi permintaan orang tua angkatnya untuk kembali ke kampung. Sore harinya, jip yang membawa ia dan seorang rekannya tiba di pondok kayu di Jagoi dengan sambutan yang dingin.

Yang menyambut Ben tak lebih dari seorang saudara laki-lakinya, Budi –yang ternyata memilih meninggalkan juga nama rumpunnya, dan seorang bibi yang masih ingat bagaimana sosok itu dulunya anak yang disayang. Kerumunan kecil di rumah memberitahu Ben bahwa sang bapak telah dimakamkan pagi tadi, mengira bahwa anak keduanya mungkin tidak akan datang. Mendengar itu pecah kesedihan di dada Ben, yang ia tak tahu datang dari mana.

“Koh...,” kemudian Budi menyahut pelan seketika menggiring kakaknya keluar rumah. “Kami menunggu koh sampai dua belas jam. Sungguhpun kami sangat berharap kedatanganmu lebih awal, kami sangat mengerti. Masalah-masalahmu dengan bapak, dengan tante-tante... mungkin kesibukanmu. Tapi koh harus mengerti bahwa koh selalu diterima lagi di rumah ini.”

Selama perantauannya, hanya Budi dan Bibi Nima yang sering mengontak Ben, meski cuma lewat surat-surat senyap dan sambungan telepon yang tidak dilaporkan ke rumahnya.

Ben mengangguk dan terisak, mencoba mengerti perasaannya sendiri. Bau dupa yang meruap-ruap menusuk hidungnya seperti telah lama ia rindukan, dan kerumunan kecil yang berdiri di ruang tamu tempat bermainnya dulu malah seperti ingin mengusirnya. Ia mengadu kepada Budi kesedihan itu, kemudian dipeluk dan ditenangkan. Kru yang bersamanya tak berani nimbrung.

“Kami tahu kedatangan Tian kemari karena kiriman surat rahasia itu...” Begitu salah seorang bibi menyahut saat mereka mulai duduk tenang dalam diam beberapa menit.

Ben mengangguk hormat, laku adat yang sangat canggung baginya kini.

“Maafkanlah bapakmu, Nak,” kata seorang bibi yang lain menimpali. “Kami yakin juga sejak dulu Nak Tian bisa diterima lagi. Cuma masalah waktu saja. Sekarang, tidak ada lagi gunanya marah-marahan. Cukuplah semua yang dilalui.”

Mendengar itu Ben merasa tersayat-sayat. Bukan sekali ini saja sebetulnya ia merasa durhaka. Sejak setahun dirinya menghirup udara pengap ibu kota, ia sudah berniat untuk kembali. Satu-satunya yang menahannya adalah rasa kecewa sang bapak yang masih menumpuk, dan gengsi laki-laki yang pulang dari pelarian tanpa membawa kabar baik soal perubahan dirinya. Tahun-tahun berganti dan keputusan itu urung pula ditegaskan, sampai hari ini ia kembali. Di perbincangan itu Ben tidak banyak bicara, hanya mengangguk dan menangis.

Bibi Nima mendekat kemudian memeluk. Setelah agak tenang, Ben dibisiki sesuatu di telinganya. “Selesaikanlah urusanmu di Sumber Budi, lalu pulanglah ke rumah ini.”

**

Deru aliran sungai Kumba semakin dekat. Kelenteng Sumber Budi masih seperti di ingatan Ben, berwarna merah keemasan dengan tamannya yang dihiasi batu-batu putih dan ubin marmer. Sekelilingnya ditumbuhi beringin, indicus, dan meranti. Ada kolam di sisi selatan yang dihiasi lima koi dan beberapa katak, mengingatkan masa kecil saat ia mencuri beberapa dari kolam itu untuk ia lepas-liarkan ke sungai. Memori itu tak komplet kembali karena kedatangannya kali ini jauh dari kesan main-main.

“Koi tempatnya di air jernih...”

Kalimat barusan, lebih merupakan pemanggil ingatan, keluar dari mulut seorang renta yang rupanya dikenali dengan baik oleh Ben. Seperti anak kecil, Ben melepas tasnya dan memeluk laki-laki pengurus kelenteng. “Bukan di sungai keruh. Maafkan saya, paman. Maafkan saya.” Kemudian laki-laki tua itu menariknya dengan mengatakan. “Berdiri, Nak. Sekarang kau anak kami.”

Budi, adik Ben yang ikut menemani, menceritakan kepada Radit, rekannya, dan sisa kru bagaimana Tian dulu begitu dekat dengan Kong Liau. Orang tua ini dulunya sahabat dari Ru Peng ayah Tian, dan kenakalan seorang anak hiperaktif hanya bisa ditenangkan oleh seorang Kong Liau ini. Bisa dibilang, separuh kehidupan nakal Tian kecil dilewati bersama Kong Liau.

“Sumurnya di sebelah sini,” ujar laki-laki tua, menggiring rombongan peneliti itu ke arah tenggara, menuruni tangga batu, mengarah ke sebuah meranti. Di sana ada lubang berdinding susunan batu bertembok yang ditumbuhi alang-alang. “Baru digali lagi setelah puluhan tahun dianggap tidak menghasilkan air,” Kong Liau menjelaskan kepada tim. “Sekarang, setelah seekor anjing warga terperosok ke dalam, di situlah buku itu ditemukan.”

Tanpa mereka sadari tiba-tiba seorang perempuan muda dalam busana nuansa merah muda sudah berdiri di belakang. Di dua tangannya bertengger nampan yang ditutupi taplak yang membumbung kotak. Dari sana dikeluarkan tiga botol air segar, dan sebuah buku seukuran empat telapak tangan dewasa.

“Ah, ini dia harta kita,” Kong Liau memberitahu para tamunya. Buku itu kemudian diletakkan di atas batu untuk dieksaminasi sederhana. Ben, merasa degupan jantungnya makin bersemangat –sebagaimana setiap penemuan arkeologisnya—belum bisa berbicara.

Almanak itu bersampul tebal yang tepiannya tidak rata karena lembab. Bungkusan utamanya berwarna kemerahan dengan sisa warna lumut yang mencolok. Bagian isinya nampak lebih kekuningan daripada putih. Di sampulnya tidak ada kata selain Callisto, dan rasi bintang Selatan yang jika dihubungkan dengan garis-garis akan membentuk beruang yang diasingkan. Ketebalannya membuat perempuan muda yang membawanya tadi lebih nampak memeluk daripada membawa, dengan tangan yang melingkar tinggi di permukaan yang sepertinya dilindungi semacam kain penutup.

Ben diberi kehormatan untuk membuka almanak itu, sementara dua anggota krunya yang lain mengamati dan yang lain memotret dokumentasi. Kong Liau menjauh agak ke belakang. Ben terdiam sejenak dan menarik napas, meniup tangannya sebelum memasang sarung tangan karet, dan membuka jilid tebal di depannya dengan penjepit steril.

Di lembaran pertama hingga keempat tidak ada gambaran selain sebuah peta tua yang akrab: denah sederhana desa Jagoi dan sungai Kumba, dengan batasan-batasan akhir desa lainnya, dicoret dengan semaca tinta serbuk kehitaman yang masih mengkilap. Urutan penanggalannya mengikuti dua musim utama dan disusun dengan jumlah bintang satu sampai dua belas. Di bagian lain terdapat gambar-gambar dari beragam tanaman, pohon-pohon Meranti dan Indicus, dan bangunan-bangunan ibadah. Bahkan, di bagian-bagian tengah terdapat gambar dan penjelasan soal orang-orang pendek penghuni asli Borneo, beberapa warna kulit ras bikkhu, serta nama-nama asli keluarga Dayak.

Akan tetapi dari semua yang mengagumkan itu, hanya satu bab yang sekilas sangat menarik perhatian Ben. Di bagian tengah jelang belah kedua, terdapat penjelasan soal rasi-rasi bintang yang setiap tahun nampak di langit Kalimantan. Tidak semua, karena memang hanya tujuh rasi yang terlihat setiap tahun nonkabisat. Dari keempat rasi itu, selain Orion, Ben mengamati rasi beruang diam di ufuk barat paling bawah. Dia tandai dengan selembar pita, kemudian bangkit. Eksaminasi singkat itu dianggap selesai.

“Kita bahas di rumah Ngkong, kalau boleh?” tawar Ben yang langsung disetujui.

**

Mereka disuguhi teh hijau dan segepok ubi rebus yang masih beruap-uap. Ada bagian kecil dari Kelenteng Sumber Budi yang dijadikan pendopo penerimaan tamu, sekaligus bagian depan dari rumah dinas penjaga hasil patungan bertahun-tahun. Duduk beralas tikar, Kong Liau melayani para tamunya. Perbincangan banyak menyinggung latar sejarah kampung sampai-sampai dibahas dalam almanak tua yang terkubur. Meski begitu, Ben sendiri kembali tenggelam dalam diam, pikirannya menebak-nebak sendiri sambil matanya mengamati lembar-demi-lembar almanak tersebut.

“Kong, tadi bilangnya, kapan anjing Pak Duma jatuh ke sumur?” tanya Ben tiba-tiba memecahkan pembicaraan santai di belakangnya. Jelas sesuatu mengganggu pikirannya.

“Em... empat hari yang lalu, kalau tidak salah. Yunus yang temukan. Oh ya, hari Jumat lalu, katanya. Dia naik motor dari masjid waktu dengar gonggongan.”

Ben kembali senyap. Ia bolak-balik lagi almanak itu dan merasakan kecurigaannya makin menebal. Meski begitu, pembahasan siang hingga sore hari itu berhenti di situ. Tim kembali ke rumah keluarga Li untuk merencanakan reservasi tingkat menengah pada sumur beberapa meter persegi yang diduga berhubungan dengan almanak. Setelah malam harinya mereka bergabung dengan keluarga besar untuk acara peringatan kematian sang bapak, tim kembali ke Sumber Budi fajar berikutnya.

Kong Liau tiba-tiba membuka perbincangan setelah seruputan tehnya. “Ada kecenderungan orang-orang kita dulu menghitung hari-harinya dengan tulisan di dinding gua, di batu, di bilah-bilah kayu,” ujarnya disimak keempat tamunya. Ben bereaksi masih datar saja, pikirannya teringat-ingat istri dan anak yang ditinggal di Jakarta dan beberapa pekerjaan menumpuk. Meski begitu, semua rencana besok tak bisa mengalahkan ketertarikannya pada penemuan di sumur tua. Kecurigaannya masih ia simpan rapat.

“Kelenteng ini banyak mozaiknya, Kong,” kata seorang rekan Ben, mengitarkan tangannya ke sekeliling, di mana warna-warna ukiran dinding didominasi marmer hijau menghiasi bertahun-tahun. “Sejak berdiri sudah cantik begini?”

“Iya betul,” jawab Kong Liau membenarkan pandangan tamunya. “Semua yang di dinding ini sampai pagar selatan sana, dibangun abad tujuh belas. Konon, sewaktu Belanda dan Jepang masuk kemari, kelenteng ini tak pernah terkena satu pelurupun. Karenanya orang-orang pakai untuk mencari perlindungan. Di sini, tentara, pejabat gubernuran, sampai petani dan pengemis tunduk bersama, berdoa pada Tuhan. Di garis gerbang ini, semua permusuhan ditinggal di luar. Kalau you masuk kemari, berarti jadi tamu Tuhan. Dan tamu Tuhan tidak boleh diganggu dengan alasan apapun.”

Para tamu takzim mendengarkan pemaparan Kong Liau. Di pojok, seorang arkeolog yang lain lantas menyela. “Maaf, Ngkong. Kami mohon izin melakukan penggalian lebih banyak di sekitar sumur, guna bukti-bukti lain. Kalau boleh, kami akan mengurus administrasinya.”

Kong Liau mengaku tidak keberatan, terutama setelah berkonsultasi dengan pengurus kampung. Tapi belum juga tim melanjutkan permintaannya, Ben sudah menimpali duluan. “Ngkong, bisa bicara sebentar?”

Kong Liau tidak keberatan dan langsung bangkit dari kursinya, meninggalkan anggota tim lain yang kebingungan dengan reaksi lain ketua mereka. Ben dibawa ke sebuah ruangan di belakang kolam ikan tempat biasanya makanan disiapkan.

“Kong, saya minta Ngkong jawab jujur pertanyaan saya.” Ben tiba-tiba meminta dengan tatapan serius, sambil matanya menyorot ke arah teman-temannya.

“Tentu saja, Nak.” Kong Liau meyakinkan dengan tepukan di lengan. “Ada apa?”

“Begini. Saya berterima kasih sudah diterima di sini untuk penemuan almanak Callisto, semuanya sesuai surat yang saya terima beberapa hari lalu. Surat itu, apakah Ngkong yang susun?”

“Iya betul, saya yang kirimkan. Saya diantar Yunus ke kantor Pos di Bengkayang.”

“Iya, tapi apakah Ngkong yang tulis suratnya? Ngkong yang ketik?”

Kong Liau tampak ragu, kemudian setelah hening sejenak, menjawab juga dengan terbata-bata. “Begini, Nak Tian. Sebenarnya... surat itu...”

Di tempat minum teh, para anggota tim arkeologi mulai menyusun rencana penggalian lanjutan mereka setelah menghubungi tim perlengkapan yang akan mendarat sore nanti. Ben dijadwalkan akan kembali ke Jakarta besok lantaran undangan konferensi yang tak bisa ia tinggalkan, maka rencananya tampuk pimpinan tim penggali akan diserahterimakan malam itu juga.

“Ini ide siapa? Ide siapa, Kong?!” Ben mulai membentak sampai-sampai Kong Liau terhenyak, dan anggota tim lain mulai mencari tahu apa yang terjadi. Akan tetapi belum juga didapat jawaban, Ben sudah melangkah keluar dan langsung berjalan cepat meninggalkan kelenteng. Panggilan dari anggota tim lain tidak dipedulikannya. Di pintu kelenteng, Kong Liau meminta anggota tim lain untuk tenang saja, dengan mengatakan “Anak itu berhasil menemukan rahasia yang disimpan untuknya.”

**

Ben datang, melepas sepatunya, kemudian langsung menggebrak meja. Dengan gigi gemeretuk kemudian ia masuk ke ruangan khusus tempat reservasi sementara, membuka tirai plastik tebal yang menjuntai di empat sisi, menyalakan lampu sorot, dan membawa keluar almanak itu. Kemudian dengan lantang ia berteriak-teriak. “Bi Nima, Bi Nima!”

Tak lama begitu perempuan paruh baya itu keluar. Tangannya masih belepotan tepung kue. Melihat kemarahan Tian yang seperti hampir tak tertahan, Bi Nima memintanya duduk dahulu biar tenang. Tapi toh Ben bergeming dan berjalan melempar almanak tebal itu ke lantai.

“Ini semua bohong!”

Bi Nima ketakutan. Belum juga perasaannya tenang setelah terkejut dengan bunyi gedebuk yang menggetar, ia sudah dibentak.

“Cepat katakan, Bi! Bagaimana ini semua terjadi. Kenapa... kenapa demi seorang yang sudah meninggal, kalian semua mau bersekongkol. Aku sudah tahu semua dari Kong Liau.”

“Oh, Nak....”

“Apa...?”

“Bapakmu, Nak. Bapakmu....”

“Bapak sudah mati, Bi. Walaupun aku mati-matian ingin meminta maaf padanya, semuanya sudah terlambat. Sudah aku katakan, bahwa pilihanku ke Jakarta bukan karena aku benci bapak, tapi justru aku ingin ia melihatku sebagai laki-laki yang mencari jalan hidupnya sendiri. Kenapa mau repot-repot membuat misteri palsu, membuat almanak ini, pura-pura mengesankan kalau semuanya berusia ratusan tahun. Almanak itu palsu kan? Semua soal penggalian ini... tidak ada yang berusia ratusan tahun. Semuanya baru ditaruh entah... kemarin sore, kemudian kalian meminta kami kemari. Semua ini, cuma untuk membawaku pulang?”

“Demi Dewa di Langit dan Bumi,” demikian Bi Nima menangis. “Bapakmu meninggal dalam kerinduan mendalam akan dirimu, Nak.”

“Tapi kenapa, Bi. Kalian bisa saja meneleponku dan mengatakan kalau semuanya sudah terlambat. Aku akan datang, tidak perlu memberiku harapan soal penemuan-penemuan benda yang sebenarnya hanya rekayasa kampung.” Ben akhirnya berlutut memegang betis bibinya. “Bi..., aku merasa bersalah pada bapak. Kalian tidak perlu seperti ini... Kalian tidak perlu....”

Di luar pintu rumah, berdiri tiga orang anggota tim arkeologi, yang kemudian oleh Kong Liau digiring ke sisi lain rumah itu agar tidak perlu menyaksikan Ben dan masalah keluarganya.

Bi Nima mengangkat ponakannnya. “Buku itu tidak palsu, Nak. Bapakmu memang menyusunnya selama tiga tahun ini.”

Dalam isak, Ben bertanya apakah benar yang dikatakan bibinya itu.

“Bapakmulah yang memintaku menulis surat soal prospek penemuan penting itu, menawarkan naskah almanak yang ia susun sendiri dengan ilmu yang ia pelajari sendiri. Itulah kenapa Ben jangan heran kalau isi almanak itu hanya menggambarkan semua seluk beluk kampung ini, karena memang sebatas itulah bapakmu bisa pelajari. Bintang-bintang, pohon-pohon asam dan umurnya, liuk-liuk sungai, semua itu bapakmu gambar berdasarkan ingatan masa kecilnya, sampai yang ia lihat hari-hari terakhir hidupnya.” Bi Nima mengusap air matanya sendiri dan melihat dalam-dalam ke mata Ben. “Almanak itu, buku apapun namanya, bapakmu bikin dengan harapan matamu terbuka, Nak. Soal tempat kelahiranmu, soal kesenangan bapakmu melihat Tian tumbuh, sehat, mengisahkan meninggalnya ibumu sewaktu dilahirkan, dan bahkan hal-hal yang Tian senangi. Dulu bibi masih ingat, bapakmu pernah memarahi Tian karena lebih senang mengamati bintang daripada datang ke acara keluarga. Menurut bapak, bintang dan tanah mungkin unsur pembentuk kehidupan bagi Tian. Belakangan, Bapakmu mulai mempelajari itu semuanya. Menulisnya di dalam banyak bagian penting buku almanak. Buku itu warisan yang disusun khusus untuk seorang Tian Peng Li.”

Ben bergetar, air matanya mengucur dalam isak-isak pendek. Yang keluar dari mulutnya tak ada selain panggilan “bapak... bapak.”

**

Pada pagi berikutnya, Bi Nima menghela napas di depan buku tebal bertuliskan Callisto, dikelilingi anggota tim arkeologi yang terkejut dengan fakta yang mereka dengar. Satu pertanyaan yang tersisa di benak mereka: kenapa buku warisan ini diberi judul sedemikian misterius?

“Dia memilih tidak membawanya?” Kong Liau bertanya entah kepada siapa. Bi Nima mengisyaratkan bahwa mungkin kemarahan masih tersisa di hati Tian, dan mungkin anak itu akan kembali suatu hari ketika ia menemukan semua jawabannya.

**

Kaca mobil memantulkan bayangan wajah yang jatuh miring karena bias lengkung. Ben menggigit ibu jarinya sendiri dan meraba-raba kembali pikirannya yang kalut. Rencana konferensi penting di Jakarta tidak terlalu ia pikirkan.Yang mengganggunya malah pengalaman beberapa hari terakhir. Soal almanak tua dalam sumur, rencana yang disusun di rumah untuknya, dan cerita-cerita masa kecil bersama sang bapak yang masih tersisa di ingatannya.

Dalam mitologi Yunani, Callisto dikenal sebagai seorang dayang untuk raja Lycaon, penguasa jagad Arcadia. Karena kecantikannya yang menonjol di antara semua dayang peri, penguasa petir Zeus membuat Callisto melanggar kodratnya dengan menghilangkan keperawanannya, dan kemudian hamil. Callisto kemudian oleh ibu peri Diana dibuang dari kawanan dan oleh istri Zeus, Hera, dikutuk menjadi beruang cokelat di bagian selatan ufuk barat. Dalam keadaan terkutuk itulah Callisto melahirkan anaknya, yang dikenal sebagai Arcas. Ibu dan putra kemudian dikenal sebagai Ursa Major dan Ursa Minor.

Berabad-abad berikutnya, Ilmu pengetahuan yang diperkenalkan Galileo Galilei memakai nama Callisto untuk bulan yang jadi satelit planet Jupiter (nama lain Zeus).

Ben akhirnya menyadari semua keterkaitan mitologi itu dan cita-cita bapaknya. Callisto mungkin mewakili almarhuman ibunya, dan dirinya sendiri, mungkin digambarkan sebagai Arcas, sang Ursa Minor.

Setelah hampir satu jam melaju di antara dua tebing tandus Kalimantan, Ben tiba-tiba memerintahkan sopir untuk kembali.

------------------------------------

Ilustrasi: zdnet.com.

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun