Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Minggu Kemarin

25 Maret 2014   17:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:30 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENGAPIT DOMPET KECIL berkait emas, jari-jari tangan itu bergetar-getar sebentar, kemudian diam, kemudian mengetuk-ngetuk lagi. Di ujung belakang bus 26 Trans Jogja perempuan lima puluh tiga Reini Bessaan terdiam menahan sabar. Di hidungnya meraup-raup beragam aroma parfum tiruan yang menyengat sampai ubun-ubun, berbaur dengan pengap keringat belasan orang yang berdiri memadati kabin. Di antara mereka yang duduk duduk ada laki-laki tua tertidur menindih topi senimannya, dua ibu muda berusaha menenangkan bayi mereka, selebihnya mahasiswa yang dengan tas-tas punggung saja sudah menyita banyak ruang gerak. Maka biar tidak serta-merta muntah karena mual, Reini Bessaan melempar pandangan matanya keluar jendela. Sesekali (terutama saat kakinya keram tak bisa digerakkan) ia menatap jeli bulir-bulir hujan yang terlempar angin di sana, sambil menyusun rencana.

Bus itu melambat, antre melewati lampu merah di pertigaan ujung jalan berputar Abubakar Ali, setelah sebelumnya melewati air mancur setinggi enam belas meter yang mengucur membasahi Tugu Adipura. Lalu lintas hari Kamis mestinya tidak terlalu padat, tapi di jam-jam awal kerja pesepeda motor menikung-nikung bebas dan malah menyendat laju kendaraan roda empat yang mau masuk ke Jalan Malioboro di sebelah barat. Balasannya setimpal, karena para pemotor itu harus menghirup emisi hitam pekat dari knalpot-knalpot diesel. Bus itu kemudian menurunkan penumpang di halte depan hotel putih enam lantai.

Inna Garuda dulu bernama Grand Hotel de Djokdja, berdiri dengan bangunan inti di sebelah timur dan dua sayap di utara dan selatannya, sudah ada sejak 1938. Meski sejarahnya panjang dengan jalan Malioboro, kini bangunan itu punya supremasi sendiri lantaran beberapa bangunan lain (yang umumnya lebih kecil) menyerah runtuh oleh toko-toko modern dengan fasad warna-warni --yang sebagiannya justru dimiliki orang luar Yogyakarta-- atau justru teronggok menyisakan bangunan tua yang dicoreti grafiti saling tumpang-tindih.

Di seberang hotel megah itu berjajar toko-toko tua yang merelakan serambi mereka pada pedagang pakaian emperan. Di situ juga terapit sempit sebuah bangunan yang di fasad depannya (juga sudah dipoles dengan serat plastik) tertulis Jogja Library Center --Gedung Pusat Arsip yang dikelola Badan Perpustakaan Daerah, dengan warna huruf kuning di atas latar hijau zamrud. Reini Bessaan menyeberang agak kikuk sambil mengangkat payungnya ke udara, berharap pengendara berbaik hati memberinya jalan. Di depan pintu perpustakaan, langkahnya lantas terhenti dihadang seorang muda kekar berseragam putih khas satuan pengamanan.

“Saya mau melihat arsip suami saya.”

“Maaf?” tanya penjaga itu meminta diperjelas. Sebetulnya tidak perlu ada protokol penahanan sementara di pintu perpustakaan umum itu, tapi bagian kalimat Reini ‘arsip suami saya’ malah membuat satpam itu penasaran. “Suami ibu… siapa?”

“Pokoknya saya mau periksa arsip!” hardik Reini Bessaan sambil menghalau petugas itu dengan payung. “Susah amat sih!”

Satpam itu lalu meminta maaf setelah seseorang berkemeja hitam yang membuka pintu dari dalam menegurnya. “Lukman, biarkan dia masuk. Mari Ibu, selamat datang.”

“Terima kasih,” ujar Reini kepada staf yang menyambutnya, meski tak bisa menyembunyikan pandangan ketusnya pada satpam yang ikutan misuh-misuh.

Oleh staf penjaga, Reini dipersilakan masuk bebas. Setelah diminta menandatangani buku tamu formal di atas meja (semacam resepsionis di dekat pintu), ia dilepas bebas. Staf itu menjelaskan bahwa di pagi-pagi begini biasanya belum banyak orang yang datang, tapi mungkin beberapa rak dan ruangan masih ditutup untuk bersih-bersih. “Monggo silakan, mau cari buku apa?” Staf berkumis itu bertanya ramah, berusaha menunjukkan asistensi formal yang biasanya melayani khusus pendatang-pendatang usia lanjut yang rabun atau yang mungkin tangan mereka tidak sanggup menggapai kliping-kliping tebal yang disusun di rak agak tinggi dengan cahaya redup.

“Romintus Huben, saya mau cari artikelnya. Saya diberitahu seseorang, ada artikel yang membeberkan alasan sebenarnya kenapa Romintus Huben --suami saya-- dibunuh. Agustus tahun 1997, Pak. Bisa tolong bantu?”

Staf itu mengernyit dahi. “Sebentar, Maksud ibu, Romintus Huben, yang itu? Aktivis Pergerakan Pancasila dari Utan Kayu?”

Reini mengangguk cepat. Pandagannya sudah tidak bisa lepas dari susunan tulisan bulan dan tahun yang kelihatan dari sisi tumpukan kliping tebal di rak, persis di belakang staf berkumis yang menanyainya. “Romintus Huben.” Reini mengangguk-angguk cepat. Bibirnya menghitung-hitung susunan tahun itu.

“Tapi, Bu….” Staf itu berusaha menyela tapi tak mendapat kesempatan. Ia kesulitan mengikuti langkah cepat Reini melewati rak-rak, terkadang menyusuri koridor belakang yang langsung menuju bioskop kecil, kembali lagi, tanpa suara. Staf itu terus-terus berupaya memanggil ingatan di kepalanya tentang sebuah nama dan tanggal artikel yang dimaksud tamu paginya ini, tapi hasilnya nihil.

“Tidak ada…,”

“Minggu kemarin, Pak… Handoyo,” Reini berucap meraba-raba setelah mendapati tulisan yang tertera di papan nama di dada kanan seragam staf penjaga berkumis itu. “saya didatangi Bakhtiar Munsyi, katanya staf arsip di Perpustakaan Magelang. Dia bilang ‘arsip tentang kematian suami Anda mungkin ada di Perpus Arsip Malioboro, cari saja di bagian Agustus sampai Desember sembilan tujuh,’ dia bilang. Makanya saya kemari, mau cari arsip berita suami saya. Pasti ada nama penembaknya!”

“Tunggu. Tunggu, Ibu… Bagaimana bisa… Siapa Bakhtiar Munsyi ini? Dan lagi… suami Anda… saya tidak kenal.”

“Oh….” Reini melangkah mundur menjauhi staf penjaga. Kepalanya menggeleng cepat, seiring mukanya memerah basah. Tak kuasa menahan air matanya, Reini menutup mulutnya dengan dua tangan.

Waktu itu musim hujan akhir tahun baru saja beringsut, 1997. Suasana Jakarta tidak begitu ramah bagi pendatang. Aksi demonstrasi mulai membesar dan kabarnya, para aktivis dari Aceh dan Pontianak akan bergabung di minggu terakhir bulan Juli. Setiba di Cengkareng --dan sebagiannya melalui Tanjung Perak di Surabaya dan berkendara dari Semarang, para aktivis yang sebagian besar mahasiswa ini akan mengirim koordinator mereka ke beberapa “titik penyusunan strategi” di Utan Kayu, Koja, dan di beberapa indekos tak jauh dari Stasiun Gambir. Mereka mengambil satu bulan untuk berbaur sambil menyisir kabar-kabar kawat dari masyarakat sekitar yang sebagian besarnya ternyata setuju dengan rencana penggulingan Suharto. Tersiarnya pula kabar bahwa ratusan intel pemerintah diterjunkan untuk menghadang rencana pergerakan besar-besaran mereka, membuat kantong-kantong strategis aktivis beberapa kali berubah-ubah dan terpaksa nomaden.

Intel pemerintah tidak sehebat yang dikira masyarakat awam. Bagi para aktivis, satu cara jitu mengenali dan melangkahi taktik para intelijen pemerintah adalah dengan “menyeimbangi mereka”. Maka disebar pula ratusan mata-mata dari kelompok Aktivis Maret --mereka yang dipercaya punya pengalaman berhadapan dengan popor senapan dan meja diplomasi. Mereka turun ke pasar jadi penjual ikan, melamar ke kantor pemerintah sebagai pegawai honorer, bahkan berpindah-pindah kota jadi pedagang buah atau penyedia jasa pengangkutan. Mereka didandani gembel, kadang berdasi, tapi dengan keahlian menyimak yang tak kalah jeli dari keahlian bernegosiasi. Di antara Aktivis Maret inilah dikenal sebuah nama yang belakangan dihormati sebagai “martir dari Maluku”. Romintus Huben lahir dari keluarga biasa-biasa saja. Bapak-Ibu memboyongnya ke Jakarta saat usianya lima SD, menghindari sitausi konflik berdarah antar suku-dan-agama, sekaligus mengharapkan situasi kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi kecelakaan kereta api Bintaro di pertengahan Mei 1972 merenggut Markus Huben dan istrinya itu, meninggalkan Romintus dewasa pada pendampingan nenek angkat, seorang Betawi, yang lalu menyaksikan laki-laki ini melewati pasang-surut kehidupan ibu kota. Romintus selalu mandiri, termasuk saat mendapatkan pekerjaan tak tentu sebagai juru ketik lepas di Kantor Hubungan Masyarakat Kota Jakarta Selatan. Kemudian perlakuan rasial dari sesama rekan kerja dan juga atasannya, memaksa Romintus keluar dan memendam amarah pada sistem birokrasi yang tidak menghargai hak asasi manusia. Titik itu jadi awal mula kebenciannya pada cara kerja pemerintah. Dia aktivis sepuh yang orasi-orasinya selalu ditunggu.

Amarahnya sempat diredam saat ia menemukan seorang perempuan keturunan Jawa-Perancis, terduduk di bawah pohon beringin Institut Kesenian Jakarta. Lewat beberapa obrolan singkat tentang Tan Malaka, Doraemon, Rencana Transmigrasi orang-orang Jawa ke Papua dan Maluku, dan beberapa cerita lain seperti sejarah yang misterius tentang pengeboman dan upaya pembunuhan terhadap Sukarno di Cikini pada November 1957, Romintus memutuskan bahwa dirinya dan Reini Bessaan saling jatuh cinta. Meski hubungan mereka “tak manis-manis amat” dan lebih banyak berdiskusi bahasan berat-berat dan cenderung idealis, Romintus menyadari betapa Reini mengikuti jalan pikirannya dengan khas kelembutan Jawa yang memikat dipadu idealisme perempuan dua puluh tujuh berpandangan terbuka khas kalangan terdidik Eropa. Mereka menikah tujuh hari setelah Peringatan Kemerdekaan ketigapuluh tujuh.

Reini sedang berusaha menjemput suaminya demi perayaan ulang tahun anak kedua mereka, Agustus 1997, saat kerumunan membelokkan alur kendaraannya berkali-kali. Barikade polisi mulai diperketat dan kawasan Senayan sudah dilapisi penjagaan razia. Para pegawai negeri sipil diberi doktrin ancaman untuk memberikan setiap informasi yang mungkin berguna bagi intelijen dan tentara. Reini bisa terlolos dari intimidasi hanya karena ia bekerja pada sebuah perusahaan Tambang asal Amerika yang kantor operasinya sudah ditutup sementara “demi stabilitas operasional”. Reini memutar mobil Corolla merah tuanya memutari Monas kemudian keluar di jalan tol dalam kota yang ujungnya ia terka mengarah ke Cengkareng. Beberapa kali ia berhenti di telepon umum dan mencoba mengontak kantong-kantong aktivis tempat suaminya mungkin berada, tapi nihil. Arus pergerakan massa sudah bergulir dari Jakarta Selatan dengan ratusan Kopaja, langsung menuju Kalibata dan menyasar pusat kota. Sementara aksi jalan kaki sudah memenuhi ruas-ruas jalan sekitar Stasiun Gambir mengarah ke barat. Reini beberapa kali keluar dari jalan untuk menghindari konstentrasi massa, sampai akhirnya menemui seorang aktivis yang ia kenal sebagai karib suaminya. Ia tanyakan “Romintus Huben, di mana dia?”

Kemudian begitu saja, yang ditanya hanya berkomat-kamit “Merdeka! Pergi dari sini!”

Tak berapa detik kemudian terdengar rentetang senjata berlaras besar, dan asap berseliweran di udara. Ratusan orang lari mendekat dari arah depan mobilnya, Reini menyalakan mesin dan mencoba mundur. Akan tetapi dari arah belakang pun sudah penuh dengan massa yang bermaksud berlari maju melawan barikade polisi yang dilengkapi senjata-senjata gas air mata. Tak punya banyak pilihan, Reini menginjak gas. Ban belakang sedan merah tua itu mederit di atas aspal kemudian lolos ke sisi kanan kerumunan, keluar melewati jalan kecil.

Bersama beberapa pengendara lain yang panik, Reini mendengar lagi beberapa kali letusan laras senjata asap --dan mungkin api, dia tidak bisa menebak yang mana. Teriakan-teriakan anti pemerintah bergema di hampir semua kawasan itu. Maka kemudian tanpa berpikir panjang lagi ia lantas mencari telepon umum, menelepon seorang birokrat pemerintah yang juga ayahnya, meminta petunjuk soal suaminya, dan malah diminta mundur “pulang ke rumah.”

Dua belas jam kemudian, berita-berita di TVRI mulai menampilkan nama-nama korban dari apa yang mereka sebut “Serangan Pagi yang Berdarah”. Dua puluh tuju aktivis anti-pemerintah dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dan tiga di antara mereka meninggal dunia “terkena peluru nyasar”. Di situ, Reini bersimpuh menangis sejadi-jadinya. Nama suaminya tertera paling bawah.

Pemerintah mengklaim serangan itu sebagai “kejadian yang tak diinginkan” dan para pelakunya (yang nama-namanya tidak pernah dipublikasikan) konon dijatuhi hukuman belasan tahun penjara. Salah seorang dari tiga korban adalah mahasiswi keturunan Tionghoa yang foto jasadnya tergeletak di jalan yang diambil seorang jurnalis Kompas kemudian dijadikan bukti penting kekerasan pemerintah, bukti yang terus-terus disanggah sebagai bentuk kesengajaan. Aksi penembakan membakar amarah demonstran berminggu-minggu berikutnya. Bulan Oktober, para demonstran menduduki Senayan, dan pada sore harinya Presiden Suharto mengundurkan diri.

“Suami saya dibunuh.”

Reini Bessaan berupaya mengendalikan dirinya setelah diminta duduk di kursi kayu tempat para pelajar biasanya duduk berjam-jam. Sementara demi memberikan ketenangan bagi perempuan yang terguncang dan menyimpan kekesalan itu, staf penjaga Handoyo menurunkan tumpukan kliping dari bulan Juli, Agustus, hingga Desember 1997. Ia buka dan baca halaman per halaman, lembar per lembar, selama hampir dua jam. Ia bahkan meminta bantuan dua staf lain yang ikut menunjukkan empati pada Reini.

“Lagian, siapa yang memberitahu ibu. Bisa saja ia cuma menghibur, atau dia sendiri tidak tahu pasti adakah berita itu atau tidak. Mungkin saja ini urusan pribadi, Bu.”

“Mungkin Ibu punya utang atau… ada orang yang tidak suka…?”

Staf dari dua staf muda pembantu itu kemudian diam meminta maaf karena sadar kalimatnya telah menyinggung hati Reini yang menatapnya tajam.

“Maaf, Bu Reini,” taf Handoyo kemudian mengambil jalan tengah. “Kalau ada berita tentang sembilan-tujuh, pastilah heboh Bu. Percuma saja kita cari-cari sebuah nama di tumpukan koran berita bertahun-tahun yang lalu. Ibu Reini pulang saja, sementara kami berjanji akan menemukan kliping berita yang Bu Reini cari.”

Reini berdiri dari kursinya, tertatih-tatih lemas mengangkat tasnya, memasukkan dompet kecilnya, kemudian berjalan keluar perpustakaan. Oleh satpam di pintu ia kemudian disodori payungnya, yang ia kembangkan meski tidak hujan. Sesaat di atas aspal tengah jalan Malioboro, ia terperanjat menyadari seseorang yang berpapasan melewatinya. Itu adalah Bakhtiar Munsyi, laki-laki paruh baya yang Minggu kemarin menemuinya.

“Lho, Bu Bessaan… Anda benar-benar mencari artikel semacam itu? Ha-ha-ha-ha…”

-------------------------------

Ilustrasi: Bagian fasad depan Jogja Library Center di Jalan Malioboro, Yogyakarta (foto oleh Ukhti Fitria Dewi/Flickr)

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun