[caption id="attachment_318297" align="aligncenter" width="580" caption="Plang petunjuk wisata di satu situs wisata penting Yogyakarta (dok.pri.)"][/caption]
Pemandangan yang menggelikan di kota Yogyakarta bisa Anda dapati jika berdiri atau duduk sejenak di pinggir sepanjang jalan Malioboro. Ketika sudah lelah menikmati pemandangan bisnis lokal dan internasional, atau sudah akrab dengan keramahan pedagang yang santer disebut sebagai indikator keberhasilan kota pariwisata itu, coba yang satu ini.
Di pagi dan sore hari akan mudah sekali melihat wisatawan asing menyeberang jalan di sana. Jikalau jeli, Anda akan melihat betapa para “bule” itu kesulitan menyeberang jalan, bahkan di atas zebra cross. Mereka bahkan sampai harus mengangkat tangan tinggi-tinggi, menunggu orang lain menyeberang baru ikut pelan-pelan, atau bahkan maju-mundur sekian lama karena pengendara tidak mau mengalah. Di pedestrian sekitar pusat perbelanjaan, wisatawan suka membawa kereta dorong berisi bayi mereka. Sayangnya, di situ juga asap rokok mengepul pekat lewat pedagang, tukang becak, bahkan pengamen.
Atau, ambil posisi sekitar Kawasan Nol Kilometer dan menghadap ke timur (arah Benteng Vredeburg). Kalau pernah melihat dua-tiga pesepeda, perhatikan bagaimana susahnya mereka terhimpit di antara jejalan sepeda motor yang merebut jatah mereka di ruang tunggu khusus sepeda. Di latar agak jauh, terutama pagi sebelum jam kantor atau petang jelang malam, dan pas beruntung, Anda bisa menjumpai orang-orang lokal (entah Wong Jogja atau bukan) berdiri menghadap tembok pagar monumen Serangan Umum 1 Maret kemudian kencing! Cuek saja, di depan lalu-lalang orang.
Masalah ketidakdisiplinan ini jadi tantangan pertama kita menjaga pariwisata.
Pemerintah kota Yogyakarta lewat suku Dinas Pariwisata sebetulnya sudah berulang kali mengeluarkan aturan berupa peraturan wali kota (perwal) hingga Pemerintah Daerah mengeluarkan perda untuk menjaga kawasan wisata penting sekitar Malioboro. Tetapi tetap saja, pengawasannya terjadwal, setiap berapa hari sekali. Selebihnya, celah-celah hari ini “dimanfaatkan” para pedagang liar, pengendara yang parkir seenak udelnya, petugas parkir liar yang marah saat diingatkan soal tarif mereka yang seenaknya, dan gelandangan yang melakukan vandalisme. Pemerintah terkesan lebih responsif ketimbang antisipatif.
Saya memaklumi susahnya menjaga Jogja sebagai kota pariwisata. Posisinya yang masih di bawah Bali sebagai kota utama tujuan wisatawan mancanegara bisa dipahami, berarti Yogyakarta sangat bergantung pada arus wisatawan yang kemungkinan besar sudah lewat Bali terlebih dahulu. Meski demikian, ada banyak hal sederhana tapi mendasar yang penting untuk dua kota ini, dan pemerintah sepertinya belum serius memerhatikannya.
Gambar yang jadi ilustrasi tulisan ini saya ambil sekitar April 2013, di satu tempat wisata heritage penting di selatan Keraton Yogyakarta. Sewaktu melihat tulisan di penanda antrean tiket masuk tersebut, teman saya yang asli Jakarta menyeletuk, “Ih Fan… tulisannya salah,” tertawa cekikikan di belakang pundak saya. Plang petunjuk itu menuliskan TIKET SALLES, yang seharusnya ‘sales’ atau cukup ditulis TICKETS saja.
Setelah itu kami berdebat kecil bagaimana baiknya, sampai akhirnya disampaikan jugalah “keluhan wisatawan” perihal plang itu kepada petugas.
Seorang paruh baya, berseragam batik yang kancing atasnya terbuka menampangkan dadanya yang legam, bernaung di bawah gerbang dengan rokok kretek mengepul di sela jarinya, menjawab kami begini, “Ya wisatawan sudah ngerti, Mas, kalau di sini loket tiket.” Sementara merasa jadi pusat perhatian lantaran muka petugas perempuan berjilbab di dalam rumah loket mulai tidak mengenakkan, saya gugup juga. Barulah ketika kami melempar senyum heran --teman saya bahkan sudah berlalu pergi waktu itu--, petugas tadi seperti gelagapan dan cepat-cepat meralat, “Ya nanti diperbaiki.”
Desember lalu saya ke tempat wisata itu lagi, dan plang yang sama itu masih berdiri di tempatnya. Ihwal komunikasi pariwisata ini jadi tantangan kedua pariwisata kita.
Dalam seminar dan Pra-peluncuran The ASEAN Economic Community: A Work in Progress di Jakarta 18 Maret lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu mengatakan, kemajuan sektor Pariwisata Indonesia semakin baik jelang Pasar Bebas dan Masyarakat Ekonomi ASEAN dan 2015. Mari di hadapan pemerintah, duta negara tetangga dan para pelaku industri pariwisata memaparkan, sektor pariwisata kita berada di urutan keempat di Asia Tenggara, sekaligus memperbaiki posisi globalnya menjadi urutan ke-70 dari 140 negara (hingga 2010 lalu masih di 74). Hingga 2013 sektor ini menyumbang 17 persen dari total ekspor barang dan jasa dan merangsek naik ke urutan keempat penyumbang devisa terbesar, di bawah migas, jasa tenaga kerja, dan tekstil.
Tantangan sektor barang dan jasa pariwisata
Selain barang, penyiapan sumberdaya jasa pariwisata ternyata jadi prioritas Mari juga. Tercatat hingga 2010 sektor industri jasa yang terkait pariwisata (hotel dan restoran) menyerap 8% dari total 49,18 juta pekerja sektor jasa (sumber). Ini termasuk pengembangan potensi SDM beberapa kota besar sebagai tuan rumah beragam perhelatan MICE (meeting, incentives, convention, and exhibition). Kita tentu tidak mau dipermalukan orang kita sendiri di depan orang Perancis dan Jepang. Sebanyak 58.627 pekerja sektor pariwisata telah dibiayai lewat program sertifikasi keterampilan, termasuk ribuan lain yang disiapkan lewat program-program swadana nonpemerintah. Apakah program kesiapan keterampilan ini juga mencakup etika komunikasi atau larangan merokok selama melayani wisatawan?
Dengan nada tidak begitu tinggi, Mari Elka berujar, “Bisa dikatakan, pariwisata termasuk sektor yang relatifsiap…” Kata relatif seperti ditekankan di sana, sebelum coba dipertegas dengan “… bahkan dari aspek SDM.” (Republika Online, 19/3)
Dari sudut pandang barang, optimisme Mari Elka Pangestu mungkin bernada optimistis karena tugasnyalah berdiri di haluan pendorong banyak industri UMKM kreatif yang sedang digembor-gemborkan itu. Tidak bisa dipungkiri, sektor industri kreatif Indonesia akan memasuki gerbang pasar terbuka yang mengalirkan lebih banyak barang, jasa, bahkan dengan persaingannya yang semakin kompleks. Industri-industri andalan didanai sebagai prioritas, sementara industri-industri “veteran” seperti kerajinan kulit di Bantul dan perak di Kotagede mungkin harus menunggu lebih lama dalam arus pasar tua yang mulai jenuh.
Cobalah jalan-jalan ke daerah Kasongan dan Bantul. Satu dekade lalu, kawasan ini ramai, bentuk supremasi industri gerabah Indonesia yang diburu banyak negara. Sekarang sebagian bengkel kerja tutup dengan berbagai alasan (modal, persaingan, godaan sumber penghasilan baru). Di pinggiran bahkan tanah-tanah dijual untuk dibanguni ruko-ruko ritel.
Pasar konsumen Indonesia yang dijuluki “Yang Paling Percaya Diri di Dunia” ternyata belum banyak membantu keseimbangan pada pasar barang dan jasa pariwisata. Meningkatnya kalangan ekononomi tengah (mid income) yang oleh Nielsen Global Survey of Consumer Confidence and Spending Intentiondijuluki “pahlawan” dengan tingkat optimisme konsumen lagi-lagi mengalahkan Jepang dan Amerika Serikat, bahkan di saat ekonomi cenderung resesi. Lantas, mengapa orang-orang Indonesia kelas ini lebih memilih Singapura ketimbang ke Raja Ampat?
Godaan untuk melancong ke luar negeri
Mungkin jawaban Mari Elka bahwa “Kemudahan akses masih jadi tantangan pariwisata lokal kita.” Masuk akal, karena seorang wisatawan butuh sekira Rp 8 juta untuk ke Raja Ampat di Nabire, sementara hanya butuh setengahnya untuk terbang dan menyewa hotel kelas murah di pinggiran Orchad Road. Rasanya Mari Elka merasa belum didukung sektor privat dalam negeri, karena bahkan merek-merek industri besar di Tanah Air lebih memilih Thailand, Hongkong dan Singapura sebagai hadiah perjalanan bagi karyawan dan konsumennya.
Yogyakarta dan Bali yang menumpukan industri wisatanya pada warisan budaya masih bisa bernapas lebih panjang. Di alun-alun selatan mudah sekali menemukan wisatawan Kaukasia atau Jepang yang bermain layang-layang yang mereka beli seharga Rp 10.000 dari pedagang asongan yang bahkan tak lancar berbahasa Indonesia. Yogyakarta masih punya daya tarik sejarah, budaya, dan spiritualitas yang di mata wisatawan mancanegara dianggap sebagai “eksotisme”. Bagaimana dengan kota-kota lain yang budayanya tidak begitu kuat?
Di dalam negeri, banyak kota yang belum tergali potensi pariwisatanya, kalah cepat dengan minat sarat gengsi kalangan menengah yang semakin rajin ke luar negeri. Di saat banyak daerah wisata baru terseok-seok, wisata ternama seperti Bromo dan Borobudur masih berkutat dengan regulasi “Asing vs. Lokal” yang malah menjerat wisatawan mancanegara dengan tarif bea masuk selangit (Baca ulasan Marlistya Citraningrum soal ini).
Pariwisata Bahari yang Kalah
Sewaktu dapat kesempatan melancong ke Phuket, Thailand beberapa waktu lalu, ada satu hal yang menggugah saya soal “Kenapa kok pariwisata laut kita yang begitu kaya sebagai negara kepulauan, justru kalah?”. Phuket itu hanya seujung kuku indahnya ketimbang laut Wakatobi di Sulawesi Tenggara, demikian kata bang Yusran Darmawan. Satu saja pemandangan yang memberitahu saya. Dalam perjalanan dari kota Phuket ke Kepulauan Phi Phi di sebelah timur, rombongan wisatawan kami diantar dengan Kapal cruise ukuran medium. Pengaturannya rapi, tanda-tanda lengkap dengan simbol-simbolnya mudah dimengerti, dan interiornya kelas dunia meski relatif murah. Saya terbayang, “Andai perjalanan ke Raja Ampat difasilitasi sebagus ini.” atau "Anda dermaga-dermaga kita diperbaiki dengan fasilitas kebersihannya yang memadai."
Di Yogyakarta, ada sedikitnya 15 titik wisata pantai. Tapi mana-mana saja yang sampai ke telinga wisatawan domestik? Parangtritis? Pantai Depok? Ada berapa wisata candi selain Prambanan dan Borobudur? Apakah Ratu Boko perlu akses jalan lebih lebar menuju puncak bukitnya? Masalah sampah, penataan ruang yang belum memadai, akses toilet yang belum cukup, bahkan ada yang masih terkendala instalasi listrik.
Apakah pemerintah perlu "meninggalkan sejenak" objek-objek wisata yang sudah maju di Pulau Jawa dan mulai fokus menggarap Raja Ampat, Wakatobi, dan Alor? Ataukah, bagaimana masyarakat lokal di daerah wisata bakal bersaing dengan pendatang asing bermodal besar yang siap mencaplok pulau-pulau untuk resor pribadi? Atau siapkah kita membangun hotel di desa-desa yang tenaga pekerjanya nanti harus membenturkan kepentingan lokal dengan aliran sumber daya asing? Pasar bebas bukanlah isu ringan yang bikin posisi Indonesia mudah. Mungkin juga Mari Elka belum berani menyatakan pariwisata Indonesia segera kalahkan Thailand dan Singapura.
Untuk itu saya dukung opini wakil ketua Indonesia National Shipowners' Association (INSA) Asmari Herry yang beberapa waktu lalu mengatakan tidak setuju dengan rencana pemerintah membangun Jembatan Selat Sunda. Ketimbang menghabiskan 200 triliun untuk membangun satu jembatan penghubung Jawa-Sumatra, lebih bijak uangnya dipakai untuk benahi 140-an pelabuhan yang tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan hanya dengan 100 triliun pemerintah bisa menambah kapasitas bongkar-muat Tanjung Priok, sisanya untuk perbaiki Jalur Pantura. Pelabuhan-pelabuhan dibuka, arus barang-jasa dan sektor pariwisata akan ikut terdongkrak.
Ada banyak tantangan pariwisata yang bahkan belum terpetakan dalam program sebesar AFTA atau MEA. Banyak masalah “remeh temeh tapi membingungkan” seperti buklet-buklet kadaluarsa, dan tulisan-tulisanpeta di toko-toko batik yang mencantumkan MOUNTH (bukannya MOUNT) Merapi. Jadi, jika harus mengatakan apakah industri pariwisata kita sudah siap atau belum menghadapi era Pasar Bebas ASEAN 2015, saya masih bisa seperti Bu Menteri tadi, “ya relatif”.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H