[caption id="attachment_320297" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi #selfie dan masa depan muda Indonesia. (diolah dari berbagai sumber)"][/caption]
Sejak ‘selfie’ dinobatkan oleh Kamus Besar Oxford sebagai ‘word of the year’ 2013, kegilaan pada aksi pribadi yang melibatkan teknologi kamera ponsel ini semakin menarik untuk diamati.
Bukan hal yang mengejutkan ketika di Ajang Penghargaan Oscars Februari lalu sang pembawa acara Ellen DeGenerees yang “memaksa” aktor-aktris sekelas Bradley Cooper, Brad Pitt, dan Meryl Streep untuk berfoto ria di bangku tamu berhasil memuncaki jumlah retweet sejagad, yang semula dihasilkan oleh foto-foto Presiden A.S. Barack Obama. Per 3 Maret saja, foto yang dijuluki “Oscars Selfies” dan “Best Selfie Ever” ini meraup 3,4 juta retweets dan 2,1 juta favourites.
Gaung selfie rupa-rupanya jadi tren juga di Indonesia. Bukan cuma karena pasar teknologi dan tren konsumtif orang muda di Indonesia diakui Nielsen sebagai “yang paling optimis di dunia”, tapi karena presidennya sudah ikut-ikutan Obama dan David Cameron: mengakui selfie sebagai aksi santai antar-pejabat di tengah diskusi politik yang menjemukan. Tapi, apakah benar selfie tidak lagi dikuasai oleh tren remaja dan orang dewasa awal? Kemudian pertanyaan pentingnya adalah, Apakah generasi selfie bisa diandalkan?
Studi dari Pew Research Center yang mengulas tren dan demografi sosial dirilis 7 Maret lalu mengungkap fakta bahwa rata-rata, Generasi Milenial (diklasifikasikan sebagai yang lahir setelah 1980, kira-kira berusia 18 sampai 34) menjadi duta penting kebiasaan selfie. Sedihnya, generasi ini juga mewakili apa yang disebut sebagai “kelompok abai yang terlalu percaya diri”.
Generasi Milenial yang menyusul rentang hidup Generasi X (1965-1980) disebut-sebut memiliki karakter yang “susah hidup” tanpa ponsel dan media sosial, suka menumpuk utang dan tidak punya visi soal pekerjaan, semakin individualis, toleran terkait agama, tidak begitu tertarik politik, dan terlalu percaya diri tentang masa depannya. Klasifikasi karakter ini kemudian mengerucut pada pengertian di paragraf sebelumnya, bahwa generasi setelah 1980 ini semakin egosentris tetapi selalu optimistis.
[caption id="attachment_320298" align="alignnone" width="642" caption="Grafik menunjukkan tren selfie dari generasi ke generasi. Tampak Generasi Milenial memenangkan segalanya. (Gambar dari Pew Research Center/pewsocialtrends.org)"]
Kebiasaan selfie lantas dihubung-hubungkan dengan kelompok karakter Generasi Milienial. Rasa percaya diri yang tinggi dan tingkat kepercayaan pada lingkungan sekitar yang tidak kunjung membaik secara emosional membentuk perangai orang muda yang berpikir bahwa mereka bisa melakukan segalanya dan tidak selalu membutuhkan pada orang lain (selfie: mengambil foto diri tanpa bantuan orang lain, atau alat).
Ini berbanding lurus dengan makin dekatnya generasi Milenial dengan media ekspose diri semacam Twitter dan Facebook. Riset Pew menemukan bahwa rata-rata orang muda Generasi Milenial usia 18-34 tahun memiliki 250 teman di Facebook, lebih banyak dari generasi sebelum mereka seperti Generasi X (rata-rata 200), Baby Boomers dan generasi sebelumnya rata-rata hanya punya 50 "teman". Dengan asumsi angka-angka ini mewakili profil-profil aktif yang menayangkan 'post' tiap hari, kalangan muda di Indonesia bisa saja angkanya lebih tinggi.
Dengan kecenderungan karakter sedemikian, mengapa generasi selfie masih layak diandalkan untuk menggantikan SBY, Sri Mulyani dan para pekerja negara yang kini memasuki usia senja?
Nyatanya, statistik yang dikelola di Amerika dan mencerminkan perilaku generasi muda selfie secara global tidak serta-merta menghakimi bahwa semua orang muda tidak bisa diandalkan terkait urusan politik dan sosial.
Saya mencari ceruk hipotesis ini dengan bertanya kepada beberapa orang muda, (yang kelompok usianya sama dengan saya), dan mencari tahu seperti apa kebiasaan selfie memengaruhi hidup mereka, dan apakah mereka optimistis terhadap masa depan Indonesia. Untuk mengerucutkan penilaian, saya bertanya terkait tiga aspek penting: pekerjaan, pertemanan, kecenderungan politik. Agar jawabannya berimbang, saya memilih 2 pengguna Twitter yang terdaftar sebagai anggota partai politik dan 2 pengguna sosial “biasa”.
Didik (29) memberi saya dua foto selfie dirinya bersama Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Begitu mudah tampaknya, karena Didik juga terdaftar sebagai kader aktif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berkonsetrasi di wilayah Jawa Timur (foto profil Twitternya berlatar pesawat Boeing dengan slogan PDIP “Indonesia Hebat” di bagian bodi). Didik pernah aktif di berbagai organisasi kepemudaan termasuk di UNAIR dan UI, juga merupakan komisioner Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur hingga keluar pada 2008.
Terkait kegemaran selfie Didik menjawab, “Biasa saja, Mas. Merasa beruntung saja kalau bisa selfie bareng tokoh-tokoh penting seperti Jokowi, tambah pengalaman dan koneksi.” Didik lalu menawarkan saya untuk memilih foto kedua, karena hanya ada dia dan Jokowi yang menatap kamera di foto itu. Nada optimis keluar dari kata-katanya yang menyatakan bahwa ia yakin banyak orang muda Jawa Timur yang bisa jadi politikus berkarisma dan dirindukan seperti Joko Widodo.
Narasumber kedua saya adalah Lathifa (22), seorang calon anggota DPR-RI dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem), daerah pemilihan Jakarta Pusat, Selatan, dan luar negeri. Lathifa, yang menawarkan wawancara via surat elektronik 8 April lalu bahkan menjawab lebih banyak soal selfie. Dalam kesimpulan ia juga menegaskan “tidak ada kaitan langsung kebiasaan selfie dengan karir politiknya.” Meskipun, ia menyatakan siap jika partai tempatnya bekerja memintanya menghentikan kebiasaan selfie, jika itu bisa merusak citra partai.
Bahkan, lebih jauh lagi, Lathifa berani menyatakan bahwa kebiasaan selfie tidak memengaruhi pola komunikasi seseorang di lingkungan sosialnya, meskipun ia tak menampik selfie sebagai sebuah medium komunikasi yang baru dan unik.
Dalam beberapa fotonya Lathifa terlibat selfie dengan teman-teman yang mendukungnya nyaleg, beberapa senior di partai, bahkan beberapa kenalan barunya di belakang kamera studio Metro TV. “Selfie menunjukkan kepercayaan diri seseorang dalam mengabadikan sesuatu hal yang tidak biasa, tapi mampu dilakukannya,” Lathifa menulis, dengan menambahkan bahwa ia menikmati adrenalinnya sendiri ketika harus mengajak orang lain (atau orang-orang penting) untuk mengambil foto selfie bersama dirinya.
“Saya pasti senang kalau foto-foto selfie saya dianggap sebagai medium komunikasi yang efektif. Orang bisa melihat foto-foto saya (dalam jaket partai) yang tidak dimaksudkan kampanye, tapi mungkin orang-orang menyukainya.”
Selfie nampaknya belum dianggap sesuatu masalah atau isu yang serius, apalagi terkait masa depan orang muda di kancah politik Indonesia. Dua orang politik yang saya wawancarai sama-sama optimis bahwa politik Indonesia akan mengarah ke hasil yang lebih baik, meski jawaban-jawaban Lathifa sendiri di Mata Najwa “Pilihlah Aku” beberapa waktu yang lalu nampak masih sangat normatif dan sangat rentan didebat.
Bagaimana dengan orang muda nonpolitik? Zeny (21) dan Akbar (25) adalah dua orang muda yang saya wawancarai singkat via Twitter, mengungkapkan preferensi mereka tentang selfie, dan optimisme mereka terkait pekerjaan.
Zeny adalah mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta, melihat selfie sebagai ungkapan hobi dan tantangan, tidak melulu terkait hal-hal serius, apalagi ekonomi. Saat saya kira ia sedang bekerja atau melakukan survey keuangan, ia mengetik “ha-ha-ha” dan menjelaskan bahwa foto selfie-nya (yang saya tunjuk) diambil di depan sebuah loket money changer di kawasan Ambarrukmo. Zeny mengakui bahwa dirinya tertarik selfie karena menganggap ponsel Android selangkah lebih maju ketimbang Blackberry.
Akbar punya pendapat lain. Karyawan freelance pada sebuah studio fotografi ini mengungkapkan bahwa pada dasarnya selfie bisa bermanfaat bagi prospek kerja seseorang. Ia lalu menceritakan kisah sukses seorang rekannya, perempuan, yang akhirnya dipilih model hanya karena agen tertarik dengan kemampuannya mengelola foto selfie dengan fitur filter di Instagram. “Prospek pekerjaan bisa dicari lewat social media, tapi ya mesti hati-hati juga.” Saat wawancara dilaksanakan Akbar mengaku kondisi finansialnya baik dan tidak sedang dililit utang.
Lathifa, Didik, Zeny, dan Akbar mungkin sangat kecil dibandingkan presentasi parameter yang diperlukan untuk menyimpulkan bahwa generasi muda Indonesia masih punya harapan masa depan, khususnya politik, keuangan pribadi dan sosio-teknologi. Kalau saja ada hasil survei dalam negeri yang mengulas pandangan generasi muda terhadap isu-isu penting negara di masa depan, pasti akan sangat berguna bagi publik dalam mengira-ngira, apakah generasi Milenial yang hidup dengan teknologi genggam saat ini masih bisa diandalkan di masa depan. Politik, ekonomi, sosial-budaya, dan hukum butuh banyak studi yang melibatkan minat orang muda dan tantangan-tantangannya.
Hukum dan Transparansi
Agak melegakan ketika kita menengok rilis Indeks Perilaku Anti-Korupsi tahun 2013 yang berada di kisaran nilai 3,63 (naik 0,8 persen dari tahun 2012 di 3,55). Data yang mengukur tingkat antipati masyarakat kita terhadap perilaku koruptif ini menunjukkan tren positif, meski kenaikannya tidak signifikan (Catatan: nilai indeks 0–1,25 sangat permisif terhadap korupsi, 1,26–2,50 permisif, 2,51–3,75 antikorupsi, 3,76–5,00 sangat antikorupsi).
Data BPS memaparkan bahwa orang-orang di kota (3,71) masih lebih antikorupsi dibandingkan di desa (3,55). Statistik ini menunjukkan pula betapa orang-orang muda dari generasi Milenial cenderung lebih protektif terhadap perilaku korupsi dibanding orang-orang dari Generasi X dan Baby Boomers.
IPAK penduduk usia kurang dari 40 tahun sebesar 3,63, usia 40 sampai 59 tahun sebesar 3,65, dan usia 60 tahun ke atas sebesar 3,55.
-rilis BPS, 2 Januari 2014.
… dengan tambahan bahwa tingkat pendidikan sangat memengaruhi kecenderungan perilaku antikorupsi di Indonesia.
Nampaknya aksi-aksi gerakan muda yang dipelopori Komisi Antikorupsi turut berperan menggaet suara orang-orang muda tentang perilaku antikorupsi ini. Ada banyak hashtag seperti #BeraniJujurHebat di Twitter yang menunjukkan betapa orang muda Indonesia sangat aktif mengampanyekan program-program pemerintah yang dianggap inovatif, “gaul” dan tidak kaku. Output-nya pun tersebar dengan gaya komunitas yang menyenangkan, menarik perhatian.
Transparansi juga lebih baik sejak situs web dan Twitter memudahkan publik mengakses semua tentang berita dan program KPK, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, atau rilis-rilis program pemerintah di berbagai lembaga. Menarik juga mengomentari celetukan humor komisioner KPU di sela-sela pemilihan legislatif lalu dengan mengatakan, “Boleh selfie di TPS, tapi dilarang pakai ponsel di bilik suara.”
Pada akhirnya, ada kemungkinan di masa depan selfie jadi tren kolektif yang menyatukan karakter Generasi Milenial yang lucu dengan program-program pembangunan yang serius. Meski studi lebih lanjut akan sangat membantu melihat keterkaitan perubahan perilaku generasi pasca-1980 ini dan teknologi yang melingkupi keseharian mereka, tentu tidak berlebihan jika orang-orang tua berharap banyak pada generasi ini, yang tetap optimis meski lebih bingung dan cenderung egois.
Bahkan PBB dan NASA sudah terang-terangan mengangkat #GlobalSelfie untuk mengampanyekan peran generasi muda di seluruh dunia melestarikan bumi. Kompas TV pun menerbitkan gelaran #selfiepemilu dan peminatnya cukup banyak. Indonesia juga pasti bisa memercayai masa depan bangsanya pada generasi yang melihat smartphone sebagai wujud kecerdasan baru, sekaligus alat pembentuk kekuatan sosial.
------------------------
Referensi:
1.Social and Demographic Trends, Pew Research Center, “Millenials in Adulthood”, 7 Maret 2014.
2.NYDailyNews.com “Have More Faith on Generation Selfie”, 20 November 2013.
3.BBC News, “Why the selfie generation find jobs?”, Hannah Shieff, 7 April 2014.
4.Indeks Perilaku Antikorupsi 2013, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Lengkapnya di sini.
5.Kompas.com, “KPU: Selfie di TPS Boleh, Pakai Ponsel di Bilik Dilarang”, 8 April 2013.
*Terima kasih khusus untuk Lathifa Al Anshori, Didik Prasetiyono, Zeny Habibie, dan Akbar Setiawan. Foto-foto di dalam ulasan ini dipakai atas izin pemiliknya, dan atau telah dimuat di domain publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H