[caption id="" align="alignnone" width="610" caption="Ilustrasi industri televisi. (Priyombodo/Kompas.com)"][/caption]
Mungkin Anda akan terkejut mengetahui bahwa pendapatan media televisi yang berasal dari tayangan iklan-iklan politik tahun ini ternyata “tidak se-wah itu”.
Laman analis media dan teknologi IndoTelko mencatat, rata-rata stasiun televisi yang “disuapi” iklan kampanye oleh partai dan atau tokoh politik tertentu hanya meraup tambahan omzet sebesar 3-4% saja, jauh dari perkiraan pemirsa awam yang mengira televisi sudah memanen emas dari helatan pemilihan umum.
Setidaknya, pasca-pemilihan legislatif 9 April hampir semua stasiun televisi menyampaikan keluhan sama bahwa iklan politik tidak menambah pundi-pundi keuntungan mereka. Visi Media Asia Tbk. (Viva yang melingkupi TV One dan ANTV), catat IndoTelko, hanya meraup 3% tambahan pendapatan dari iklan kampanye politik, meski dua stasiun televisi ini dimiliki oleh politisi yang juga calon presiden Partai Golkar Aburizal Bakrie.
Partai Golkar memasang iklan sampai 45 spot di tiga media itu, dengan pembagian 14 spot di TvOne, 15 spot di ANTV, dan 16 spot sisanya di Indosiar.
Grup Media Nusantara Citra lewat Direktur Keuangannya Jarod Suwahjo mengakui pendapatan iklan dari tayangan kampanye politik hanya mentok di kisaran 4%, meski pendapatan iklan keseluruhan di kuartal I 2014 mencapai 19%.
Dari semua stasiun lingkup MNC, adalah RCTI yang paling “kenyang” dengan jatah tenggak 9 iklan politik, sementara MNCTV dan GlobalTV berbagi tiap-tiapnya 4 iklan. Jatah iklan dengan durasi tayang yang meluap-luap ini nyatanya tidak membawa suara pemilu legislatif yang cukup baik pemiliknya, taipan Hary Tanoesoedibjo, mantan politisi Nasdem yang hampir pasti lengser dari posisi cawapres Partai Hati Nurani Rakyat.
Di MetroTV, spot iklan Partai Nasdem milik presiden direkturnya Surya Paloh hanya 12, bahkan lebih rendah dari Trans TV yang memasang iklan Partai Gerindra sebanyak 14 spot. Dari semua jumlah titik iklan ini, tidak ada yang memenuhi peraturan Komisi Penyiaran Indonesia yang membolehkan maksimal hanya 10 spot iklan politik setiap harinya.
SCTV dan Indosiar nasibnya mengenaskan, karena harus rela iklan-iklan politik lari ke televisi-televisi yang dimiliki tiap-tiap tokoh. Bahkan hadirnya aroma anchor akrab politik seperti Tina Talisa dan Rosiana Silalahi tidak membuat SCTV dan Indosiar lebih wangi bagi para pemasang iklan politik.
Pada pemilu 2009 lalu, sewaktu SCTV masih bernama Surya Citra Media, pendapatan iklannya di masa kampanye politik bisa meningkat sampai 30%, dan naik lagi sampai 95% atau sekira 712 miliar rupiah di kuartal kedua. Mereka bersaing dengan pendapatan MNC yang waktu itu mencapai 1,86 triliun.
Jadi, mengapa televisi gagal jadi media kampanye politik yang jitu?
Ada beberapa faktor eksternal dan internal yang membentuk argumentasi mengapa televisi, sebagai media dengan kondisi keuangan paling likuid, tidak berhasil menarik perhatian pemirsanya. Khususnya dalam preferensi politik pasca-pileg 9 April, yang membuktikan bahwa efek televisi tak ubahnya papan reklame di jalan-jalan.
Terlalu vulgar
Dari sisi pemirsa, iklan-iklan politik ini terlalu vulgar. Ini bisa jadi temuan pertama.
Pasangan calon presiden-calon wakil presiden Wiranto-Hary Tanoesoedibjo yang membawa lambang partai Hanura gencar membuat iklan “penokohan”, kuis, bahkan program-program bernuansa sosial di tiga stasiun televisinya. Program Mewujudkan Mimpi Indonesia (yang berkali-kali ditegur KPI) sampai Kuis Kebangsaan (yang sempat dihentikan penayangannya --tapi tanpa alasan jelas ternyata tetap tayang) mungkin di mata Hanura adalah alat jitu mengenalkan tokoh politik baru seperti Hary Tanoe, tapi pemirsa bisa saja menganggapnya lain.
Di benak pemirsa, televisi adalah media hiburan. Ini diperkuat lagi dengan capaian rating-share yang memasang program-program hiburan komedi dan variety show di jajaran paling laris. Di saat masa kampanye dan tiba-tiba tayangan-tayangan hiburan ini diselingi iklan politik, kemungkinan besar penonton akan mengganti saluran. Mengapa? Karena preferensi pemirsa terhadap televisi masih berbatas pada pengertian media yang menghibur.
Ekses yang lebih parah justru membalikkan pengertian publik tersebut. Alih-alih mengira iklan-iklan atau program berbau politik ini akan membuat pikiran pemirsa lebih serius jelang pemilu, yang terjadi adalah justru tayangan-tayangan iklan politik ini dimaknai sebagai “hiburan baru”. Hanya saja lebih absurd, kalimat-kalimatnya lebih gamblang, dan menimbulkan kesan persaingan uang.
Faktor eksternal kedua adalah, partai-partai politik tidak menghitung demografi kalangan pemirsa televisi.
Kala di mata pemirsa kalangan ekonomi bawah iklan-iklan aksi sosial Hary Tanoe terdengar menghibur sekaligus utopis, di mata kalangan menengah ke atas iklan-iklan ini justru bak sinetron yang mendayu-dayu. Orang-orang miskin mengira mereka suatu hari akan ikut disamperi HT pakai becak, sementara taipan-taipan di Jabodetabek tahu persis apa dan bagaimana cerdiknya seorang miliuner memasarkan dirinya.
Partai-partai politik rupanya luput menghitung-hitung, kelompok pemirsa televisi juga dibagi berdasarkan kondisi ekonomi dan sosial, bahwa kalangan menengah Indonesia sudah mencapai 75 juta jiwa. Kalangan ini, dalam praktiknya, adalah kalangan yang melihat televisi tak lebih baik ketimbang Twitter dan Instagram, penuh rekayasa dan tidak berbobot.
Padahal, kalangan menengah yang tumbuh 5% per tahun ini jadi wilayah penting kampanye, karena mereka mencakup pemilih-pemilih pemula, dan suara-suara di luar negeri. Partai-partai politik luput memasukkan faktor-faktor “siapa kamu-siapa kami” di dalam prospek keberhasilan iklan.
Jika diingat-ingat sejenak, tidak sulit menemukan celah sosial dari beberapa tokoh politik yang gencar beriklan di televisi. Aburizal Bakrie tidak akan berhasil meraup suara kelas bawah di Jawa Timur karena tersangkut krisis Lapindo, padahal TVOne adalah stasiun televisi yang sangat akrab di mata kalangan bawah di pulau Jawa. Dibanding, katakanlah, rival mereka MetroTV yang kemasannya lebih cerdas dan eksklusif.
Prabowo dan Wiranto juga punya titik cela di kalangan menengah dan juga kalangan bawah dengan masa lalu mereka semasa berkarir di militer di bawah rezim Orde Baru. Di Twitter yang menampung suara-suara kelas menengah, tidak sulit menemukan tagar #penculikan atau #wijithukul yang menampar keras Gerindra dan beberapa politikus terasnya.
Surya Paloh beruntung bisa menggunakan MetroTV untuk memperkenalkan Partai NasDem, yang merupakan pemain baru di pemilu kali ini. Capaian suara NasDem yang berkisar hanya 5,7% bisa jadi tidak begitu penting bagi kelangsungan bisnis MetroTV, tapi ini juga jadi refleksi betapa penambahan durasi berita “berbau iklan” yang isinya pidato-pidato kampanye Surya Paloh tidak berdampak pada publik menengah ke bawah.
Kampanye NasDem lewat televisi bisa jadi lebih banyak dibantu oleh kemampuan persuasif Surya Paloh. Sungguhpun, kalimat-kalimat melankolis seperti “Kita sudah lama menderita, saudara-saudara…” atau “Itulah kenapa bangsa ini memerlukan restorasi” tetap akan dianggap sebagai retorika semata.
Sementara Hary Tanoe, hanya bisa meraup untung dari sisi publisitas, bukan menyumbang suara ke partai Hanura. Televisi jadi media membangun public awareness yang jitu, tapi tidak keputusan politik.
Ini jadi masuk akal kenapa raihan suara Hanura ada di paling bawah, berbanding terbalik dengan nilai belanja iklan televisi mereka yang menurut data Sigi Kaca Pariwara mencapai 70,50 miliar rupiah, tertinggi dari total belanja politik partai sejumlah 340 miliar.
Partai Demokrat sebagai penguasa suara jatuh karena bukti, bukan iklan. Meski Demokrat membelanjakan iklan televisi terbanyak kedua (56,8 miliar), toh citra korup tokoh-tokoh seperti Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan Andi Mallarangeng tetap jadi catatan hitam di mata kalangan pemirsa. Secara tidak langsung, berita-berita korupsi di tubuh Demokrat jadi santapan iklan negatif yang bisa ditelan mentah-mentah oleh pemirsa yang cenderung mudah menghakimi.
Faktor eksternal ketiga adalah hadirnya daya tarik baru bagi pemirsa televisi. Keputusan PDI-P yang mengusung Gubernur Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden (definitif?) rupanya lebih menarik suara pemirsa di media. Di berbagai poling citra Joko Widodo berhasil mengalahkan calon-calon “seksi” lainnya seperti Jusuf Kalla dan Mahfud Md.
PDI-P rupa-rupanya menyadari bahwa iklan politik yang paling jitu bukanlah yang sengaja dibuat dengan embel-embel visi-misi jelang pemilu, tetapi justru cakupan berita dari tokoh-tokoh mereka. Selain cakupan peliputan PDI- Joko Widodo yang ramai sejak kemenangan di DKI Jakarta, juga beberapa tanggapan elitis petinggi mereka seperti Tjahjo Kumolo dan Puan yang memang lebih sering terkesan hati-hati.
PDI-P juga dikesankan tidak mau mengganggu preferensi pribadi Joko Widodo yang sejatinya “alergi publisitas”.
Mengingat pernyataan Jokowi yang menegaskan ketidaksukaan jika wajahnya dipasang di spanduk dan baliho, PDI-P menghargai itu dengan hanya menampilkan Joko Widodo di dua iklan televisi, sehari jelang minggu tenang. Selebihnya, jargon “Indonesi Hebat” hanya menampilkan Megawati bersama Puan yang, secara kasat mata lebih baik dari iklan-iklan vulgar yang diramu partai-partai pesaing.
Dengan citra ketokohan yang relatif baik, PDIP menyerahkan dirinya dipeluk erat-erat oleh media, termasuk stasiun-stasiun televisi yang dimiliki rival mereka. Lagipula, tidak sulit bagi pemirsa untuk mengagumi sosok atau partai baru, mengingat capaian partai penguasa yang mengecewakan.
Faktor-faktor Internal
Internal media televisi juga tidak bisa diremehkan. Independensi yang ditunjukkan MetroTV sangat terasa ketika mereka mengundang hampir semua tokoh kunci partai politik dalam program Live Event 48 Jam tanggal 9 April lalu. Najwa Shihab yang akrab sebagai nyonya rumah program berpredikat baik Mata Najwa rupanya menarik bagi tokoh-tokoh partai untuk mereka hadiri.
Di acara yang diikuti hasil Quick Count itu, Najwa tampak sangat akrab melemparkan candaan dan pembahasan serius sekaligus kepada Basuki Tjahaja Purnama, Jusuf Kalla, bahkan Muhaimin Iskandar. MetroTV memang banyak dipuji atas kemampuan mereka mengemas acara dan menghadirkan diskusi berbobot, jauh dari sensasi.
Media televisi juga tetap melibatkan independensi mereka. Faktor ini, dari segi politik, tidak begitu menguntungkan. Najwa lebih sering terlibat diskusi live dengan tokoh-tokoh partai lain ketimbang dengan presiden direktur mereka Surya Paloh. Dengan standar independensi yang dinaikkan, nampak kelihatan mana-mana stasiun televisi yang getol mengampanyekan tokoh bisnis-politikus mereka, mana yang tidak.
Meski belum ada stasiun televisi yang berhasil dengan sempurna menjauhkan meja redaksi mereka dari pengaruh petinggi partai, setidaknya jendela pilihan politik pemirsa dicerdaskan dengan sajian-sajian program yang seru, adil, dan lepas dari kesan kampanye negatif.
Faktor internal kedua berhubungan dengan takdir perusahaan media yang sifatnya terbuka (Tbk.). Saat ini tidak ada stasiun televisi swasta yang sahamnya tidak dimiliki oleh publik. Dalam hukum bisnis, bentuk perusahaan terbuka memungkinkan banyak pihak untuk berlomba menanam kapital besar dan menguasai media.
Merger SCTV dengan Indosiar yang akhirnya disetujui pada Maret Lalu di bawah bendera Elang Citra Teknologi (EMTK) bisa jadi angin segar baru bagi investor media di lantai bursa per 1 Mei nanti, meski raihan share pasar pemirsa kedua stasiun televisi ini belum tentu meningkat drastis. Mau tidak mau, tidak ada optimisme lebih bagi SDM di kedua televisi ini.
Aksi korporasi tidak serta merta memengaruhi pendapatan. Buktinya bisa dilihat lewat larisanya program-program hiburan dan variety show milik Trans TV memperkaya mereka, meski beberapa waktu lalu stasiun ini didera masalah “bedol desa”. Puluhan karyawannya mengundurkan diri dan pindah ke stasiun televisi berbayar Net TV.
Stasiun-stasiun televisi masih bertumpu pada program-program hiburan, yang menyumbang pendapatan mereka lebih dari 80%. Memanfaatkan preferensi pemirsa yang jenuh dengan program-program serius, Trans TV memelopori hampir semua stasiun televisi untuk menayangkan program-program yang cenderung disukai, bukan yang dibutuhkan.
Industri program hiburan yang masif ini justru jadi sebab utama mengapa stasiun televisi tidak punya kekuatan kolektif untuk membangun minat pemirsa terhadap politik.
Metro TV dan TV One mungkin bisa bernapas lega karena pendapatan iklan mereka meningkat tajam di masa pemilu, tapi di luar waktu itu kedigdayaan rating-share tetap rela mereka serahkan ke televisi-televisi seperti RCTI, SCTV, dan TransMedia yang lebih plong menayangkan program-program ringan nan menghibur, yang jadi santapan lebih banyak di kelas bawah.
Otomatis, di mata politik pemirsa, hanya ada dua stasiun televisi pemilu. Selebihnya adalah penghibur.
Dalam sejarahnya, iklan politik ketokohan muncul pertama kali di layar kaca Indonesia pada November 1998. Waktu itu, Partai Kebangkitan Bangsa menampilkan Abrurrahman Wahid alias Gusdur dengan pose mbeling-nya dibubuhi jargon “Saya mendengar Indonesia Bernyanyi”. Iklan ini digarap oleh konsultan kehumasan Soedarto dan Noeradi, tim kreatif dari biro iklan Matari Inc. (Akhmad Danial dalam Iklan Politik Televisi: Modernisasi Kampanye Politik Pasca-Orde Baru)
Kalimat Gusdur yang terkenal waktu itu:
“Saya boleh saja dianggap tidak bisa melihat dengan baik, akan tetapi saya dapat mendengar, mendengar dengan baik Indonesia kita menyanyi. Menyanyi lagu harapan, pengabdian, dan perjuangan”.
Waktu itu, MNCTV yang masih bernama Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) jadi stasiun televisi pertama menayangkan iklan partai dan tokoh politik. Gusdur yang tampil sebagai juru bicara (mungkin setara juru kampanye di masa kini) berhasil menarik minat pemirsa pada dua lembaga sekaligus: PKB dan Nahdatul Ulama (NU).
Sekarang, peta politik di televisi kuat tapi tidak kuat. Kegamangan stasiun televisi pada periode 1997-1999 mungkin terjadi karena trauma masa lalu saat mereka baru lepas dari kekangan pembatasan di masa Suharto. Peta politik media televisi saat ini kemudian menjadi sumir, karena publik memahami independensi mereka yang getol, sekaligus memahami posisi sulit mereka menghadapi politikus yang menggerogoti area bisnis produksi.
Dengan peta kekuatan dan kelemahan seperti ini, mulai masuk akal kenapa raihan suara partai-partai penguasa media tidak lebih baik dari partai non-media. Juga mengapa televisi nampak kewalahan menjaga independensinya di depan iming-iming keuntungan dan tekanan “ewuh-pekewuh” pemilik media.
Kemudian jadi terdengar agak satire saat Joko Widodo berucap, “Kami ini tidak punya media, tapi punya relawan bergerak.” Perkataan Joko Widodo tersebut sangat bisa diterima, saat televisi tidak lagi digdaya sebagai media kampanye politik paling jitu.
------------------------
Referensi:
-
http://www.indotelko.com/kanal_indepth?it=Iklan-Kampanye-Belum-Bikin-Omzet-Media-Mewangi
-
http://m.kompasiana.com/post/read/627395/2/tpi-dan-iklan-politik.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H