Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Berharap pada Iklan Politik

30 Mei 2014   15:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:57 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="500" caption="Ilustrasi tayangan politik. (beritajatim.com)"][/caption]

Setidaknya ada tiga metode yang ditempuh oleh stasiun televisi partisan untuk “mendukung” kampanye tokoh politik tertentu. Dan di masa pemilu 2014, sepertinya ketiga cara ini mulai menjurus ke tahap yang sangat vulgar, cenderung naif, dan tidak adil. Ketiga cara tersebut ialah: meliput/memberitakan berlebihan kandidat tertentu, mengurangi porsi berita negatif terkait kandidat tertentu, dan menggunakan berita “opini” negatif terkait kandidat lawan.

Hal menarik bisa dilihat dari kalapnya TV One sejak Menteri Agama nonaktif Suryadharma Ali ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi Dana Haji oleh KPK pada 23 Mei lalu.

Sore itu berita-berita televisi pesaing seperti Metro TV dan Kompas TV mulai menelisik berita yang berawal dari pengakuan seorang pimpinan KPK Busyro Muqoddas ini. Jubir KPK diwawancarai lewat satelit; Inspektur Kemenag M. Jasin bahkan sudah lebih dulu tampil di Kompas TV menegaskan adanya “masalah manajemen” di kementerian bersangkutan.

Akan tetapi saat dua pesaingnya sibuk kasak-kusuk, TV One lewat Kabar Petang justru masih setia memberitakan sisa-sisa deklarasi dari Rumah Polonia, yang waktu itu menghadirkan musisi Ahmad Dhani, Anang, dan Ashanti.

Hari itu, dan beberapa hari setelahnya, TV One menaruh berita dugaan korupsi Kemenag di segmen belakangan pada hampir semua program beritanya. Pun ketika akhirnya mengadakan dialog pagi beberapa hari yang lalu, banyak pertanyaan yang bunyinya seakan-akan “Siapa selain Suryadharma?”

Dalam hal ini, Metro TV berada di atas angin karena merasa momen Korupsi Dana Haji adalah kesempatan empuk untuk memberitakan Koalisi Prabowo-Hatta --di mana SDA adalah bagian dari tim pemenangan. Metro TV juga percaya bahwa pendapat pengamat-pengamat politik seperti Junarto Wijaya  atau Hanta Yudha akan linear bahwa kasus SDA akan memengaruhi kemungkinan perolehan suara pasangan Gerindra. Sungguhpun, mereka tidak perlu gamblang bahwa ini adalah bentuk “serangan udara” Surya Paloh  yang di sisi lain menyokong pencapresan Jokowi-JK.

Secara tidak langsung dan mungkin kebetulan, pendukung Jokowi-JKmemanfaatkan kasus SDA sebagai iklan negatif melawan masalah yang timbul di awal-awal koalisi gemuk ala Prabowo-Hatta. Metro TV mengambil peran sebagai pemberita “bad news”, di mana koalisi PDI-P yang mengusung Jokowi-JK mungkin akan senang dengan setiap berita korupsi di kubu koalisi lawan.

Serangan kedua dalam seminggu terakhir bagi TV One adalah berita peringatan #8thLumpurLapindo yang juga ramai diperbincangkan di Twitter.

Kabar Petang 29 Mei lagi-lagi absen memberitakan bencana nasional yang mau tidak mau tetap menyeret PT. Minarak Lapindo Jaya yang merupakan perusahaan milik taipan Aburizal Bakrie, pemilik TV One sendiri. Bahkan yang lucu, pesaing mereka Metro TV dan Kompas TV sampai jahil mengungkit-ungkit beberapa fakta di masa lalu Lapindo yang begitu kritis menunjuk hidung perusahaan Bakrie tersebut. Ditampilkan pula dokumenter dan beberapa temuan valid yang menyatakan bencana lumpur Lapindo adalah kesalahan perusahaan, dan tidak seharusnya ditanggung rugi oleh negara.

TV One menyingkir. Program Kabar Siang mereka lebih memberitakan kegiatan di Rumah Polonia, simulasi penanganan anarki pemilu oleh Polri, dan liputan langsung dari titik kemacetan jalur Puncak yang sebetulnya berita “biasa-biasa” saja. Tidak ada berita peringatan tragedi lumpur, tidak ada berita korupsi Kementerian Agama. Semuanya sangat terkesan “mengamankan” dan bukannya “mengabarkan”.

Belum lagi malamnya, anchor cantikBalqis Manisang harus kelabakan saat politisi senior Golkar yang belakangan mendukung Jokowi-JK, Anwar Fuadi, menyerang lawan debatnya aktris Rachel Maryam soal visi-misi Prabowo-Hatta di Apa Kabar Indonesia Malam, satu jam sebelum tulisan ini diketik. Nampak sekali bagaimana Balqis ingin segera membungkam Anwar, akan tetapi sang aktor kekeuh dengan membalas “Jangan potong (omongan) saya.”

Sadar tidak sadar, apa yang terjadi di televisi berita kita beberapa minggu belakangan ini mulai menunjukkan intensitas perdebatan opini yang masif, terkait baik-buruknya kandidat pemilihan presiden. TV One dan Metro TV tidak bisa mengelak diri sebagai media yang dimiliki oleh tokoh politik, yang berarti, mereka digolongkan sebagai media partisan: media yang punya kaitan formal-nonformal dengan tokoh-tokoh politik.

Sadar tidak sadar, bahwa di mata pemirsa, bahkan pemberitaan mereka yang berbeda gaya dan tujuan penayangan ini adalah juga merupakan bentuk iklan politik. Ini tidak terbatas pada berita positif tentang sosok kandidat yang paling dekat dengan media yang bersangkutan, tetapi juga berita negatif yang kesannya memojokkan kandidat “beda partai”.

Adalah cukup aman bagi TV One memberitakan Prabowo-Hatta secara dominan setiap hari dan menaruh berita Jokowi-JK di porsi kecil segmen belakangan. Akan tetapi ketika mereka mengundang pengamat politik yang dalam banyak opininya malah sering mendiskreditkan Jokowi-JK alih-alih beropini sebagai pengamat yang netral, maka aksi ini termasuk Yang Tiga dalam cara televisi menonjolkan keberpihakan mereka. Pun kala mereka absen memberitakan kasus korupsi politisi tertentu yang berkaitan dengan kepentingan partai koalisi “tenda besar”, kesannya takut dan berusaha menghindar. Alih-alih mengawal fakta, nampaknya lebih mudah mengemas opini orang sebagai berita.

Situs lembaga pengamat pemilu www.electionwatch.edu.au pada 5 Mei lalu memuat artikel berjudul “Blurring the Lines: When drama TV meets raw ambitions.” Sebuah ulasan tentang vulgarnya televisi Indonesia mengampanyekan tokoh politik partai pemiliknya.

Dalam artikel yang disponsori lembaga studi Asia University of Melbourne itu, project officer Lily Yulianti Farid menggambarkan apa yang ia sebut sebagai “misuse of media power”, atau penyalahgunaan kekuatan media. RCTI milik Hary Tanoesoedibjo disasar empuk karena seringnya membuat gerah Komisi Penyiaran Indonesia atas iklan-iklan politik yang berlebihan. Entah itu dalam bentuk kuis rekayasa, selipan-selipan tokoh dalam acara-acara berating tinggi, atau reality show bersutradara.

Election Watch menyoroti bentuk kampanye televisi beberapa tokoh dan partai politik yang jelas-jelas melanggar aturan soal penggunaan frekuensi publik. “Mereka nampaknya telah menyiapkan puluhan tahun kerajaan media mereka, kemudian pada akhirnya mereka gunakan untuk mendukung ambisi politik,” tulis laman itu.

Gaya beriklan

Kalau bahkan pemberitaan adalah iklan, lain lagi dengan iklan vulgar yang diramu rumah produksi. Aburizal Bakrie sudah “menghilang” dari pertarungan iklan presidensial karena Golkar hanya bisa menumpang pada koalisi Prabowo-Hatta. Tapi itupun tidak menghentikan ambisinya memasang iklan dukungan.

Yang terbaru, ARB muncul dalam iklan testimoni berisi dukungan, pujian, serta optimismenya terhadap Prabowo Subianto, mantan rival yang kini rekan koalisinya. ARB nampak tersenyum ramah dan duduk di kursi empuk, berbicara apa yang rakyat akan dapatkan jika Prabowo menang kelak. Gaya duduk ini mengingatkan publik pada iklan Hary Tanoe di RCTI yang mengampanyekan WIN-HT dengan janji “pendapatan rakyat Indonesia 12 juta per bulan”.

Jika materi iklan di televisi Aburizal dan Hary Tanoe cenderung agak dramatis dan patriotis, lain gaya dengan iklan-iklan Surya Paloh yang kini mendukung Joko Widodo. Di Metro TV seminggu terakhir sudah muncul iklan televisi “Jokowi Adalah Kita”, berisi rata-rata adalah kesan ekspresi publik yang begitu berharap pada sosok Joko Widodo.

Iklan Metro TV ini lebih singkat, tidak pakai testimoni berisi dukungan, dan agaknya ilustratif. Bahkan wajah Joko Widodo tidak dinampakkan langsung kecuali dalam bentuk sketsa grafis warna-warni. Ini jauh berbeda dengan beberapa iklan politik saat Jokowi didampingi Prabowo berkampanye untuk Gubernur DKI Jakarta, dua tahun lalu.

Di awal-awal jelang kampanye Pemilu Legislatif, iklan Indonesia Hebat milik PDI-P sudah muncul di Metro TV, menampilkan sang ketua umum Megawati Soekarnoputri beserta anaknya Puan Maharani. Iklan inipun sama. Hanya berisi visi, tidak ada testimoni tokoh lain, dan begitu ilustratif menampilkan nasi tumpeng dan aneka lauk. Kesannya, “kedaulatan pangan” diutamakan. Iklan ini tidak muncul di banyak televisi, dan bahkan mencuat sebelum Surya Paloh memutuskan bergabung dengan PDI-P pasca-pileg.

Publik pemirsa punya preferensi minatnya terhadap bentuk dan gaya iklan tertentu. Gaya ikonia khas Prabowo yang banyak meniru Sukarno mungkin saja laris bagi kalangan pemilih lama yang mungkin juga masih kangen dengan kepemimpinan militer ala Suharto. Sementara iklan ilustratif khas PDI-P dan Jokowi bisa jadi lebih diterima di kalangan pemilih muda yang anti-pada semua yang berbau klise dan retoris semata.

Televisi masih dipercaya

Pada kenyataannya, publik Indonesia masih percaya bahwa televisi adalah media yang baik untuk mengambil keputusan, dan atau memengaruhi gaya hidup. Rilis lembaga penyedia data Kleiner Perkins Caufield & Byers (@KPCB) yang mengutip hasil analisis Milward Brown AdReactions tanggal 28 Mei 2014 merangkum tingkat konsumsi media layar di beberapa negara dalam kurun waktu satu kuartal dan satu tahun.

Hasilnya, Indonesia masih menduduki urutan pertama sebagai negara dengan durasi penggunaan media layar paling tinggi, disusul Filipina, Tiongkok, dan Brasil. Amerika sebagai produsen tekno tertinggi hanya berada di posisi keenam sementara Inggris di posisi ketiga belas.

Orang-orang Indonesia, menurut survei itu, rata-rata menghabiskan waktu 540 menit di depan televisi, ponsel pintar, laptop, dan atau komputer tablet. Orang-orang Filipina 530, dan Tiongkok sekitar 481 menit. Meski tren terbaru menyebutkan bahwa orang di era setelah 2000 lebih banyak menghabiskan waktu dengan ponsel pintar mereka, survei ini tetap mencatat bahwa televisi masih diminati sebagai medium pencarian informasi. Khusus untuk kecenderungan menonton televisi, Indonesia bersaing dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis dan Inggris, juga negara-negara Afrika seperti Kenya dan Nigeria.

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Laporan Milward Brown AdReaction yang menunjukkan tingkat durasi konsumsi media layar televisi dan ponsel pintar di sejumlah negara berkembang dan maju, terbit 28 Mei 2014. Indonesia menduduki urutan pertama dengan rata-rata konsumsi media 540 menit. (@KPCB/Twitter)"]

Laporan Milward Brown AdReaction yang menunjukkan tingkat durasi konsumsi media layar televisi dan ponsel pintar di sejumlah negara berkembang dan maju. Indonesia menduduki urutan pertama dengan rata-rata konsumsi media 540 menit. (@KPCB/Twitter)
Laporan Milward Brown AdReaction yang menunjukkan tingkat durasi konsumsi media layar televisi dan ponsel pintar di sejumlah negara berkembang dan maju. Indonesia menduduki urutan pertama dengan rata-rata konsumsi media 540 menit. (@KPCB/Twitter)
[/caption]

Maka, secara teknis tidak mengherankan ketika bahkan iklan politik berlomba-lomba menggunakan televisi sebagai medium kampanye utama, ketimbang media baru seperti Twitter dan Facebook yang efektivitasnya belum banyak terbukti. Media lama seperti koran dan baliho juga mungkin tidak banyak berpengaruh, karena ruang untuk mengekspresikan visi dan misi kepemimpinan tidak seluas televisi yang sering kali lunak.

Jelang pemilihan presiden 9 Juli mendatang, iklan-iklan politik di televisi mulai mengerucut pada dua kubu koalisi, sementara iklan-iklan lama seperti WIN-HT, Iklan-iklan ARB, dan partai-partai kecil lain mulai menghilang. Pemirsa diberi pilihan lebih mudah, karena mudah sekali membedakan gaya beriklan dua kubu politik ini. Hanya saja, apakah pemirsa secara kolektif percaya iklan itu adalah medium kampanye yang berpengaruh, ataukah semata-mata hiburan tak ubahnya iklan sabun mandi?

Pengamat televisi Andreas Harsono dalam pendapatnya kepada Election Watch sudah menegaskan, kebanyakan pengiklan politik belum menyadari bahwa pemirsa tidak mudah dibodohi dengan iklan-iklan retoris di televisi, di era keterbukaan informasi seperti ini. Apalagi, praktik politik partisan sering kali tidak menghormati hukum terkait etika periklanan televisi. “Kebanyakan dari mereka (pengiklan politik) tidak peduli pada peringatan komisi pengawas penyiaran,” imbuhnya.

Meski begitu, ketika ditanya apakah media diintervensi pemiliknya untuk mengampanyekan tokoh politik atau partai tertentu, Andreas menjawab aman.

Andreas pun menyayangkan televisi yang jika benar, mengorbankan independensinya. Ini saat saya tunjukkan komentar Pemimpin Redaksi TV One Karni Ilyas yang menjawab tudingan pemirsa soal “berpihaknya TV One pada pemberitaan Prabowo-Hatta". Lewat beberapa tweet balasan tanggal 22 Mei, Karni menjawab, “reporter kami kesulitan menembus JJ (maksudnya Jokowi-JK)".

(Sebagai informasi, @KarniIlyas lewat sejumlah balasan tweet menyatakan akan cuti sampai pemilihan presiden selesai, menanggapi ramainya kritik publik terhadap pemberitaan TV One.) Tidak ada salahnya untuk terus berharap pada iklan-iklan politik, di jenis medium apapun. Jika saat ini televisi masih mendominasi peran media yang terbuka dan langsung ke mata-telinga rakyat, maka politikus pasti akan menggelontorkan banyak dana kampanye mereka dengan gaya retorika dan ilustrasi mereka sendiri-sendiri. Toh, pendapatan stasiun televisi dari iklan politik tidak begitu besar, setidaknya menurut Indotelko.

Lebih jauh, publik harus menggunakan hak kritiknya untuk menemukan jawaban atau setidak-tidaknya klarifikasi, atas pemberitaan media yang akhir-akhir ini mulai terkesan memihak kubu-kubu politik tertentu. Biar bagaimanapun, penggunaan frekuensi publik untuk kepentingan segelintir orang adalah pelanggaran.

Di masa depan, kita tidak ingin berada di bawah kepemimpinan yang manipulatif, lalu ramai-ramai menyalahkan televisi yang gagal menjaga independensinya.

-----------------------

Baca juga:

Pemilu: Kenapa Televisi Gagal

Media: Mengenali Jebakan Klik

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun