Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Et Cétera, Monalisa

21 Agustus 2014   21:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:56 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Monalisa Saragih baru benar-benar memulai hidupnya ketika memutuskan pindah ke Yogyakarta. Ia berumur sembilan belas waktu itu. Dibekali satu tas berisi perlengkapan mandi, dua buku kamus, satu ensiklopedia mini, dan tulisan tangan dari pastor di gerejanya, Monalisa muda merasa peruntungannya menjadi seorang sekretaris tidak akan terlalu jauh. Ia mewanti-wanti agar bapak serta opung-nya bisa mengerti suatu hari, dan berhenti merisaukan tentang apa yang telah ia perbuat dalam pelarian panjang dari sekolah. Selama di bus dan di kapal ia hanya mencatat, termenung, dan menangis. Terkadang ia keluar ke geladak dan menyandarkan dua lengannya yang terlipat di pagar, begitu saja membiarkan angin kencang mengibas rambutnya ke selatan dan menderu bunyi gemuruh di telinganya. Ia merasa seperti seorang Maria dari Andalusia, yang pergi menjelajah menemukan ilmu dan pencerahan yang dicarinya. Akan tetapi terkadang ia merasa seperti seorang Amelia Earhart, yang terlalu nekat menjelajah udara hingga akhirnya hilang di antah berantah.

Setelah empat hari perjalanan, akhirnya pada malam Natal 1999 itu, Monalisa berakhir di Yakkum Santo Petrus, sebuah rumah penampungan jompo dan penyandang cacat di lima belas kilometer sebelah selatan Gunung Merapi.

Jari-jarinya saling berkait, merapat ke dagunya yang ditarik lebih rendah. Monalisa menopangkan kedua sikunya di sebuah bantalan saat ia berlutut menghadap barisan lilin, jelang pagi. Empat jendela besar di depannya sebentar lagi menyambut sinar matahari yang akan muncul persis di belakang kepala patung Bunda Maria. Akan tetapi belum lama ia coba hikmat berdoa, bunyi gedebuk di belakang mengejutkannya. Bunyi itu memantul di dinding-dinding disusul erangan dan suara ngorok seperti tenggorokan yang tercekat cairan.

“Tolong. Tolong!” Monalisa berteriak-teriak melalui pintu ketika mendapati seseorang tengah terkapar di dekat bangku baris belakang. Dua petugas jaga dan seorang guru datang sekonyong-konyong.

Monalisa menggeser orang itu agar kepalanya tak lagi bertumpu di tatakan kaki bangku dan nampak menyiksa pernapasannya. Ia tak kenal orang itu, orang berjaket cokelat, celana bahan denim dan sepatunya yang sobek-sobek. Ia mencium bau darah akan tetapi perhatiannya justru tertuju pada cairan berbusa yang keluar dari mulut orang itu.

“Alkohol,” komentar seorang petugas jaga kepada pastur yang mengangguk paham. “Permisi, Mbak, biar kami bawa ke klinik.”

Akhirnya begitu saja, Monalisa menyingkir, menutup mulutnya, mencuci tangannya, kemudian menahan bicara. Ia tak lagi melihat laki-laki korban itu sampai empat bulan kemudian.

Pasar malam di Festival Kesenian Yogyakarta digelar di halaman Benteng Vredeburg, meluber hingga ke pelataran Monumen Serangan Umum 1 Maret. Kawasan di pojok simpang lampu merah Malioboro dan jalan Trikora itu layak dicatat di buku kecil perjalanan saat pendatang mengingat apa yang sesungguhnya terjadi di malam Selasa Kliwon berpuluh-puluh tahun lalu itu, hingga akhirnya Indonesia memenangkan diri di Sidang Umum PBB.

Monalisa duduk di sebuah bangku buatan dari bambu dan rotan, di bawah pohon mahoni persis di dekat pagar pembatas monumen. Ia mencatat beberapa tanggal yang ia ingat, jumlah patung petani yang ada di situ, dan mencari beberapa nama Batak yang mungkin tertera di tembok peringatan. Ia membatin siapa gerangan yang menginisiasi Serangan Umum dan bahkan menggerakkan semangat ibu-ibu pedagang pasar melawan serbuan tentara Belanda, dan apa peran tokoh-tokoh Batak (jika ada) dalam serangan semalam yang bersejarah itu. Lampion-lampion bernuansa Tiongkok cukup baginya dan pensilnya yang kadang ia gigit ketika tidak menulis.

“Itu adalah Sudirman….”

Monalisa keasyikan menulis dan berpikir sendiri hingga tidak menyadari siapa yang kini berada di sampingnya, dan tersenyum pendek begitu selesai menyapa dengan gestur tak biasa.

“Eh? Kamu kan….”

Monalisa terkesiap segera, ia ingat lelaki itu. Ia ingat jaket itu, bahkan ia masih ingat dua mata yang waktu itu nyaris tertutup selamanya. Ia tidak ingin mengingat bagaimana penderitaan orang ini di belakang bangku gereja pagi itu, tetapi penampakan ini cukup baginya untuk yakin bahwa ia tidak sedang berbicara dengan orang mati.

“Kamu… ternyata hidup?”

Laki-laki itu tertawa. “Ya tentu saja aku hidup. Festival kesenian meriah, makanan-minuman seenak ini, tentu bukan untuk orang mati, kan?”

Dalam kalut pikiran yang masih sulit percaya, Monalisa akhirnya tersenyum. Sipu, malu, bercampur-campur. Ruang bangku itu akhirnya dibagi untuk berdua. Lampion berpendar bertanya-tanya.

“Maaf,” Monalisa coba membuka obrolan setelah keheningan yang kikuk. “Saya tidak tahu kalau Mas sudah keluar dari klinik. Petugas ataupun pastor tidak pernah cerita apapun setelah kejadian pagi itu.”

“Ya, sepertinya demikian,” balas lelaki itu. “Saya dirawat cuma dua hari, total. Setelah itu Pak Yoso menyilakan saya menetap kalau mau, katanya bantu-batu kelas atau petugas kebersihan, setelah dia dengar cerita saya tidak punya tempat tinggal.”

“Pastor memang selalu senang dengan kedatangan orang di Yakkum. Di malam hari saya pertama kali tiba juga, sudah bisa langsung masuk asrama. Dari teman-teman saya dengar kalau Pastor sudah siapkan kamar saya seminggu sebelum saya tiba di Yogya.”

“Orang seperti itu pasti punya banyak pelajaran hidup dengan orang-orang.”

“Ya.”

Tiga anak berlalu dituntun orang tua mereka. Kembang gulali, donat besar, dan lampu-lampu berpegangan bambu menemani mereka tatkala ibu-ibu nampak sudah lelah dan kelabakan membawa belanjaan. Anak-anak itu menunjuk lampion yang bergerak-gerak ditiup angin. Mereka berteriak girang dan saling ledek di depan bangku-bangku tempat belasan pasangan dan keluarga bertukar cerita.

“Pastor juga punya masalah, setahuku.”

“Oh ya?” Lelaki itu coba menunjukkan ketertarikan yang baru, mencoba menemukan rasa nyamannya sendiri.

“Hm. Pernah suatu malam aku baru selesai belajar, dan berjalan-jalan di sekitar asrama. Di pojok aula makan ini, aku lihat Pastor sesengukan, menutup mukanya terus menghadap dinding. Aku sembunyi di balik pohon dan mengamatinya, dia terus menangis. Seperti… seperti sesuatu benar-benar mengganggunya. Seperti… sesuatu telah diambil darinya.”

“Orang tua… mungkin kangen anaknya.”

Monalisa menghela. “Entahlah. Tapi kudengar Pastor cuma punya satu anak, dan anaknya itu sekarang sudah sukses jadi manajer keuangan di Jakarta. Jadi kupikir masalah itu, ataupun masalah keuangan, bukan alasan dia sampai menangis sedemikian.”

“Istrinya mungkin?”

“Istrinya meninggal dua puluh tahun lalu --Kalau masalah ini Pastor sendiri yang cerita, sewaktu aku menyinggung soal foto berbingkai yang dipasang menarik sekali di meja kerjanya. Dia hanya bilang bahwa istrinya meninggal karena kanker payudara. Setelah itu aku tidak berani mengungkit-ngungkit kesedihannya di masa lalu. Walaupun, Mas tahu? Waktu itu dia sama sekali tidak sedih. Malahan, dia sempat menceritakan kesenangan mereka berlibur dan memancing bersama di Sermo, kadang ke Umbul Ponggok di Klaten, wajahnya sumringah. Seperti kenangan-kenangan manis tak pernah hilang dari panca-inderanya. Dia selalu bilang ‘Tuhan mengasihi mereka yang mencintai dirinya sendiri’. Kurasa kalimat itu benar, dalam situasi apapun.”

Lelaki itu menyembunyikan senyuman persetujuannya ketika coba menunduk melihat rerumputan di dekat sandalnya. Meski begitu Monalisa tahu apa yang coba dibahasakan oleh gerakan seperti itu. Maka ia bertanya,

“Bagaimana dengan Mas? Aku bahkan belum tahu nama Mas, apalagi kisahnya.”

Lelaki itu tertawa. “Ya, aku minta maaf, sudah bikin kamu penasaran.”

“Aku bukannya penasaran,” protes Monalisa.

Lelaki itu kembalit tertawa. Lalu ia menegakkan badan, menarik kerah jaketnya agar lehernya bisa lebih kelihatan, hingga coba mengesankan agar kotak bungkus rokok tidak menyembul dari dada kirinya. “Namaku Giri. Ihsanuddin Giri. Aku datang dari Aceh tapi rasa-rasanya dalam keseharian aku gampang akrab dengan bahasa Jawa dan merasa setengah diriku berdarah Sulawesi. Aku masih mencari tahu asli leluhurku tapi… ya. Rasanya aku bisa ke mana saja dan mempelajari semuanya. Menemukan buku yang ditulis oleh pendahuluku, kamu tahu maksudnya?”

Monalisa mengerutkan dahi karena tidak menyangka lelaki itu akan mengeluarkan pengakuan dengan kalimat bersayap yang sedikit metaforis. “Lanjut.”

“Ibu dan Bapak hijrah ke Kelantan sewaktu aku kelas enam. Semenjak itu kami bertiga saudara diasuh nenek yang hidup dari uang pensiun dan tunjangan veteran. Kakak tertua jadi buruh kapal, kakak kedua jadi guru SD mengikuti jejak nenek, sementara anak ketiga… memutuskan pindah ke Jawa lewat Bakauheni. Waktu itu, belum ada petunjuk akan menjadi apa saya, dan hidup dari apa. Kebanyakan hanya pindah dari kapal ke kapal, jadi buruh atau ABK, kadang kerja di pelabuhan dan pernah mencopet selama beberapa tahun.”

“Apa?”

Giri tertawa. “Sekarang aku sudah lurus. Setelah meninggalkan kejahatan sejak tiga tahun belakangan, dan sebuah renungan cukup panjang beberapa malam, akhirnya aku menyadari betapa beratnya pundakku jika Tuhan memperlihatkan wujud semua dosa-dosa yang pernah kuperbuat. Mungkin siapapun tidak akan bisa memikulnya, dan mungkin malaikat akan lelah menghitungnya.” Helaan napas panjang seperti menampar dua pipi Giri sampai matanya bergerak-gerak liar seperti sedang gelisah. “Aku bahkan beberapa kali coba melompat dari jembatan, tapi arus sungai selalu membawaku ke tepian. Entahlah… sepertinya Tuhan telah memutuskan berbaik budi dan memberiku kesempatan hidup. Tapi rasanya tersiksa juga jika kau harus mengingat setiap dosa-dosamu di setiap kamu bangun pagi atau mau tidur. Pada akhirnya, aku merasa jalanan dan pengembaraan lebih menyenangkan ketimbang menetap dan memulai hidup dengan orang-orang. Itu bisa jadi karma bagiku. Kehidupan yang satu disambut kehidupan selanjutnya. Tempat yang satu dan tempat selanjutnya. Tidak ada yang spesial. Seperti satu hal sama saja dengan yang lainnya. Et Cetera… dan et cetera. Dan seterusnya sampai waktu penghakiman sesungguhnya tiba.”

“Et… cet… tra? Apa?”

Et cetera, Monalisa. Coba cari artinya di Ensiklopediamu. Aku sempat lihat kamu bawa-bawa buku itu di Yakkum.”

Monalisa tersipu karena merasa lelaki ini telah menaruh perhatian khusus padanya waktu itu. Meski dalam nalar yang singkat pula, ia tahu bahwa mungkin ini kesenangan spontan karena selama ini ia belum pernah menerima wujud perhatian serupa yang bergerak dalam diam, dan terucap pada momen yang pas.

Lampion berpendar dan kadang berkedip, meredup. Serangga-serangga pencari cahaya mengerubutinya tanpa diperhatikan siapapun. Monalisa menegakkan posisi duduknya dan menawarkan membeli minuman. Setelah keduanya meneguk dan menghalau rasa haus, Monalisa baru berani bicara kembali.

Opung-ku selalu mengira aku masih anak-anak,” ujar Monalisa saat matanya menerawang jauh ke keramaian, melihat beberapa balita dan orang tua mereka di dekat panggung. “Sejak sekolah sampai coba kuliah, opung selalu ingin mengatur semuanya. Makanan, pakaian, teman bergaul. Papaku bilang itu bentuk perlindungan dan rasa kasih sayang, apalagi sejak mama pergi. Tapi aku tidak tahan dengan semua itu, kamu tahu kan? Anak perempuan, mulai mengenal ini-itu, punya pergaulan seperti remaja biasanya, dan mulai merencanakan impian. Aku selalu ingin dekat dengan lautan, dan berharap bisa tinggal, meneliti, atau bekerja untuk orang-orang di pesisir. Aku selalu memimpikan bahwa berada di sekeliling orang-orang, menemani anak-anak belajar, atau mencari ilmu dari kebijaksanaan suatu adat bisa memberiku pengetahuan yang tidak kudapat dari kampung kecil di bukit Andalas dan dari kungkungan orang tua tunggal yang kadang menjemukan. Jadi sekretaris aku pikir bisa jadi pengisi waktu saja, tapi aku mempelajari orang-orang lewat senyuman dan cara mereka mengucapkan kata-kata. Aku merasa keramaian adalah kehidupan. Aku bahkan sering berpikir bahwa orang tua bisa datang dari kalangan mana saja, termasuk di lingkungan baru ketika aku menginjakkan kaki di suatu tempat yang belum pernah kudatangi. Ya… tentu saja ini sedikit berbeda dengan cara pandang Mas Giri soal cara hidup….”

“Ya. Memang.”

“Tetapi aku bisa menemukan diriku dari ini semua. Selama empat bulan ini, Pastor, orang-orang di Yakkum, tempat bekerja, teman-teman yang Jawa, Sulawesi bahkan Papua, semuanya terasa satu atap di mataku. Bagiku ini karunia luar biasa, hidup dengan orang-orang dengan bahasa mulut yang berbeda-beda tapi bahasa hati yang sama, pengakuan terhadap kebesaran Tuhan di manapun. Ini yang menjadikanku perempuan muda yang ambisius, mungkin. Meski kelihatannya aku berjalan seperti siput dan berproses seperti kupu-kupu.” Monalisa terkekeh setelah mengatakan kalimat itu.

Giri ikut tersenyum. Perbincangan mereka mengalir semakin jauh, semakin dalam, tetapi semakin santai. Lampion-lampion dan keramaian mungkin sudah tahu kedua orang ini akan membawa kisah mereka sampai di mana.

**

Setangkai kamboja kuning. Giri menyelesaikan pekerjaan tangannya pada bunga itu dan Monalisa menerimanya dengan wujud kasih sayang yang tumbuh dalam hati dan pikirannya. Pertemuan di banyak kesempatan selama beberapa minggu terakhir akhirnya menguntai perasaan Monalisa pada seseorang bernama Giri, yang bertahun-tahun lebih tua darinya, dan menurutnya punya pandangan baik tentang hidup di masa depan. Mereka berjalan menghampiri kompleks Yakkum untuk memberitahu sebuah kabar bahagia untuk semua orang.

Akan tetapi Monalisa tiba-tiba bertanya apa gerangan yang membuat Giri menghentikan langkah saat mereka tinggal selebaran jalan menuju gerbang. Dua mobil polisi satuan Polres Sleman terparkir jauh di halaman berumput Yakkum dan beberapa petugas berseragam berjaga di sekelilingnya.

“Bukan apa-apa,” ujar Giri menjawab keheranan kekasihnya. “Ayo.” Ia genggam tangan Monalisa kemudian membawanya melewati gerbang.

Setibanya di koridor, mereka berusaha bertanya kepada para petugas dan pengajar di situ ada apa gerangan, tetapi tak satupun menjawab. Bahkan beberapa perempuan dan suster menutup mulutnya dengan telapak tangan ketika mereka merapatkan diri di dinding ruang kerja Pak Yoso. Monalisa menangis lalu menghambur ke dalam, pandangannya sudah kabur akan bayang-bayang sesuatu telah terjadi pada orang yang ia hormati.

Tetapi Monalisa menghentikan pandangannya, ketika melihat Yoso berdiri dan tersenyum dalam keadaan sehat. Nampaknya dua kapten polisi berpangkat komisaris tengah terlibat perbincangan serius sehingga Yoso memintanya menunggu sejenak. Akan tetapi ketika hendak menutup pintu, Yoso mendapati seorang laki-laki yang pernah dilihatnya, berdiri di tengah koridor di antara kerumunan orang-orang. Tanpa peringatan dan apapun, kontan Yoso mengepalkan tangan, batal menutup pintu, kemudian berbisik sesuatu ke dua polisi itu. Dan dengan sebuah perintah lewat radio panggil saja, dua sersan dan beberapa petugas lain langsung meringkus Ihsanudin Giri, merebahkannya menghadap lantai.

“Ada apa ini? Pak Polisi!” Monalisa memprotes ketika bahkan perasaannya belum tenang. “Mau kalian apakan Mas Giri?”

Dua polisi lain menahannya memberontak ketika dua komisaris polisi itu akhirnya keluar beserta Yoso.

“Pastor… Guru, ada apa sebenarnya?”

Akan tetapi Yoso hanya tertunduk, geram dan nampak berusaha menahan amarahnya. Setelah mengirim isyarat mimik agar Monalisa tenang, pemimpin asrama itu kemudian pergi berlalu dan menyerahkan sisa pekerjaan kepada polisi. Monalisa terus memprotes, tetapi sia-sia saja.

“Monalisa, Monalisa. Tenanglah….” Giri akhirnya bersuara. Ia mengerang menahan rasa sakit di dua siku lengannya yang dipelintir dengan kasar. Saat ia akhirnya ditarik berdiri dan mulai digiring, ia tak sanggup  berbicara kecuali beberapa patah kata.

“Ini cuma bagian lain, Monalisa. Et cetera, bacalah. Kamu punya keyakinan. Kamu punya iman!”

“Tetapi paling tidak katakan apa salahmu? Pak Polisi!”

Saat Giri tak nampak lagi di koridor itu, mobil polisi mulai mengaung-ngaung dengan sirenenya, kemudian berbelok dan meninggalkan kompleks itu. Komisaris polisi yang belakangan keluar lalu berusaha menjabat tangan Monalisa --yang ditolak--menghela napas kemudian berujar ringan.

“Kekasih Anda diduga terlibat atas kematian Nyonya Yoso di Klaten, tiga tahun lalu.”

Monalisa lemas. Ia tak lagi ingat apa itu et cetera.

-----------------------

Ilustrasi: Flickriver.com/Downtown Farm/jdcow.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun