Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pemanah

26 September 2014   18:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:09 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

POHON TARBATIN atau pohon Elm. Menjulang setinggi 38 meter dengan lengan-lengannya yang menunjuk ke segala penjuru. Bangsa Crimea pernah menyebutnya Dewa Kesuburan yang Menakutkan. Lantaran setiap ditiup angin, dedaunan kecil Elm saling gesek dan bergemerisik seperti hujan, lalu langit bisa tiba-tiba gelap. Orang-orang Thor menjadikan mereka pasukan penjaga, meyakini para Elm akan tercerabut dari akarnya lalu berperang melawan kegelapan yang akan datang dari pegunungan es di utara. Akan tetapi, dari semua episode panjang pohon Elm, tidak banyak yang dihubungkan dengan kehidupan para pemanah. Waktu menyaksikan, Elm adalah roh terpendam dari semua perburuan yang mengenyangkan perut, dan semua peperangan yang menumpahkan darah.

Lengan-lengan kecil itu bergetar. Amdis Koloit terkekeh melihat anaknya begitu ketakutan. Busur itu nyaris sama tingginya dengan Arais, tetapi ia yakin anak itu bisa melesatkan anak panah. Lengan kiri ditekuk ke belakang sampai mempertemukan kepalan tangan dengan tulang pipi. Lengan lainnya, meregang karena kerja otot, menahan busur yang berjarak dengan senar menegang ke ujung belakang anak panah. Burung-burung kenari menghambur dari dedahanan, dan gagak melintas tinggi menyambut mangsanya. Saat Arais melepaskan cengkraman, anak panah itu melesat agak tinggi, membelah angin, melewati kulit-kulit batang Elm, kemudian menghilang ditelan kegelapan hutan. Awan menggulung-gulung gelap membawa pesan hujan akan bergemuruh. Dengan tali busur yang masih bergetar-getar di depan matanya, Arais terengah-engah. Keringat meleleh di keningnya. Satu lesatan saja sudah cukup berat baginya. Melihat rupa tegang anaknya, Amdis Koloit tertawa. “Arais, Anakku,” ujarnya saat menepukkan pundak Arais. “Kelak kau bisa menjadi pemanah terbaik. Satu lesatan, dan sepuluh penunggang kuda Ersk bisa kau lumpuhkan sekaligus. Tapi sepertinya hujan akan turun, dan mungkin lenganmu sudah pegal. Sudah cukup latihan hari ini.” Arais, tanpa membalas komentar ayahnya, masih menatap dalam ke hutan. Ia tidak pernah yakin, ke mana anak-anak panahnya berakhir.

Di dalam ruangan yang dulunya istal, Nyonya Pothima mengajar murid-muridnya. Meski ini disebut sekolah, hanya ada tiga belas anak belajar di dalam ruangan itu. Dindingnya separuh terbuka cukup untuk meloloskan sinar matahari masuk, tapi atapnya dari anyaman ilalang melengkung ke bawah sekadar melindungi lembar-lembar kulit dan serat kertas dari sapuan angin. Nyonya Pothima sudah berceramah selama setengah jam, menjelaskan semua tentang sejarah penyerangan orang-orang Crimea ke daratan utara penuh es, yang kemudian membelah dua benua di sungai Aichilik. Karena nampaknya cerita-cerita alam tidak begitu menarik, Nyonya Pothima mengalihkan ceritanya ke bangsa-bangsa Basal (atau Baikal?) di semenanjung Siberia. Ia bercerita pengolahan buah beri hijau yang langka di musim kering, sampai kegagahan laki-laki Garumni yang mengandalkan tombak kayu untuk berburu beruang di sepanjang Volcae Tectosages --aliran sungai sempit di kaki Celtica. Akan tetapi dari seuntai kisah sejarah ini, Arais Koloit lebih berbinar atas kisah-kisah pohon Elm, serat alam yang jadi bahan utama anak panahnya. Kantuknya hilang, mejanya penuh bergambar ksatria.

“Ayah, Ayah! Akan kuceritakan sesuatu, Ayah!” Arais Koloit berlari mendekati rumah, melayang-layangkan gambarnya di udara.

Amdis, yang tengah menempa besi berbentuk bulan sabit, lalu berhenti sejenak. Ia teguk air perasan jeruk kemudian bersila di atas jerami bersisian dengan putranya. Kisah sepulang sekolah mungkin akan menghalau lelah. “Nah, ceritakan. Apa gerangan yang membawamu begitu senang hari ini?”

Panah, Ayah! Panah!”

“Panah?” Amdis terkejut dengan topik yang ditawarkan putranya. Di hari-hari sebelumnya, jika bukan soal hujan, mereka paling-paling berbincang soal orang-orang Khmer di selatan atau burung Ibis yang warnanya seperti langit senja. “Ada apa dengan panah, Nak?” tanya Amdis kemudian.

Lembar gambaran itu berupa garis-garis melengkung yang lebarnya berbeda, juga beberapa anak panah yang panjangnya berbeda. “Yang ini, Ayah…” Arais menunjuk satu. “berasal dari lembah Ahrensburg, di utara sana. Ini adalah anak panah pertama di dunia.”

“Ahrensburg?”

“Mm! Paman Guakwov pernah bercerita soal negeri para ksatria berkuda di lembah utara. Wilayah Steel… Stimm….”

“Stellmoore. Ya… ya Ayah ingat. Lalu?”

“Di sanalah panah bermula. Nah, kalau yang ini, Ayah…” Arais menunjuk gambar busur yang lainnya. “Dari zaman bumi masih hutan. Saat nyamuk masih sebesar stingray. Nyonya Pothima menyebut sebuah nama tempat: Holmegärd, aku ingat. Di sanalah para lelaki kaum Garumni pernah hidup. Mereka membuat busur dan panah dari batang pohon Elm! Bukankah itu luar biasa, Ayah? Aku sehari-hari berlatih panah dan tidak pernah tahu  bahwa awalnya pohon Elm-lah yang dibuat anak panah!”

Amdis tersenyum bangga. Meski ingatannya menyimpan sedikit pengetahuan antara pohon Elm dan anak panah, di babak terakhir hidupnya sebelum Arais lahir anak-anak panah lebih banyak diambil dari pohon kina, ek, dan sebagian pohon kecil berbatang lurus yang tumbuh di selatan. “Wah, Ayah baru tahu soal itu.”

“Nyonya Pothima hebat. Dia mengetahui semuanya seperti sudah menghapalnya.”

“Kau juga hebat, Nak. Ayah jadi ingat masa-masa lalu ayah.” Amdis menerawang tengah langit. “Sebelum bertemu ibumu, aku seorang penggembala domba yang rajin. Seorang kakek --mungkin Nyonya Pothima kenal-- menawarkanku bekerja di perkebunan buah berinya, karena tahu aku seorang yatim. Tugasku mengawasi kebun dari serangan serigala dan para kakung yang suka mencuri! Tuan Humes, orang itulah, yang memperkenalkanku pertama kali dengan panah. Ia bilang jika aku harus melindungi sesuatu tanpa harus pergi ke mana-mana, maka aku memerlukan senjata yang bisa melesat jauh. Dia lalu membawaku ke hutan dan menebang kina, menyasaknya kemudian menjadi sebuah anak panah. Ujungnya ia tempa sendiri sementara busurnya konon merupakan sisa perang. Busur pertamaku, kuberi nama Pitsca, artinya pemecah bulan. Sungguh hebat --busur itu. Aku membawanya setiap hari selama bertahun-tahun. Sayangnya, panah itu sekaligus jadi warisan Tuan Humes. Ia meninggal di pertempuran.”

“Panah Ayah pernah membunuh seseorang?”

Amdis tertegun dengan mulut terbuka. Pertanyaan barusan menyambar nurani dan ingatannya. Setiap masa lalu pasti punya cerita, tapi sebagian besar kisahnya tak harus diceritakan seperti adanya. Dalam kesadarannya, ia tak melihat banyak pilihan untuk dikisahkan. Karenanya Amdis hanya tersenyum bijak. “Kurasa panah diciptakan untuk menciptakan keseimbangan alam, Anakku. Kelak, kau akan menyadari betapa pentingnya senjata bagi penguasanya. Dan dengan kekuasaan seperti itu, orang suci sepertimu harus bisa menjaga keseimbangan alam.” Ia menghela napas. “Mungkin itulah alasan, anak panah dahulu dibuat dari kayu pohon Elm. Dewa Kesuburan dan Sang Penjaga Alam.”

Senyuman di bibir Arais tak  bertahan lama, saat ia merasakan hutan bergemuruh dari kegelapannya. Angin seperti baru saja menyambar rambutnya, ketika ia membuka mata, dan mendapati ayahnya terdiam dengan mata tak bergerak. Lesatan anak panah barusan tidak ia sadari, sampai akhirnya ujung tajamnya menembus keluar dari tengah dada Ayahnya. Darah mengucur dan menetes dari ujung baja batangan runcing itu. “Ayah!” Arais menahan tubuh ayahnya yang nyaris ambruk ke depan. “Arais, anakku….” Amdis terserak, dadanya sesak.

Gemuruh hutan berakhir dengan serangan ratusan laki-laki berpakaian besi, berbalut rantai, dan bertopi Barbar dengan tanduk di dua sisinya. Sebagian mereka memegang tombak dan barisan belakang --yang jumlahnya hampir lima puluh orang--memegang busur dengan kantung anak panah di punggung-punggung mereka. Jenggot merah dan rambut panjang mengingatkan Arais pada perkataan Nyonya Pothima -- bangsa Ersk!”

Serangan mendadak itu menghambur dalam barisan lebar keluar dari hutan di utara, kemudian turun ke desa dan menarik keluar para perempuan dewasa. Anak-anak diseret menuju istal kuda, sementara tokoh agama dikumpulkan di sebuah sekolah, bersama para ahli senjata, tukang kayu, dan para pedagang. Arais sempat melihat Nyonya Pothima berlari ke arah sungai demi menyelamatkan buku-bukunya, tetapi pukulan tameng baja melumpuhkannya seketika. Buku-bukunya jatuh dan meluncur di atas rumput. Arais tidak melihat apa-apa lagi ketika berhasil menyembunyikan ayahnya yang kesakitan, di sebuah kotak jerami di bawah belakang kandang domba. Dengan dua tangan ia giring jerami-jerami itu membentuk gundukan, kemudian ia posisikan kepala ayahnya di sana. “Bertahanlah, Ayah.”

“Aku takut aku tidak bisa, Nak. Ini…. Pergilah ke bagian tengah rumah, gali lantainya, dan keluarkan peti itu dari sana.”

Sebuah kunci dengan pegangan bulat dan batangnya yang berkarat. Arais mengambilnya tanpa melepaskan tangan Ayahnya. “Tidak, Ayah.”

“Itu adalah panah yang diwariskan ke ayah oleh Tuan Humes. Kini, busur dan tiga belas anak panahnya kuwariskan padamu. Ambillah. Pergi dan selamatkan ibumu, juga orang-orang lainnya.” Sinar matahari menerpa sunyi ke kedua mata Amdis. Arais menangis, kesedihannya menghambus bersama ketakutan yang menyelimuti bilik kecilnya. “Tidak, Ayah. Tidak….” Saat tangan itu sudah lunglai, Arais menimbun jenasah ayahnya dengan jerami, dan menutupinya dengan berbagai kain dan batang bunga.

Saat sekelompok pasukan Ersk memeriksa rumah-ke-rumah, Arais menunggu beberapa saat hingga akhirnya lolos ke ruang tengah melewati jendela belakang. Bekas pakaian dan sepatu ibunya masih di sana, pertanda ia telah dibawa paksa. Murka, Arais membuka lantai yang ditunjukkan ayahnya, dan mengeluarkan kotak nyaris setinggi dirinya. Kunci membuka gembok dan terbaringlah di depannya busur berkilai. PITSCA, terukir di satu lengkungan busur itu dengan besi panas dan lelehan timah. Talinya terbuat dari baja lentur yang hanya dua kali lebih tebal dari rambut manusia. Sementara ketigabelas anak panahnya, terbungkus kulit domba di dasar kotak. Di bawah sapuan sinar matahari, Arais bisa melihat, jiwa orang-orang hebat yang pernah menggenggam busur itu. Air matanya meleleh jatuh. “Ayah….”

Xaverga Hock menancapkan bendera biru bersilang putih di atas bukit tertinggi desa. Matahari dan bulan terbelah menghiasi tengah lembar panji itu. Rambut paling merah dari semua rambut merah. Jenggot paling panjang dari semua jenggot. Xaverga Hock hanya butuh mata dan suara dalam untuk menggetarkan sekelilingnya. Tanduk di helm besinya berbentuk trisula seperti citra legenda algojo dari Zaman Tiga Kerajaan. Di kaki bukit, ratusan prajurit membentuk formasi radial --mereka menggelar upacara penyambutan.

Arabellum! Kita menguasai separuh bumi dalam separuh langkah. Kita adalah pengubah. Kita adalah para penanam. Kita membangun dunia di atas semangat baru yang meninggalkan kebodohan. Di tangan kita, Bangsa Ersk, dunia akan bersatu. Mengalirkan emas dari sungai-sungai Achilisk, dan menghiaskan bunga di bukit-bukit Dementi. Hari ini, kita menguasai desa ini. Atas kemauan Raja yang memimpikan peradaban kaya, kita adalah pekerja, dan ini… adalah emas persembahan dari kita!”

Prajurit bersorak bersamaan, meneriakkan semacam mantra atau kata penyemangat biasa. Xaverga mengangguk puas. Rencana serangan ini tak meleset sedikitpun. Enam puluh laki-laki ia bunuh, sementara para perempuan disisihkan untuk kepentingan lebih besar. Tujuh tiang dengan tumpuan kaki, mengikat tujuh perempuan paling cantik di desa.

“Karunia Dewa memberikan kita keturunan,” Xaverga kembali berpidato, menunjukkan tangannya kepada para tawanan yang terikat di tiang. “Dan lewat mereka, kita membangun generasi kerajaan. Era keemasan akan tiba!” Para prajurit bersorak sekali lagi. Tak sedikit dari mereka yang meleletkan lidah dan menilikkan mata nakal kepada ketujuh perempuan di tiang pasung. Celia Koloit, tersedu di tiang ketiga. Rambutnya yang bergelombang keemasan tak kuasa menyembunyikan ketakutan di garis wajahnya.

“Kalian tidka akan mati seperti para pecundang yang merasa diri mereka pintar.” Xaverga menunjukkan rasa jijiknya tepat di depan pipi para tawanannya. Celia Koloit menepikan wajahnya, tak sudi kulit coklat yang kotor dari seorang pembunuh mengotori mukanya. “Kalian… akan menjadi kotak-kotak emas kami. Dari kalian, kami membangun kerajaan yang bertahan satu, dua, tiga abad. Dari kalian, para ksatria sejati akan lahir. Bukankah itu sebuah kehormatan?”

Cuh! Xaverga terkekeh masam. Air liur kental itu tepat mendarat di mata kirinya. Tatapan Celia Koloit mungkin tak terlalu menakutkan, malahan, Xaverga terkagum dengan pantulan biru dan kelabu yang dicitrakan sinar matahari dari kedua bola mata itu. “Perempuan bodoh!” Satu tamparan keras, dan keenam perempuan lainnya menjerit ketakutan. Celia Koloit terengah-engah menahan perih. Pipi kirinya langsung memerah.

Batang-batang pohon Elm mungkin belum akan tercerabut dari akar-akar, sementara di bawahnya anak itu tengah mengarahkan panah. Akan tetapi alam selalu menunjukkan pembelaan pada yang semestinya. Lengan Arais gemetar, tapi permukaan Pitsca sangat sempurna di genggamannya. Saat angin dingin akhirnya bertiup dan Elm meranggas dengan ganasnya, burung-burung gagak menghambur keluar bersamaan dengan kawanan burung kecil lainnya. Mereka mengikuti aliran angin dingin yang berputar di dekat bukit, kemudian meluncur turun ke barisan besi berbau darah itu. Pasukan Ersk kewalahan dan mengibas-ngibaskan pedang mereka. Gagak-gagak mematuk dan unggul karena sayap, membuat para pasukan itu berontak konyol kemudian terhambur begitu saja.

Arais menghela napasnya. Saat angin akhirnya berhenti dan para Elm kembali hening, anak panah keemasan itu melesat jauh dari dalam kegelapannya. Angin dingin mengangkat anak panah itu lebih tinggi, memanjati udara hingga ke bukit. Kawanan gagak yang menjauh mengalihakn perhatian Xaverga sampai-sampai tak menyadari anak panah itu datang. Ia seketika tak bisa bersuara. Darah mengucur dari lehernya. Anak panah dengan mata timah itu tertancap sempurna dari bawah telinga kiri ke sisi lainnya. Sang panglima tersungkur, tangannya merubuhkan bendera sebelum akhirnya menggelinding hingga ke lembah. Para pasukannya --yang terluka karena serangan mendadak gagak dan burung-burung, berusaha memercayai apa yang baru saja terjadi. Tetapi tak juga sempat menyadari kekalahan mereka, kembali ratusan anak panah terlihat di udara, berbelok di puncak ketinggian angin dingin sebelum akhirnya jatuh bagaikan hujan dari langit. Mereka porak poranda, sebagiannya lari dan sebagiannya bertahan di bawah tameng-tameng baja.

“Dari mana panah-panah ini?”

Di dalam lindungan para Elm, Arais sendiri tidak percaya. Ia hanya melesatkan satu anak panah. Kemudian gemuruh langkah kaki di belakangnya sudah mendekat tanpa ia sadari. Di sana, puluhan lelaki tua, muda, dan beberapa teman sekolahnya ternyata berhasil selamat dan bersembunyi, sebelum akhirnya muncul kembali dengan busur-busur di tangan mereka.

“Mereka tidak mengira,” ujar salah satu dari kawanan pembantu itu, seorang berbadan kekar dengan kulit coklat yang khas. “Sebagian lelaki pergi berburu dan sebagiannya berada di desa lain. Kami membawa banyak orang melawan kebodohan dan keserakahan. Mari kita rebut kembali rumah kita.”

*

Panah pertama lengkap dengan busurnya, dipercaya muncul pertama kali di kawasan rawa Holmegärd, daerah utara Denmark, sekitar 8.000 tahun S.M., pada Zaman Perunggu. Fosilnya ditemukan tahun 1950 dan dianggap sebuah alat pembaharu setelah tombak lempar. Dalam banyak bukti arkeologi, senjata panah pernah dipakai oleh bangsa-bangsa Persia, Babilonia, Yunani, Eropa, hingga Amerika dan Asia Selatan.

Perangkat panah lebih canggih dengan tembakan ganda disebut crossbow, ditemukan dari sejarah Tiongkok di masa Pertempuran Ma-Ling (312 S.M.).Hingga saat ini, panah dibuat dalam beragam bentuk, dan digunakan dalam peringatan sejarah, atau olahraga. (*dari berbagai sumber)

-----------------------------

Ilustrasi: DevianArt.com/ChairimArrais

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun