Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Horison

6 Oktober 2014   19:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:10 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1

Waktu relatif pada pinggiran ruang,

gonta-ganti ramu teori.

Horison melewati sudut bumi,

Membelah dua muka

pada jatidirinya sendiri-sendiri.

Pada garis itu tidak ada yang rendah dan yang tinggi,

karena semua ilusi dan persepsi.

Bahtera jauh telah pergi,

entahlah jika untuk kembali.

Apa yang terlihat tinggal pucuk tiang kemudi,

dan pada saatnya akan kembali.

Teori…

dan kabut prasangka hendaklah sama.

Apa yang terlihat bukanlah yang sejati.

2

Apa yang kualami seperti mimpi,

datang dan mudah terlupa.

Seperti alasan duniawi,

menuntut tapi jarang memberi.

Aku bertaruh bahwa cinta akan datang,

seimbang kemudi bersama seseorang.

Aku ada di atas kapal,

terombang-ambing gelombang.

Pada saatnya mulut bertanya,

Apa gerangan yang menghadang.

Dia, lelaki itu, tersenyum dan menerawang.

Horison baginya adalah tempat mengadu,

menganyam tanya soal cinta yang gamang.

Tapi toh kepadanya garis takdir tidak menjawab.

Teori…

Apa yang terlihat bukanlah yang sejati.

3

Simpulan atas pertanyaan mestinya mudah saja

Adat memandang cinta adalah aturan alam.

Siapa bertaut siapa,

sudah diatur dalam langgam.

Tidak lebih tidak kurang.

Horison membentangi semua adat,

Mestinya ia tahu banyak cerita.

Juga nada-nada yang terus tergenggam,

yang tidak pernah terbang ke seberang sana.

4

Horison, seperti jatidirinya yang diam.

Ia sebenarnya tahu.

Ya, aku yakin ia tahu.

Untuk siapa aku dan untuk siapa dia.

Siapa bertemu siapa dan bagaimana ombak bercerita.

Ia adalah bentangan jawaban atas berbagai tanya,

Seperti kapan langit mencumbu ombak?

Atau mengapa harapan kerap bikin sesak.

Ya, aku yakin ia tahu.

Seperti apa cinta membentuk langgam,

bukan sebaliknya.

Aku pun yakin ia tahu,

ke arah mana aku mengayuh,

kepada siapa aku rela berpeluh.

5

Teori…

Aku bertanya kapan waktu berhenti.

Jikalau ia congkak untuk kembali.

Aku yakin siapapun tahu,

Cinta tidak bisa dihadang-hadang,

oleh ombak apalagi aturan usang.

Horison…

Aku mengadu sekali lagi,

Tidak, mungkin akan berkali-kali.

Kukira Adat memberimu makan sesekali,

Larung janji di atas rona melati.

Mungkin akhirnya waktu akan memberi ruang

melabuhkan bahtera yang menjemputku pergi.

--------------------------

Ilustrasi: inspiringwallpapers.net.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun