Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

“Pergi Tampak Punggung”

20 Oktober 2014   16:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:23 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="533" caption="Gambar berjudul Pergi Tampak Punggung yang diunggah ke Twitter @SBYudhoyono, Minggu (19/10/2014)."][/caption]

Sementara istrinya mulai sibuk “bersosialisasi” menunjukkan ke internet persiapannya memboyong barang-barang dari Istana Negara, Susilo Bambang Yudoyono memilih tetap bekerja dalam jas. Sebagai pendahulu ia ajak presiden terpilih berkeliling istana bersamaan dengan pencopotan bingkai-bingkai fotonya dari banyak dinding. “Kantor ini akan menyambut sosok yang baru, saya harus siapkan, ” ujarnya tercatat wartawan kemarin saat berada di dalam ruang kerjanya. Bahkan di hari terakhir sebagai kepala pemerintahan, SBY tetap menunjukkan bahwa ia seorang pelopor, berbuat dengan cara berbeda, dan tetap dengan gaya.

SBY merupakan yang pertama melaksanakan seremoni “Lepas-Sambut” (demikian mereka menyebut serangkaian foto persiapannya di Twitter), dan berjanji akan “berdiri di luar istana” ketika “Yang ketujuh” Joko Widodo tiba. Gaya penyerahan kekuasaan yang dihelat di beranda istana ini mengingatkan kita pada Kerajaan Roma, Yunani sampai Persia. Melibatkan tangga, beranda dan dua mahkota. Bukan tradisi republik demokrasi, tetapi SBY mungkin sekadar memperkenalkan optimisme kenegaraan yang kerap kehilangan nilai romantisme selepas gelaran pilpres. Kedengarannya sah-sah saja, Setneg dan Rumah Tangga Istana tentu merasa wajib memenuhi permintaan pemimpin sepuluh tahun itu.

Di Twitter, staf khusus kepresidenan sudah memasang foto banner yang dipadu dari dua foto berbeda. Satu foto, yang di sisi kiri, dicomot dari arsip yang sebelumnya dimuat lewat tweet berjudul “Pergi Tampak Punggung”. Memang foto itu menunjukkan SBY menggandeng tangan istrinya dan pergi menjauh di atas sebuah padang pasir. Tidak jelas di mana, tetapi nuansanya cukup dramatis karena kepala SBY sedang menghadap ke suatu arah di kanan seakan-akan “tujuan baru” sudah dipersiapkan. Foto satunya lagi, ditayangkan dengan jarak beberapa tweet, berjudul “Datang tampak muka”, menunjukkan senyuman mereka berdua saat baru saja tiba di Istana Negara, Oktober 2009.

Twitter @SBYudhoyono memakai pribahasa “Datang tampak muka, pergi tampak punggung” sebagai kalimat perpisahan jabatan kepresidenan dengan sosok SBY sebagai politisi. Dalam buku bahasa, peribahasa ini berarti “Seseorang yang menyambut tugas dengan baik, juga melepasnya dengan baik.” Tunai, dalam artian yang lain, dan tentu saja berharap telah mewariskan sesuatu bagi orang-orang yang melepasnya pergi. Meskipun di sisi lain, tentu SBY juga mengingat badai kritik yang kerap menerpanya selama menjabat, lebih-lebih di periode kedua.

Selama memerintah, mudah dinilai beberapa kebijakan SBY yang menonjol dan paling berkesan. Tetapi jika dirunut ke bidang-bidang strategis, pemerintahan SBY bersama Kabinet Indonesia Bersatu-nya hanya banyak membuat perubahan di tiga bidang: pertahanan dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, dan hubungan luar negeri.

Pembelian tank leopard baru-baru ini menjadi penutup dari rangkaian “bantuan pemerintah” kepada TNI di masa SBY guna memperkuat alat utama sistem persenjataan (alutsista). Kekuatan alat pertahanan Indonesia tidak pernah lebih baik dari era sepuluh tahun belakangan. Sebelum leopard, pemerintah juga menerima hibah 24 pesawat tempur jenis F-16 Fighting Falcon generasi kedua dari Amerika Serikat, dan mencoba mengantisipasi kritik dengan mengembangkan industri hulu ledak dan proyektil senjata dari industri dalam negeri, PT. Pindad. Latar belakang sang presiden tentu banyak berperan dalam analisis kebutuhan militer, meskipun sebagian pengamat menganggap leopard “tidak cocok dengan tanah  tropis kita”.

Di bidang ekonomi, SBY layak dijuluki “Bapak Pertumbuhan Ekonomi”, karena memang prioritas ekonomi di sepuluh tahun kepemimpinannya memperkenalkan Indonesia sebagai “yang tertinggi” dalam hal pertumbuhan ekonomi di Asia, di atas 6% (kini turun di arat-rata 5-8%). Meski angka kemiskinan masih sekitar 35 juta jiwa dan jurang kesenjangan (indeks gini) masih sebesar 0,4%, SBY lewat pidato Nota Keuangan Agustus lalu mengklaim bahwa kemiskinan nasional Indonesia turun sebesar 11%.

Yang menarik adalah, publik kerap lupa bahwa setiap langkah strategis pemerintahan SBY dalam bidang ekonomi tak lepas dari peran sang wapres, Budiono. Pun tidak banyak yang tahu, bagaimana proses berpikir SBY pada 2009 lalu sampai akhirnya memilih sang Gubernur BI sebagai pasangannya dalam memerintah, meninggalkan rekan lamanya Jusuf Kalla untuk bersaing head-to-head dalam pemilu. Cerita keterpilihan Budiono sebagai cawapres SBY kala itu ternyata diungkap Saiful Mujani, direktur sebuah lembaga survei politik ternama.

Kontan lewat laporannya Januari lalu mengungkap panjang-lebar pernyataan Saiful yang mengaku dimintai “masukan teknis seorang pollster” oleh SBY sebelum akhirnya menentukan cawapres untuk pemilu 2009. Waktu itu, jelas Saiful, ia diundang dalam pertemuan empat mata oleh SBY di ruang perpustakaan Puri Cikeas. Oleh SBY, Saiful yang seorang peneliti politik senior dimintai pendapatnya tentang nama-nama yang bisa mengembalikan citra pemerintah setelah terhempas isu kenaikan harga BBM, medio 2008.

Saiful lalu menyarankan SBY memilih tiga nama dari jajaran kabinet atau lingkaran pemerintah terdekat, yang kemudian disurvei publik dengan kriteria-kriteria integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas. Isu BBM waktu itu, tentu saja, memerlukan seseorang dengan pemahaman ekonomi yang kuat. Dari ketiga nama pejabat senior, terpilihlah Gubernur BI Budiono dengan nilai tertinggi dalam semua kriteria yang diajukan. Budiono tentu bukan orang yang vokal dalam politik praktis dan dengan pembawaan Yogya-nya cenderung low profile, tetapi ternyata menembus angka kelayakan sebesar di atas 8/10. Meski di banyak sosialisasi kampanye nama Budiono lantas kerap tenggelam dan hanya sebagai “pelengkap”, tahun-tahun ekonomi berikutnya berhasil dijaga oleh pemerintahan SBY bersama guru besar UGM tersebut.

Angka-angka cemerlang pemerintahan SBY di bidang ekonomi memuluskan langkah diplomatik di luar negeri. Puncak prestasi SBY mungkin adalah terpilihnya Indonesia sebagai anggota tetap G-20, kelompok elit global yang isinya adalah negara-negara ekonomi terkuat. Indonesia tentu saja dipilih karena pertumbuhan ekonomi dan sasaran pasar terbesar megalahkan negara manapun di Asia.

Posisi elit inipun yang membawa Indonesia memimpin banyak forum dunia dan memperkuat posisi tawarnya dalam hubungan luar nenergi. Konferensi APEC yang diselenggarakan di Bali tergolong berhasil, sementara Indonesia juga kerap dihargai pendapatnya terkait isu-isu konflik Timur Tengah. Posisi nonblok Indonesia cukup disegani. Untuk pendelegasian pun SBY layak dipuji karena telah memilih orang yang tepat. Menlu Marty Natalegawa dan Dubes Dino Patti Djalal mewakili diplomat Indonesia yang berhasil menanam pengaruh dan memasarkan Indonesia dalam pergaulan global, termasuk dengan negara-negara adidaya. Meskipun, baru beberapa hari lalu, SBY kembali dikritik setelah melantik 22 dubes baru yang sebagiannya dipandang sebagai “orang dekat yang akan memudahkan urusan”.

Raihan prestasi strategis SBY selama memerintah memang kesannya tidak lengkap. Pemenuhan kebutuhan alat pertahanan nasional (national defense) dikritik karena justru tidak dibarengi dengan perbaikan ketahanan nasional (national resilience), sebut saja ketahanan pangan beras dan gula. Kilau ekonomi masih diguncang kritik pedas atas nilai impor, dari daging sapi hingga garam dapur. Sementara di hubungan luar negeri, Indonesia masih lembek terhadap berbagai kenakalan negara tetangga, seperti Australia yang terungkap telah menyadap keluarga presiden dan para menteri, juga berbagai silang-sengketa dengan Malaysia. Meski begitu SBY kerap menghilang saat dibutuhkan komentarnya. Ia bisa tiba-tiba menjadi silent leader, dan baru menggelar konferensi pers di saat momen sudah lewat atau publik terlanjur menghujat.

Dibayangi pengkhianatan

Wisnu Nugroho, mantan wartawan Istana untuk Harian Kompas yang juga penulis seri buku Pak Beye dan Istananya pernah menuliskan beberapa artikel di Kompasiana terkait “tim hore”, orang-orang yang setia berada di belakang SBY, mengikuti kemanapun sang presiden pergi. Dalam sebuah artikelnya Wisnu menyinggung rajinnya “orang-orang berbaju biru” mendampingi SBY di setiap kunjungan kegiatan. Orang-orang berbaju biru ini, ungkap Wisnu, kebanyakan merupakan komisaris perusahaan, politisi daerah, ada pula yang tak jelas latar belakangnya. Setelah kemenangan SBY pada 2009, sebagian dari para pengikut yang ini mengakui bahwa pintu “jatah jabatan” di berbagai sektor telah terbuka lebar. “(Mudah) untuk mendapatkannya. Sabar saja, Pak Beye tidak akan lupa (membalas budi),” demikian pengakuan satu di antara mereka. Soal kebenaran cerita ini, tentu Wisnu lebih paham.

Sebagaimana laiknya pemimpin politik, SBY dikelilingi para loyalis. Dari menteri, pejabat partai, sampai orang biasa. Beberapa nama pula nampak bersedia mengorbankan jabatan dan hartanya demi sang ketua partai. Ruhut misalnya, sangat rajin mempertahankan SBY lewat media. Ada juga nama-nama Syarif Hasan, Nurhayati Assegaf, sampai I Gede Pasek yang belakangan mulai berpihak pada orang yang pernah dekat, tapi kemudian pengkritik keras SBY, Anas Urbaningrum. Para loyalis ini untuk SBY kerap menjadi senjata.

Tapi namanya senjata, pasti ada efeknya bagi si pemegang. Anas dan Nazaruddin jadi contoh penting, bagaimana loyalis bisa sangat berbahaya. Hanya Anas Urbaningrum yang bisa memaksa sang presiden menggelar jumpa pers “meminta KPK memberi kejelasan”, langsung dari Arab Saudi. Hanya Nazaruddin yang akhirnya membuat SBY berkali-kali merombak komposisi Partai Demokrat yang pelan-pelan terbuka kelemahannya. Di mata SBY, tentu ada lebih banyak nama yang ia cap sebagai “pengkhianat Jika bukan penilaian personal, cap “pengkhianat”  setidak-tidaknya berbicara dalam ruang kontestasi politik.

SBY harus menikmati puncak titian partainya sejak 2004 sampai akhirnya jeblok suara di pemilu 2014. Pun ia harus menerima kenyataan beberapa orang kepercayaannya tersandung kasus korupsi saat menjabat menteri. Jelas tidak mudah, karena semua tindak-tanduk orang sekelilingnya akan berpengaruh pada citra dirinya sebagai pemimpin yang diikuti.

Bahkan sampai lengser pun, SBY masih dibayangi pengkhianatan. Jika bukan karena dorongan Ibu Negara, Bu Ani, maka SBY mungkin jadi lelaki yang lebih reaktif. Ataukah sebaliknya? Tidak jelas juga. Dalam laporan koran Australia The Age yang diterjemahkan Kompas pada 2013 lalu terungkap, ada banyak alasan mengapa “pihak asing” sangat tidak sabar menyadap pembicaraan sang ibu negara. Ibu Ani disebut-sebut ikut memengaruhi kebijakan di kabinet dan partai. Tapi, apakah itu benar? Mungkin publik sudah malas mengurusi.

Hari ini, tidak cuma Jokowi, rakyat Indonesia juga harus melepas SBY dari istana. Sekeras apapun kritik, publik harus mengaki SBY sebagai presiden dengan rentang jabatan terlama ketiga, hanya kalah oleh Suharto dan Sukarno. Ia telah membuktikan bahwa kekuatan ekonomi, hankam dan diplomasi pun sudah bisa mengharumkan nama Indonesia di luar sana, apatah lagi diupayakan di lebih banyak sektor.

Sebagai pemimpin pasca-reformasi, SBY bolehlah berbangga karena telah mewariskan jalan pemerintahan yang berjalan dengan tegak, dan mengakui cacat di sana sini tidak terkecuali pendisiplinan aparat dan upaya pemberantasan korupsi. Kepala bangsa tidak sampai harus tertunduk malu oleh berbagai isu miring, malah kerap dipersatukan oleh kritik dan pujian. Sebagai pribadi manusia, tentu ada banyak momen kebahagiaan yang dirasakan SBY, katakan saja, setiap menemani Ibu Negara menekuni fotografi atau tatkala menimang cucunya Almira. Perjalanan sejarah seperti itu lantas ditulis ke dalam sejumlah buku, tentu sekadar bentuk pengabadian pengalaman. Kerja intelektual yang mesti dihargai selayaknya.

Tunai sudah kerja Sang Fajar dari Pacitan. Semoga sukses. Tidak mengapalah ia mengklaim banyak warisan yang bisa dipelajari anak-cucu kita kelak. Namanya tidak akan tergantikan dari Wikipedia sebagai Presiden Keenam Republik Indonesia, penerus Megawati dan pendahulu Jokowi. Ia kini beranjak pergi dan menampakkan punggungnya dengan jalan tetap tegap, seperti jiwa prajurit yang tak pernah mati. Sebentar lagi ia menjadi prajurit tua. Tetapi seperti ungkapan Amerika, old soldiers never die. Menerka-nerka ke mana ia melangkah, tentu boleh saja. Tapi lebih baik kira mengapresiasi perjuangannya memimpin selama ini. Tagar #TerimaKasihSBY tentu mengandung pesan bahwa masih besar harapan masyarakat untuk masa depan sang pemimpin.

Sah-sah jugalah, kini namanya terang dipakai nama Museum SBY, di kaki Tidar Magelang sana.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun