*
Lewat acara kopdar makan malam dengan sajian Angkringan selepas Nangkring Spesial Bank Indonesia di Yogyakarta awal November lalu, terungkap beberapa rencana inovasi Kompasiana sebagai media warga yang terus mengembangkan diri. Tak tanggung -tanggung, waktu itu admin Iskandar Zulkarnaen menyebutkan sudah ada rencana untuk pengembangan media warga ini hingga setidaknya dua-tiga tahun ke depan.
Peluncuran kartu komunitas berbasis BCA Flazz juga sudah disinggung waktu itu, tak ketinggalan rencana pembentukan kelompok-kelompok daerah yang berwujud akademi Kompasiana. Ada juga kabar bahwa Kompasiana kini mulai membebaskan server ya dari sang induk Kompasdotcom. Di mata saya, Kompasiana sedang tumbuh semakin lebar dan tinggi —yang menguatkan ekspektasi publik yang belakangan ini semakin tinggi. Tapi di sisi lain, mungkin juga langkah- langkah tersebut guna mengantisipasi “geliat” beberapa media pesaing yang kini juga mulai mendapat posisi di mata netizen.
Di sela-sela nangkring siang itu saya sempat berbincang dengan Bapak Ang Tek Khun, seorang kompasianer, juga pegiat bisnis penerbitan yang gemar mengamati media. Menurut beliau, keputusan Kompasiana untuk memiliki server sendiri patut disyukuri. Selain karena menggunakan teknologi komputasi awan (cloud computing) milik sebuah merek internasional, masalah server ini diharapkan memberi sedikit ruang gerak bagi admin TI untuk melakukan perbaikan tanpa melulu nunut supervisi tim induk yakni Kompascom. Akan tetapi, langkah itu bukan tanpa kekurangan.
“Bisnis media itu kejam, ada pertaruhan di dalamnya. Kalau Kompasiana gagal memberi kinerja cukup di segi konten, minat masyarakat terlebih pendapatan finansial, maka Kompascom sebagai induk dapat 'mendepaknya' sewaktu-waktu, sebagaimana terjadi pada banyak unit bisnis Kompas Gramedia lain yang umurnya pendek-pendek,” kurang lebih demikian penjelasan Pak Khun yang cukup membuat saya sampai berseru “Oh iya?”
Pendapat itu tentu bukan tanpa alasan. Saya mengamati, di kelompok Rubrikasi Kompascom sendiri, sejak diterapkannya tampilan antarmuka baru pada 29 April 2011, ada beberapa bagian fitur redaksional yang berubah, katakanlah Citizen Images yang menampung foto-foto kiriman warga dan tautannya sempat terpadu dengan laman 'home' Kompasiana, atau rubrik Oasis yang kerap menampung kiriman tulisan fiksi berupa cerpen dan puisi, kemudian dihilangkan —keputusan yang mengecewakan sang redaktur Jodhi Yudono hingga dibuatkan topik baru 'Catatan Kaki' terbit setiap Rabu/Kamis.
Apakah nasib integrasi dan pemotongan fitur-fitur dan unit kerja seperti itu juga akan berpotensi melempar kepopularan Kompasiana? Sebagai media berjenis user -generated content yang sempat menyabet “Best in Asia”, versi lembaga penilai media WAN-IFRA, dan dengan pertumbuhan jumlah akun hingga 200 setiap hari, nampaknya Kompasiana tidak terlalu dekat dengan risiko seperti itu. Akan terlalu banyak yang dikorbankan. Yang justru menarik perhatian saya adalah potensi beberapa media pesaing yang kini geliatnya makin kelihatan, dengan segmentasi baru dan sebagian inovasi yang luput ditangkap oleh tim Kompasiana. Lalu, siapa saja “para pesaing” itu?
Blogdetik
Kompasiana boleh berbangga karena kadung menjadi laman blog publik yang pertama di Indonesia, di bawah bendera sebuah media jurnalisme terbesar. Predikat “pelopor jurnalisme blog” itu tidak mungkin direbut oleh media manapun. Tetapi Blogdetik, dengan pertumbuhan media induknya Detikcom, mulai memasuki bayang-bayang.
Blogdetik yang resmi meluncur pada 2012 lalu juga membuka kesempatan terbuka kepada siapapun yang ingin menulis dan terbaca secara luas. Jumlah akun anggotanya kini sudah menyentuh angka 1.500, dengan pertumbuhan rata-rata 50 akun setiap hari. Meski nampaknya juga tak melulu fokus pada konten jurnalisme warga, Blogdetik memasarkan platform yang diusung dengan menggelar banyak lomba blog bekerjasama dengan merek-merek ternama. Dengan strategi ini, Blogdetik mulai dikenal sebagai “blog alternatif yang dapat dipakai” setiap gelaran lomba kepenulisan.
Pasangmata
Tak puas dengan platform blog publik mengikuti jejak Kompasiana, Detikcom melebarkan sayap produk jurnalisme warganya lewat jurnalisme fotografi warga. Masih lewat Pak Ang Tek Khun, saya mengetahui nama Pasangmata[dot]com, sebuah aplikasi web/Mobile yang menampung foto-foto bernilai berita kiriman warga. Dengan insentif berupa poin dan bonus penukaran hadiah pada periode tertentu, Pasangmata kini mendaftarkan setidaknya 500 akun aktif dengan aliran foto mencapai ratusan setiap harinya.
Meski masih mengadopsi moderasi konten, Pasangmata punya keunggulan karena mengabarkan berita warga berupa visual yang dapat diakses, dikomentari, dan diapresiasi sewaktu-waktu terutama di jam-jam sibuk. Rubrik bertagar #lalulintas dan #fasilitaspublik merajai konten di jam-jam kerja dan primer. Menurut pengalaman Pak Khun, Pasangmata juga mulai dilirik Pemerintah beberapa kota karena foto-foto aduan warga di sana sering memicu respon cepat dari otoritas terkait. Memanfaatkan melejitnya pemakaian aplikasi berbasis Android dan BlackBerry, saya pikir Pasangmata berhasil memanfaatkan celah “matinya” Citizen Images milik Kompascom.
Indonesiana
Yang menarik, pesang Kompasiana tidak melulu datang dari sepenuhnya pihak luar atau induk media pesaing induk lainnya. Laman media warga berbendera Tempo[dot]co, Indonesiana, kabarnya justru dibangun dan kini dikawal seorang mantan admin TI Kompasiana. Alih ilmu dan teknologi mungkin terjadi, meskipun itu wajar saja dalam persaingan korporasi media dan teknologi. Indonesiana sendiri baru beroperasi efektif akhir 2013 lalu dan kini telah berhasil “membujuk” beberapa penulis Kompasiana untuk mengisi konten di sana. Rubrikasinya menyerupai, terdapat sedikit perbedaan, tapi secara umum sama. Boleh dikatakan bahwa Indonesiana jadi media warga yang paling mirip dengan Kompasiana, selain barang tentu namanya yang juga melekatkan sufiks yang sama.
Seorang teman Kompasianer yang sempat saya ajak ngobrol terkait ini pun merasa bahwa Indonesina punya kelebihan sendiri dibanding Kompasiana. “Tidak berisik! Itu yang jelas,” jawab teman yang tak bersedia disebutkan namanya itu. Menurutnya, Indonesiana terasa lebih nikmat karena jauh dari perdebatan yang tidak perlu, debat kusir atau penghujatan yang kerap terjadi di Kompasiana. Perlu diketahui, saat ini Indonesiana masih membatasi penggunaan kolom komentar dengan alasan yang belum eksplisit. Tetapi kiranya maksud pendapat “tidak berisik” yang dikatakan teman ini sedikit banyak merujuk kesana. Selain itu, saya kira Indonesiana juga tampil lebih segar dan bersih, mungkin karena masih sepi iklan dan atau sengaja dibuat sedemikian rupa agar penulis dan pembaca terasa lebih nyaman dan hening. Kabar terbaru yang saya dengar, Indonesiana juga sedang menyiapkan fitur khusus untuk tulisan-tulisan fiksi, jenis kanal yang kini masih merajai Kompasiana.
Karena citizen journalism atau jurnalisme warga kini bak anggota tubuh baru dari pergerakan industri media, mau tidak mau setiap produk media berita bergelut dengan persaingan menyajikan konten terbaik, terbaru, dengan inovasi yang paling jitu untuk menarik keterbacaan, keterlibatan, serta potensi finansial dalam jangka panjang. Media elektronik pun demikian. MetroTV punya program Wideshot, Liputan6 punya Citizen6, Viva punya Vivalog, Seputar Indonesia dan Transmedia menerima kiriman video warga. Di bisnis blog, bagaimanapun semua bertumpu pada konten.
Meski menuai kritik, saya tetap mendukung Kompasiana menerapkan Verifikasi Biru untuk menguatkan penilaian serta kepercayaan pembaca terhadap konten-konten tulisan. Mengapa? Karena dalam lingkup aktualisasi, bagaimanapun baik Kompasiana sebagai media maupun Kompasianer penulis sebagai penyedia konten sangat bergantung pada aliran informasi dan potensi jalannya bisnis dalam jangka panjang. Konten yang berkualitas mungkin usianya pendek-pendek, tetapi pengaruhnya dapat melekat pada kredibilitas media pendampingnya sampai bertahan-tahun kemudian, tak terkecuali kredibilitas penulisnya yang juga sedang mengembangkan diri. Kompasiana bisa menyambut para pesaingnya ini dengan tangan terbuka, bertarung di atas ring dan disaksikan oleh 130 juta pengguna aktif internet Indonesia.
Seperti kata wartawan senior Pepih Nugraha, “Inventor atau penemu itu sudah tidak ada. Yang ada dan banyak adalah inovator.” Pada akhirnya yang bisa berinovasilah yang akan bertahan.
Kompasiana pun harus rela berkeringat lebih lama dan lebih sering, adminnya pun harus rela tidak tidur berjam-jam demi konten berkualitas. Persaingan memang berat, tapi tentu itulah inti dari pengembangan dan aktualisasi. Ujian terberat Kompasiana bukanlah tiga-empat pesaingnya yang mulai “mencuri hati” banyak Kompasianer untuk hijrah dan menghujat balik, mencibir lewat dinding-dinding Facebook dan menyebarkannya guna mempromosikan platform baru yang dianggap “bisa jadi lebih baik” tanpa jaminan jangka panjang. Menurut saya Kompasiana tidak perlu bersedih hati ditinggal pergi. Karena yang setia pada kualitas dan pembuktian bertahun-tahun masih tegas bersuara dan menjaga. Mereka-mereka ini yang menulis tanpa melihat nama, berbangga karena mempercayai kelemahan, dan mengkritik karena keyakinan.
Di usianya yang masih belia, Kompasiana punya aset jauh melebihi industri media di manapun: para penulis dan penjaga konten. Tanpa moderasi namun dengan aturan tulis-baca-komentar yang ketat. Aturan main lewat terms and conditions bisa diperbaiki dan tampilan harus memenuhi prasyarat kekuatan server yang masih sangat terbatas. Di atas itu semua, Kompasiana harus terus berjalan, menanjak dan bukan jalan biasa-biasa saja. Bertubuh lebih kuat karena ujian akan makin berat. Iskandar Zulkarnaen pernah berujar bahwa Kompasiana saat ini jika dirupiahkan, maka nilainya --jika saya tidak salah ingat-- sudah mencapai angka 500 miliar. Kompasiana punya semangat berbagi dan saling mengilhami yang belum tertandingi.
Semoga ke depan baik Kompasiana maupun orang-orangnya bisa terus saling menguntungkan, merangkai cita-cita kecerdasan bangsa dengan kesederhanaan cara manusia menjalin pertemanan. Dengan ini, Kompasiana bisa makin disegani dunia digital yang tak terbatas ini.
Selamat Kompasianival 2014. Sharing, Connecting.
-------------------------
RALAT 23/11:
Paragraf TUJUH tertulis:
(1) “Blogdetik yang resmi meluncur pada 2012 …”
Seharusnya “Blogdetik yang resmi meluncur pada 2008…”
(2) ” Jumlah akun anggotanya kini sudah menyentuh angka 1.500…”
Seharusnya ” Jumlah akun anggotanya kini sudah menyentuh angka 200.000…”
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H