Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hak

5 Januari 2015   02:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:49 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

“Hei, Dev. Karena kau senang mempelajari gelagat manusia, aku mau tanya sesuatu.”

“Tentu. Tanya saja.”

Dilarang merokok di sini ya? …Ya sudahlah.Jadi begini…

“Selama hampir satu jam terakhir aku merasa melayang-layang terlalu jauh, mungkin karena kita seperti sudah sepanjang malam di atas sini dan mulai kehabisan bahan obrolan. Jadi, aku melihat sekeliling. Seperti seorang penulis yang bernapas dengan matanya, sambil berbicara lewat kerangka pemikiran. Aku mengamati cara orang-orang ini menunjukkan siapa mereka, dari mana mereka, atau mau ke mana mereka. Semua itu…, kalau saya tidak salah pikir, menurutmu bisa dinilai dari penampilan mereka?”

“Penampilan… maksudmu?”

“Ya… bagaimana mereka berpakaian, berpenampilan. Menunjukkan dirinya ke orang-orang.”

“Di satu sisi ya, benar.”

“Di sisi lain?”

“Di sisi lain ya… ada beberapa hal lagi, seperti bagaimana mereka merespon kejadian, ke mana arah pandangnya, atau apa barang bawaannya. Sering kali membaca pikiran seseorang seperti menemukan huruf-per-huruf, kejelasan pemaknaannya tergantung seberapa lengkap kata yang kau temukan.”

“Hm… begitu.”

“Ini soal apa sih?”

“Mm…. Bukan apa-apa. Hanya buah pikiran yang tiba-tiba datang. Menurutku, siapapun ingin menunjukkan sesuatu ke orang-orang lainnya, hanya saja mungkin banyak yang bagaimana cara menunjukkannya dengan benar, atau untuk apa mereka menunjukkan itu.”

“Aku tidak mengerti.”

Terlalu rame sih ya, di sini. Tapi… coba kau lihat perempuan yang bersandar di pagar sana itu. Dia menghadap keluar, anteng tanpa bicara, menaruh tiga tasnya ke lantai, dan menepi sendirian. Ia bahkan mengabaikan bayinya untuk ditenangkan suaminya. Menurutmu, apa yang ada di pikirannya?”

“Aku tidak tahu. Aku tidak membaca pikiran seseorang.”

“Tapi kau juga perempuan. Setidaknya, kau mendapati refleksi. Kuyakin kau pernah akrab dengan polah laku wanita, sedikit banyak menebak-nebak…. Misalnya, masalah apa yang paling sering terngiang di kepala perempuan ketika berada jauh dari rumahnya? Atau, untuk apa ia menyendiri di tengah keramaian… apakah untuk menarik perhatian?”

“Aku tidak berpikir mbak itu sedang mencari perhatian. Caper kan maksudmu? Seperti… biduanita Jawatimuran yang bermimpi jadi artis. Tidak lah, yang ini mungkin sedang ada masalah saja.”

“Yang jelas bukan masalah ekonomi, kalau begitu.”

“Dari mana kau tahu?”

“Sudah kubilang, aku mengamati. Tidakkah kau lihat? Walaupun di luar sini gelap dan mataku sudah berat, aku bisa menyadari betapa menterengnya dandanan perempuan itu. Beberapa laki-laki lain juga meliriknya. Warna pakaiannya cerah. Bajunya berbungkus rompi denim dan celananya gaya Persia seperti laris di toko-toko kelas menengah. Dia pakai kalung warna emas --walaupun belum tentu emas, tapi cukup meyakinkan kalau ia membelinya tidak di sembarang tempat. Jilbabnya diatur sedemikian rupa dengan gaya lilitan layers yang boros. Tidak banyak perempuan di atas sini yang mengenakan dalaman hitam dan luarnya cerah agak longgar begitu. Ia menikmati saja kain-kain di tubuhnya itu diterpa angin. Tasnya juga banyak asesori walaupun mereknya agak ketinggalan dan perniknya kelihatan palsu. Sandalnya pakai hak tinggi. Pergelangan tangannya juga ada gelang emas dan cincin perak. Pendek kata, perempuan ini menikmati kecukupan harta yang paling tidak, untuk dirinya sendiri.”

“Justru itu….”

“Justru itu… maksudnya?”

“Kau mengamati hanya bagian-bagian yang paling menonjol. Coba amati lagi. Mbak itu dandanannya seperti kelas tengah kota. Pakaiannya memang mentereng dan mungkin di atas sini banyak yang iri padanya. Jilbabnya bagus, bajunya rapi, kesannya cerah, perhiasannya berlimpah. Tapi… tidakkah kau amati beberapa paradoks yang tampak dari pemandangan ini?”

“Paradoks?”

“Ya. Sebut saja… Kenapa mbak itu lebih memilih gelang berkilauan ketimbang mencerahkan warna kulitnya. Dari sini wajah mbak itu tidak begitu kelihatan, tapi bedaknya terlalu tebal. Risiko wajah terlalu putih karena bedak, tangan biasanya kelihatan gelap. Dan coba lihat, punggung tangan mbak itu. Bukan cuma gelap, tapi kelihatanya tidak terawat. Cahaya bulan memantul sempurna. Kenapa dia menghiasi pergelangannya dengan emas tetapi tidak merawat kulit tangannya sendiri. Apakah dia lupa? Jelas tidak, mengingat betapa ia memerhatikan detil penampilan. Jadi, kenapa ia mengabaikan dirinya sendiri?

“Kedua, dia begitu menjaga penampilannya tetapi tidak merawat keluarganya. Mbak itu berpenampilan kelas tengah tapi suaminya tetap kelihatan kumal sebagaimana kelas bawah. Si suami jaket kulit sederhana yang sepertinya sudah bertahun-tahun, seperti pekerja serabutan. Celana kainnya juga sudah lusuh, sandalnya seperti hapal jalan keluar-masuk kebun. Dan lagi, coba lihat, bayinya juga berpakaian murahan, kurus. Kedua matanya melotot dan kulitnya seperti sering terbakar sinar matahari. Mereka sediakan dot minum tetapi isinya hanya teh panas. Bukankah itu paradoks, ketika kau bilang… mbak ini seperti sosok kelas tengah?”

“Hm… ya ya. Aku tidak memperhatikan bagian itu.”

“Aku yakin keluarga kecil  ini sering bepergian tapi tetap mengambil transportasi paling murah.”

“Hm…. Tapi, Dev. Menurutmu, apa arti ini semua? Apakah berarti… penilaianku salah?”

“Penilaian apa? Aku belum dengar kau mengemukakan penilaian.”

“Menurutku perempuan itu hanya pamer.”

“Apa salahnya pamer penampilan?”

“Em… Tidak rasional saja menurutku. Menghabiskan begitu banyak uang untuk bungkus tapi isi cenderung diabaikan. Mungkin kebanyakan perempuan memang lebih senang sensasi ketimbang esensi.”

“Aku tidak suka kau ngomong begitu.”

“Ha-ha-ha…. Ya ya, maaf. Aku lupa sedang berdiskusi dengan perempuan. Kupikir kau lebih senang luar-dalam kayak laki-laki begini. Maaaaf! Sekarang, bagaimana penjelasannya?”

Hadeeh. Hakmu berpendapat tidak menghilangkan hak seorang perempuan untuk mencitrakan dirinya. Perempuan juga punya kuasa atas jiwa dan raganya, dan atas kuasa itu mereka berhak memperlakukan dirinya sebagaimana jalan pikiran yang dipercayainya. Lihat, kau menilai dengan sebebas-bebasnya dari tempat duduk ini tapi mbak itu masih setia dengan pegangan pagarnya, dengan pandangannya yang terlempar jauh.”

“Sepertinya begitu.”

“Tidakkah kau baca kisah Kartini?”

“Ouu… Dev, ini terlalu jauh kalau dibandingkan dengan Kartini.…”

“Salah. Justru esensi pemahaman malam ini bisa kita tarik dari cerita-cerita sejarah perempuan yang terkenal itu.”

“Bagaimana?”

Keram, baiknya meleseh saja. Begini. Buku susunan J.H. Abendanon dari hasil surat-surat Kartini yang terkenal, Door Duist…

Door Duisternis Tot Licht.

“Ya… itu. Sebetulnya kan… berisi kegelisahan seorang perempuan dengan sekeliling yang tidak sejalan dengan pikirannya. Apa yang dipelajari Kartini dari buku-buku kiriman Stella dan Rosa Manuela--sahabat-sahabat Belandanya itu--terlampau maju dari realita yang dilihatnya di Rembang. Khayalannya tentang negeri barat lebih banyak mengirimkan nilai citra perempuan yang begitu merdeka dan terlibat dalam peradaban maju. Rasa haus pengetahuan dan naluri muda yang menyadari ‘ketidakberesan’ di sekitarnyalah yang membuat Kartini berontak, nyaris berlayar ke Eropa, jika saja tidak dipatahkan oleh pernikahan di umur belasan. Kalau pernah baca bukunya, bisa kau simpulkan bahwa inti pergolakan batin Kartini atas kungkungan sekelilingnya bukan cuma soal ‘perempuan harus sekolah’, tetapi lebih jauh dari itu: ‘perempuan harus merdeka’.

“Walaupun potret perjuangan Kartini adalah sekolah-sekolah bagi kaum perempuan, itu sekadar medium untuk menjalankan kata-katanya, sekaligus membuktikan bahwa pendapatnya adalah nyata. Hak-hak perempuan yang Kartini ingin lihat pada dasarnya lebih luas dan lebih rumit dari sebatas boleh sekolah dan tidak dipingit. Coba baca surat-suratnya yang bagian adat sowan Jawa. Dia tidak suka kekakuan penghormatan pada wong tuo dalam tradisi istana, walaupun yang hormat dan berlutut padanya adalah adiknya sendiri. Dalam pandangan Kartini, menurut surat-surat itu, perempuan harus bisa memilih, dan mempertanggungjawabkan sendiri posisinya di tengah masyarakat. Perempuan harus secara sadar menjalani hidupnya dan terbebas dari pengaruh memaksa atau aturan yang kolot. Perempuan yang merdeka adalah yang menyadari bahwa hak-haknya terpampang luas, karena merupakan pemberian luhur dari Tuhan.”

“Tapi… soal pakaian…?”

“Kartini juga di banyak catatan sejarah disebut-sebut tidak begitu senang dengan kebaya yang harus dipakainya tiap hari. Ia beberapa kali membahas rok dan topi. Ingin berkuda sambil mengayun polo. Sekarang coba pikir…, mengapa setiap peringatan Hari Kartini justru banyak perempuan dianjurkan pakai kebaya? Itu paradoks lainnya. Eh, itu mbaknya sudah pergi.”

“Oh iya. Hmmm…. Jadi begitu.”

“Perempuan, sebagaimana laki-laki, mewakili keutuhan manusia yang sejak lahir dibekali hak dan kewajiban. Terlepas dari bahasan spiritual, perempuan punya kekuasaan absolut untuk atas hak-haknya di manapun berada. Kebebasan berpendirian atau hak persona, kebebasan berkuasa atas raganya sendiri atau hak properti, juga hak-hak lain yang bahkan diatur secara legal. Alasan mbak itu berpakaian seperti itu, juga tidak terlepas dari hak-hak yang diperjuangkan sejak masa Kartini. Perempuan terdorong untuk berada di garis peradaban yang sama dengan laki-laki. Ilmu pengetahuan, materi, sakwasangka, nama baik, nilai-nilai dasar ini juga ingin diperjuangkan sebagai hak perempuan. Apatah lagi cuma cara berpakaian. Kenapa misalnya, kau mengeritik cara berpakaian mbak di pagar itu tapi malas mengeritik anak-anak punk yang ada di sana itu? Tidak semua dari mereka miskin lo! Banyak yang lahir dari keluarga kaya dan punya kesempatan kaya. Tapi toh mereka memilih berpakaian kotor dan menyeruakkan bau tidak sedap.”

“Itu pilihan hidup.”

“Tepat. Begitu juga perempuan. Memilih menonjolkan citranya dengan caranya sendiri. Baik itu kelihatan sederhana sebagaimana citra madani, atau berdandan menor ala sosialita yang kaya materi tapi miskin hati. Tidak masalah, itu masih dalam lingkup kemerdekaan hak.”

“Lalu, kita biarkan saja pencitraan seperti itu bertahan?”

“Tidak perlu khawatir. Pada akhirnya yang bertahan adalah mereka yang mengirimkan nilai-nilai, yang lebih dari sekadar polesan bingkai. Siklus peradaban akan terjadi. Seperti waktu menit dan jam yang berhasil kita tenggelamkan lewat obrolan hangat ini.”

“Ngomong-omong soal hangat… Aku mau ke belakang.”

“Yang coklat ya, gulanya jangan banyak-banyak.”

“Hee?”

“Susu, Jon.”

“Eh, maaf, Mbak. Lampu toiletnya rusak ya? Eh, ini sandalnya bukan? Tadi terlempar ke sana.”

“Oh, terima kasih Mas.”

“Enggak tersiksa, Mbak? Pakai hak tinggi di atas kapal Ro-Ro begini? Kan…”

“Ini sandal satu-satunya, Mas. Hadiah dari suami. Permisi.”

“Ni, susunya. Tadi, di depan toilet, aku ketemu mbak yang tadi. Yang pakai hak tinggi.”

Wedges maksudnya? Itu bukan hak.”

“Hah? Bukan hak? Maksudnya?”

“Aduh, hak! Heel maksudnya”.

“Ha-ha-ha… dasar! Mestinya sekarang sudah boleh merokok.

“Hmm... ya. Dermaga sudah kelihatan. Halo, Ketapang.”

-----------------------

Sumber Ilustrasi: wallpaperup.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun