Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Untuk Maledo yang Cantik

8 Februari 2015   18:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:36 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

JUMLAHNYA SUDAH tujuh juta delapan ratus enam puluh tiga ribu rupiah. Maledo terbelalak menghitungnya, mengepal dua tangannya ke udara sampai koin-koin yang ukurannya terlalu kecil berjatuhan lewat sela-sela jarinya, berdenting dan menggelinding di atas lantai. Mulutnya menganga, matanya sampai berair. Di bawah cahaya matahari yang menembak miring lewat kerai jendela kamar sempitnya, kertas-kertas duapuluh ribu, sepuluh ribu, dan--yang paling banyak jumlahnya--uang kertas lima ribuan itu akhirnya menghirup udara segar lagi, terbebas dari gelap dan pengapnya celengan babi dari tanah liat yang memenjarakan mereka selama tiga tahun ini. Maledo membuncah senang, bersujud syukur dan memuja Tuhan. Mimpinya sebentar lagi akan terwujud, dan ia akan bebas menyerapahi cermin nanti-nanti.

Di luar kehidupan pasar malam sedang merayap. Panggil-panggilan rezeki tukang balon, gorengan, dan baju sisa impor bersahutan menggaet pembeli. Pasar menggeliat di atas becek langkah-langkah kaki. Suara-suara sumbang kehidupan itu sudah lamat bagi pemilik kamar indekos manapun, tak terkecuali Maledo yang jendelanya hanya bersisian dengan warung rempah. Mak Husin si pedagang terheran-heran dan sesekali menengok ada apa gerangan. Kamar itu seakan bergetar-getar karena goncangan syukur. Di dinding-dinding lapisan kayu yang menyaksikan gadis Ternate bulat berseri menari-nari sore itu, tercoret angka romawi di samping corat-coret lainnya. Ada buklet 99 Cara ke Seoul beserta peta dan kumpulan tips blog. Ada hitungan hari yang coretannya terputus entah kapan, pagar-pagarnya telah hilang. Di dekatnya ada gambar besar dengan foto latar pelabuhan Ulsan, di mana kapal-kapal berteknologi komputer pesanan Asia Tenggara dan Eropa sedang dibuat. Ada foto kecil Gunung Gamalama, ada poster Lee Min Hoo sedang menahan kentut. Tapi yang paling pudar warnanya adalah foto pelabuhan Ulsan itu, pinggirnya sobek dan ada buram bulat di bagian bawahnya. Itu sekadar pertanda saja, Korea Selatan sebegitu dekat sampai si pemilik kamar bisa mencium dermaganya kapanpun ia mau. Meski sejatinya, bagian Korea yang ingin didatanginya ada berpuluh-puluh kilometer dari bibir pantai.

Maledo tiba di tempat kerjanya dengan kebanggaan baru, tidak seperti hari-hari sebelumnya ketika ia sering dirundung malu. Toko MISCHA seluas dua ruko ukuran sedang yang disatukan, dengan cermin menutupi hampir semua dindingnya. Kipas angin berputar-putar kencang dan karena itu kebanyakan kerudung dan manekin diikat dengan karet tambahan. Di toko inilah Maledo mula-mula mendapatkan keinginannya untuk lebih cantik. Ia melayani ratusan perempuan muda, berkaki jenjang, berkulit putih, dan bermata besar yang penampilannya meniru kebanyakan gaya selebritas, tetapi garis wajah dan gestur mereka terpaut terlalu jauh. Tidak seperti mereka yang membalut wajahnya dengan pakaian dan kosmetik tebal hanya untuk menutupi jerawat dan bekas sengatan matahari, Maledo ingin cantik seutuhnya. Ia tidak ingin menutupi jerawat dengan hanya mengandalkan bedak tebal dan lipstik merah menyala. Ia ingin jerawatnya hilang, pipinya kempis, dan matanya besar dengan sendirinya. Puluhan drama seri yang ditonton cukup baginya untuk berpikir bahwa ia sebenarnya punya kecantikan dalam yang luar biasa, yang mungkin hanya akan terlihat jika ia sedikit melancipkan dagunya. Selain itu, rasa-rasanya tiga bulan menguruskan paha dan lengan atas mulai menunjukkan hasil. Badannya tidak seberat dulu, kini hanya kelebihan beberapa kilo.

Di dekat cermin Maledo agak bersolek. Tidak banyak, hanya merapikan garis matanya dan mengganti kancing jilbabnya dengan yang lebih kecil. Dari situ ia bisa lihat lagi gadis-gadis yang begitu bersemangat di belakangnya, mencocokkan rok pada pinggang dan pergelangan kaki mereka. Berjingkrak dan menyengir seperti kuda yang baru saja dimandikan. Uang pasti keluar banyak hanya untuk kecantikan, tapi Maledo masih tidak memahami kenapa perempuan-perempuan remaja seumuran itu sudah berdandan banyak dan malah kelihatan seperti paruh baya yang tidak laku. Tapi apapun pikiran genitnya, ia terus siar-siarkan senyuman. Di cermin, entah  bagaimana matanya kelihatan lebih besar dari biasanya.

“Maledo, layani pembeli!” Manajer toko membentaknya dari kejauhan, “Cermin disediakan untuk pembeli yang memilih, bukan pelayan yang bersolek. Kelak kalau kau sudah kaya, bisa berdandan secantik dan sepuasmu. Tapi sekarang, bekerja! Maledo!”

Maledo menjauh dari cermin, berjalan melayani dua remaja yang baru saja mengubek-ubek tumpukan jilbab dan menarik dua Persia dari dalam sana. Sementara ia membungkuskan paket pilihan tadi, dua pelayan lain merapikan bekas bongkar-bongkaran di keranjang, mengurutkan mereka berdasarkan harga dan ukuran.

“Jangan terlalu diambil hati perkataan si bos.” Pegawai lain mendekatinya. Rini, sahabatnya itu satu-satunya yang akrab dengannya selama ini. Kehangatan pertemanan dan kesamaan nasib adalah faktor yang paling sering menjalin pertemanan. “Biasa…mungkin istrinya juga hari ini banyak menyebalkan jadi dia sedang tidak asyik.”

“Oh…Rini. Ya, aku sudah tiga bulan kerja di sini dan seperti dia tetap seperti itu sejak dulu. Dan aku tahu kau sahabatku yang paling baik.”

“Ha-ha-ha. Iya, kalau sudah sifat ya susah. Ups! Oh, jadi kamu ke…?” Rini mengisyarat sedemikian rupa mengerlingkan matanya ke arah poster model Korea yang tertempel di tiang.

Maledo mengangguk, kemudian dengan agak berbisik, ia menjawab, “Mungkin dua minggu lagi. Tinggal butuh gaji bulan ini, untuk tambahan tiket pesawat.”

“Jadi benar jadi ya…? Kamu sudah yakin mau…” Rini memutar telunjuknya di sekeliling wajah. “Aku dengar orang-orang juga mulai buka di Jakarta, teman-temanku juga mulai cari tahu. Katanya lebih murah setengah harga daripada keluar. Kamu tidak mau coba?”

Maledo tersenyum. “Aku sudah terlanjur niat di tempat aslinya.” Tempat aslinya hanya berarti ia tidak percaya teknologi kecantikan apapun yang dijual di Indonesia. Apalagi untuk urusan yang sebesar ini. Dia pengalaman, banyak jasa tiruan di Indonesia yang mengejar keuntungan semata, menebar kalimat iangklan sensasi yang kosong dan memanfaatkan kebodohan mereka yang terlanjur punya uang.

“Cari yang pasti ya?” Rini melotot sekadar meyakinkan dirinya bahwa rekan kerjanya benar-benar serius dengan perkataannya.

“Ya benar.”

“Hm…. Ya sudah. Kalau aku tidak mengenalimu sekembali nanti, cubit saja ya!”

“Ha-ha-ha, oke… ya. Suaraku masih ini kok besok.”

Rini tertawa lalu pergi. Maledo melemparkan senyum. Sulit mempercayai optimisme seperti yang bersinar di dua matanya, dan halus tersungging di bibirnya. Perempuan ini hanya pelayan biasa, datang dari keluarga pas-pasan, bahkan lari dari rumah untuk pekerjaan “Jawa” yang di banyak dongeng perantau merupakan yang paling memakmurkan. Ia perempuan lajang biasa tetapi punya keinginan luar biasa yang bahkan orang lebih kaya tidak kepikiran mencobanya. Izin tiga minggu sudah dikeluarkan dan Rini siap menggantikan pekerjaannya sementara, jika Master Singh tidak buru-buru kesal dan merekrut pelayan lain.

**

Pesawat AirAsia QZ208 tujuan Seoul berangkat dari Terminal 3 Bandara Sukarno-Hatta dan akan singgah dahulu di Kuala Lumpur selama tujuh jam. Kelelahan dan kehabisan makanan di pagi buta, Maledo memilih tidur di kursi ruang tunggu  KLIA sambil coba menghitung lagi uangnya. Cukup untuk perjalanan seminggu, harapnya, sambil mengingat semoga Mak Husin tidak buru-buru menagihnya dan semoga Rini selalu waspada sehingga suaminya tak tahu kalau ia meminjamkan uang tiga juta pada sahabatnya.

Di luar jendela bandara tak pernah tidur. Radar berputar-putar dan ban di landasan berdecit-decit. Maledo membayangkan betapa manusia ingin membangun kerajaannya dan berlomba demi kekayaan. Ia ingat masa kecilnya bermain lumpur di pagi hari dan menjual kue tepung di sore hari, jauh dari rimba kota dan orang-orang egoistis. Tapi apa yang ia saksikan sendiri punya edisi lengkap dari serpih-serpih cerita dan desas-desus berita diplomatik. Sebagian terminal dipadati cakap-cakap orang Indonesia yang berlalu-lalang--kebanyakan keturunan Tiongkok, bertukar kebanggaan dan menyembunyikan keinginan pamer kekayaan. Mereka begitu bahagia seperti ingin membuktikan bahwa imperialisme tidak langsung dengan travelling dapat mengingatkan bangsa yang besar tentang cerita “masa sulit dulu sebagai minoritas”. Setidaknya gambaran seperti ini meyakinkan Maledo bahwa stereotip terhadap pribumi Indonesia memang tersebar sampai ke mana-mana. Bangsa yang terkenal karena olimpiade IPA-nya, sekaligus laris-manis di pasar pekerja rumah tangga dan imigran gelap yang sebagiannya malas dengan aturan. Yang membatasi hal remeh ini-itu dan membiarkan pelanggaran atas hal-hal penting lainnya. Ia tiba-tiba menyadari dirinya seperti semut di tengah rimba lebah penyengat. Semut pekerja yang kelaparan dan bisa dianggap mangsa kapan saja. Pelukannya pada dua tas semakin erat saat suara pengumuman yang tanpa henti menidurkannya dalam-dalam.

Korea adalah tanah mimpi. Bagi sebagian perempuan Indonesia yang memuja para dewa tampan dengan kulit putih dan dagu lancip, ini benar-benar dunia di luar kenyataan. Bahkan saat benar-benar memasukinya, masih sulit dipercaya bahwa kesenjangan hidup begitu nyata, seperti tidak ada jembatan di antaranya. Meski Maledo pernah membaca bahwa peradaban dan teknologi Indonesia berpaut 29 tahun jaraknya, ia masih tercengang. Ia usap mata sisa tidur lalu mendongakkan kepalanya di jendela begitu melihat pelabuhan Incheon dari udara. Kapal-kapal bermuatan kontainer bertuliskan Daewoo dan Maersk menyemut di laut namun berjajar antre di tiga ujung labuh, lampu-lampu penanda lalu lintas berkedip-kedip di ujung Songdo, kebanyakan kuning dan sebagiannya biru sahir, gugus kecil pulau di Dokdo, sampai gunung… yang membungkuk di kejauhan.

Maledo menyebut “Allah” sampai tiga kali begitu menginjakkan kakinya di terminal, meski ia tahan dirinya untuk tidak bersujud syukur. Dengan dua tas sisa daur ulang dan jilbab konde yang tinggi saja ia sudah begitu mencolok di tengah kerumunan orang kulit kuning yang pucat dan berdandan gelap. Ia rapatkan jaket dan melilitkan syal ke lehernya mengikuti gaya Dewi Sandra di iklan bedak yang menjual nilai absolut “halal” sebagai keunggulan temporer pasar. Kilau-kilau berlian teluk tadi masih terbayang jadi ia ingin cepat-cepat keluar dari bandara. Setelah membuka buklet panduan dan bertanya kepada duaorang Indonesia lain--yang lebih pengalaman soal “Pop Korea”, Maledo memutuskan mengambil lajur keluar kanan daripada kiri. Diantar petugas pelayanan dan seorang staf bus, Maledo lebih memilih naik bus bebas hambatan jalur T1-274 yang akan lewat di atas Incheon Grand Bridge ketimbang kereta cepat yang meniti Yeongjong Expressway di utara, meski selisih biayanya hanya 500 won. Di sisi lain, sebagaimana naluri banyak pelancong, pengalaman sekali seumur hidup jadi kesempatan baginya memanjakan diri dengan pengatur suhu dan keberaturan tempat duduk, minuman penyambut dan pemandu bilingual. Tak apalah menghindari bus ekonomi atau shuttle bandara yang biasanya padat dengan bau parfum Appleton dan Essex bercampur garam keringat.  Kesengajaan yang membantu sejenak melupakan kampung.

Bagian dari distrik Gangnam yang paling sohor dengan klinik bedah plastik berdiri teratur di bantaran selatan sungai Woo, dibatasi jembatan Gongdeok menunju pusat pemerintahan kota Seoul sejauh enam kilometer di utara. Jalan selebar empat lajur itu bersinggungan langsung dengan jalur kereta bawah tanah Deonjong, di tikungan 4th Ave., ruas tol ke Busan di timur, dan jalur kereta ekspres menuju Inchon di timur laut. Distrik Gangnam--yang secara internasional dikenal lewat tarian satirnya, terletak persis di arus lalu lintas Seoul selatan yang stasiun utamanya memadukan Airport Railway Express (AREX) dengan Seoul Metropolitan Subway, hanya bersisian dengan jalan kecil Apgujeong, pusat kesibukan individualis yang oleh koran-koran Barat dikenal sebagai Beauty Belt, sabuk kecantikan.

Maledo tiba dengan taksi di ujung Jalan Apgujeong yang datarannya agak tinggi, membawa serta tas-tasnya dan menaruhnya begitu saja di trotoar di bawah lampu penyeberangan. Ia tak peduli para pejalan kaki yang mengamati dandanan serta jilbab yang meliliti kepala hingga lehernya. Paling tidak ia terbebas dari ocehan sopir taksi yang dalam bahasa Inggris terbata-bata menjelaskan kebanggaannya terhadap Incheon Grand Bridge, mengulang-ulang bahwa jembatan di atas laut itu baru saja selesai tiga tahun terakhir, dan sampai sekarang tidak satupun diperbolehkan memotret dari atas jembatan itu. Mendengar itu Maledo hanya mengangguk-angguk, dan dengan sisa pemahamannya yang cekak ia mengira sopir taksi kulit kuning ini sengaja menyindir perilaku Orang Indonesia di atas jembatan Suramadu, yang seenak-udalnya menepi, memotret bahkan mengambil baut.

Suhu sangat dingin jadi Maledo rapatkan jaket dan zipper sepatunya. Sengatan matahari yang meluncur di paha langit rasanya sangat hangat. Dari tempatnya berdiri ia dapat melihat banyak warna di kedua sisi jalan. Lalu lintas padat tapi justru ia merasa jalan ini sangat hidup. Ratusan pejalan kaki dengan gaya dandan terbaru mereka melewati trotoar di kedua sisi. Rambut-rambut mereka hitam tapi kebanyakan agak kemerahan di pinggirnya. Sepatu-sepatu hak tinggi yang sebagiannya menyekat sampai ke tengah betis, dan jaket blaser berkancing meriah akrab dengan gadis-gadis yang melihat-lihat toko sambil mengecek layar Samsung Galaxy mereka. Di banyak pintu masuk yang terbangun dari kaca dan berfungsi otomatis, orang-orang beragam warna kulit--kebanyakan tetap kuning oriental-- keluar dan masuk klinik. Ada pula beberapa berkulit Afrika dan Kaukasia Eropa yang dikawal sedemikian rupa. Yang masuk datang dengan merunduk dan malu-malu, sementara yang keluar tampak sumringah sambil memegang ujung hidungnya dengan hati-hati, jika tidak sambil menenteng cermin kecil suvenir tambahan. Satu--dua lainnya hanya sibuk berdiskusi dengan rekannya di luar toko. Inilah yang ia bayangkan sebagai surga saat di kamarnya, meski tak ada dermaga atau peti-peti kemas di sini. Jajaran klinik kecantikan yang bahkan televisi Indonesia sekalipun tak kuasa menjelaskannya. Mendadak Maledo merasa lapar, tapi tak satupun kedai kakilima dilihatnya.

Kakinya terseret dengan keraguan. Di ambang elektronik Maledo masih berpikir apakah ia maju atau batalkan saja, kembali ke Indonesia dan membatalkan utang-utangnya. Jika ia masuk sekarang, kemungkinan sisa uangnya tinggal sepersepuluh dan ia harus menanggung utang selama satu tahun. Tapi yang didapatkannya, dagu tirus, pipi yang licin, hidung celestial dan mata belok yang besar. Ia akan menjelma seperti penyanyi latar dan mungkin nasibnya akan berubah di kampung. Mungkin pula jodoh akan membawanya pergi, meneteramkannya dengan tiga anak yang bertirus sama.

Setelah menyebut “Allah” untuk yang ketiga kali, Maledo akhirnya memenuhi rongga dadanya dengan udara dingin dari pengatur suhu, membalas sapaan pelayanan pelanggan yang berbahasa Indonesia berlogat melayu. Klinik JK mengatur segala hal kebutuhan pasiennya, bahkan menyediakan penerjemah dalam bahasa negara-negara yang paling banyak menyumbang devisa. Setelah setengah jam menunggu di lounge antrean dan melahap habis enam lapis tiramisu dan secangkir susu hangat, Maledo berdiri menyambut panggilan namanya. Di dalam ruangan, seorang laki-laki paruh baya, berkacamata dalam balutan jas serbaputih dan sarung tangan hijau lanagsung menyambutnya, memperkenalkan diri sebagai Ching Li, asal Tiongkok, pernah ke Bali tiga kali dan begitu menyukai nasi liwet Solo. Maledo langsung akrab. Dan dokter itu, tanpa basa-basi lebih lanjut langsung memeriksa calon pasiennya dengan pertanyaan-pertanyaan. “Apa yang ingin Anda percantik?” demikian tanyanya melalui penerjemah. Maledo menunjuk hidung, kening, dagu, dan semua yang diinginkannya, menggambarkannya secara rinci bahkan menyebut beberapa nama pesohor K-Pop sebagai acuan. Dokter itu tertawa, “Ya, sering kali memang acuannya penyanyi Korea, tapi saya memerlukan bentuk keinginan Anda sendiri, yang sesuai dengan diri Anda, yang Anda bayangkan sebelum berangkat di Surabaya. Tidak mungkin Anda mencocokkan dagu Anda yang manis dengan Si Won, struktur tulangnya beda.”

“Bukankah itu keahlian Anda, merekayasa muka bagaimanapun bentuk… tulangnya?” gesit Maledo bertanya, lagi-lagi lewat penerjemah.

“Memang benar. Tapi perempuan dan laki-laki punya struktur berbeda, dan paling penting, ukuran berbeda. Kalau ukuran berbeda, maka skala penentuan juga berbeda, dan hasilnya mungkin lain. Bisa saja dagu Anda cantik tapi belum tentu ukuran kening Anda lebih kecil sebagaimana mestinya, karena acuannya laki-laki. Cari perempuan. Siapa… ada banyak.”

Lalu Maledo menyebutkan seorang aktris Korea berusia sembilan belas tahun.

“Ah, kalau itu boleh. Sebentar….” Dokter Li menyeret kursinya dan mengamati wajah Maledo lebih dekat. Ia memegang beberapa tahi lalat dan mulai mencatat, mengukur mata lalu mencatat lagi. Ia minta penerjemah agak menyingkir karena mungkin perbincangan mulai sekarang mulai sedikit. Setelah puas pengumpulkan data, dokter itu menyeret kursi rodanya lagi ke sudut lain ruangan. Di sana ia membuka komputernya, meramban beberapa gambar dari satu nama, lalu mencari hasil rekonstruksi yang rupanya sudah ada di dalam database, tinggal disesuaikan sedikit kemudian diperbesar. Maledo yang mengamati dari jauh mulai bisa membayangkan seperti apa ia jadinya. Oh, sungguh indah dagu dan hidung lancip itu. Rini pasti tidak bisa mengenalinya, dan Tuan Singh pasti berubah lembut hanya karena ia mengedipkan mata. Dokter Li mencetak selembar warna hasil rekonstruksinya, lalu kembali menyeret kursi. Ia angkat gambar cantik itu dan menyejajarkannya sedemikian rupa di samping wajah bulat Maledo. Lampu LED ia nyalakan dan dagunya mulai ia garuk. “Tunggu sebentar, ya.” Dokter itu melangkah ke ruangan lain yang dibatasi dinding kaca. Dari tempatnya duduk Maledo bisa melihat dokter itu sedang menelepon seseorang, menjelaskan sesuatu, lalu mengangguk-angguk menerima petunjuk. Mungkin itu atasannya atau seseorang yang lebih ahli darinya. Saat kembali ke kursi periksa, Dokter Li memberikan beberapa saran.

“Nona Ma,” sebut Dokter tanpa mau repot salah mengeja. “Anda tentu sudah diberitahu tentang risiko yang mungkin muncul setelah bedah plastik.”

Maledo mengangguk mantap. Ia sudah tidak sabar benar ingin naik ke meja bedah dan tidur, untuk bangun melihat keajaiban.

“Nah, kalau begitu saya yakin Anda paham, bahwa untuk mendapatkan kesempurnaan, bedah yang dilakukan harus menyeluruh. Em... maksud saya, jika Anda menginginkan sempurna seperti aktris Joo, Anda perlu lebih dari sekadar bedah dagu, hidung, dan mata.”

Maledo mulai merasakan ada yang tidak beres. “Maksud Anda?”

Dokter itu agak ragu mengatakannya. Bisa saja ia mendapatkan uang lebih dari pasien yang tidak mengerti apa-apa, dan di matanya Maledo kelihatan tidak lebih pintar dari pasien-pasien lain yang membawa segepok uang tapi malas membaca buklet petunjuk teknis. “Begini. Wajah Anda, mewakili kecantikan alami orang Asia. Rupawan, indah, sangat bisa dan mudah dibedah menjadi aktris Korea manapun. Kami, saya…,” dokter merapatkan lima jari ke dadanya. “sudah melayani setidaknya tigapuluh orang Indonesia, dan semuanya puas. Tidak ada keluhan sampai sekarang. Sempurna (kalau benar begitu bahasa Indonesianya). Hanya saja…”

“Hanya saja apa?”

“Saya khawatir tidak bisa melakukan itu pada Anda.” Dokter itu akhirnya berkata lembut, seakan-akan lemas. Ia melipat bibirnya sedikit ke dalam dan sorotan matanya di bawah cahaya berusaha menunjukkan simpati. Penerjemah Melayu di sampingnya sampai terheran-heran karena dokter ini tidak pernah menolak pasien sebelumnya. Penerjemah itu, perempuan paruh baya berkulit langsat, coba mengangkat suara, tapi dokter memberi kode agar ia tidak menyela dahulu. “Anda… Maledo,” kali ini dokter itu mengeja nama pasiennya lengkap. “Sudah sempurna seperti ini. Saya tidak bisa melakukan bedah plastik pada Anda.”

“Tapi…tapi….” Maledo menggeleng keras, memprotes sampai matanya melotot. “Saya sudah menempuh perjalanan jauh kemari untuk ini. Mengapa begitu saja dokter… Tidak bisa. Anda harus membedah wajah saya. Berikan saya kecantikan seperti aktris Joo! Anda ini dokter! Saya bisa meminta Anda dipecat jika…

“Tapi… nona…” Bahkan tanpa mendengar terjemahan dokter itu seakan tahu apa yang dikatakan pasiennya.

“Pokoknya Anda harus!” Maledo makin gesit. Tasnya sampai terjatuh dari tangan.

“Anda tidak akan cantik seperti Joo!” Tiba-tiba dokter itu meluapkan kemarahannya, bangkit dari duduknya sampai kursi roda itu tersorong ke belakang. Penerjemah bangkit dan coba menenangkan, tapi dokter itu merasa tidak perlu ditenangkan. “Tidak apa-apa, May,” serunya kepada penerjemah sambil melepas kacamata dan mengelap keningnya yang dihiasi bulir-bulir keringat. “Nona Maledo… Saya bisa mempercantik wajah Anda, tapi itu belum akan cukup sampai Anda mengubah semua badan Anda. Pinggul, kaki, dada, semua lemak itu harus diruntuhkan. Anda punya uang sebanyak itu?” Dokter itu menghela napas melihat pasiennya hanya mematung dan tercekat dengan kata-katanya.

“Satu hal yang Anda belum mengerti soal bedah plastik adalah…” Dokter itu kembali ke duduknya, dan mengeluarkan beberapa foto sebelum-sesudah dari tigapuluhan pasien Indonesia yang pernah dibedahnya. Ia menyebar foto-foto itu di atas meja, dan mengajak Maledo melihatnya. Penerjemah yang penasaran juga ikut-ikutan mendekat dan mengintip. Di bawah cahaya matahari alami dari jendela, foto-foto itu seakan nyata dan berbicara. Maledo tidak menyadari keanehan yang dimaksud sebelum Dokter Li menunjuk satu foto di sudut ujung paling bawah barisan itu.

“Ini, Nona Maledo, adalah satu-satunya pasien saya yang kulitnya cokelat, sama seperti Anda. Sawo matang. Sedangkan ketigapuluh lainnya, seperti yang Anda lihat, semuanya berkulit kuning langsat, seperti saya.”

Maledo mulai paham perbedaan dasarnya. Ia mulai berpikir diperlakukan rasis, tapi dengan cepat pula ia sadari kalau dokter ini ada benarnya. Yang bikin ia kemudian bergidik adalah bahwa bentuk hasil rekayasa bedah dari “satu-satunya sawo matang” di foto itu, tampaknya seorang pria duapuluhan, adalah bahwa hidungnya menunjuk seperti tanduk rusa dan lehernya terpotong di dua warna kulit berbeda. Sementara di kolase lain nampak yang lebih putih hanya tangan dan ujung kakinya, sebatas apa yang tidak bisa disembunyikan pakaian.

“Pemuda ini bernama Anwar, duapuluh satu tahun.” Dokter Li duduk menjelaskan. “Dia mahasiswa teknik perkapalan di Ulsan dan begitu mencintai Korea seperti rumahnya sendiri. Karena itu ia coba meniru segala rupa agar mirip dengan wajah Orang Korea. Min Hoo, begitu ia ingin kelihatannya, tapi…” Dokter Li terkekeh. “Saya tahu dia bukan anak yang punya segalanya. Kehidupan di Korea begitu keras dan anak itu pernah tidak sengaja menunjukkan kalau uangnya terbatas. Saya lalu menghitung-hitung, dan apa yang bisa kulakukan padanya hanyalah sebatas wajah, leher, tangan, dan betis kaki itu. Saya bahkan membantunya sekitar enam puluh ribu won sebelum saya menyerah. Dia menerima hasil operasinya, tapi anak itu tidak lagi berniat pulang ke negeri asalnya. Saya yakin orangtuanya masih bingung, apa yang membuat anaknya begitu takut dan malu. Sepertinya mereka tidak tahu kalau Anaknya sudah berubah menjadi sesuatu yang lain.”

Keheningan menyelimuti ruangan itu. Penerjemah lalu melihat ke arah Maledo, menunggu kata-kata yang akan dilontarkan lagi pasien yang kebingungan ini. Setelah semenit tanpa kata-kata, Maledo menjatuhkan dirinya ke lantai, hampir lemas, tak berdaya. Penerjemah May dan Dokter Li coba mengangkatnya, tapi badan tamu mereka itu terlalu berat, maka mereka hanya menyeretnya sampai ke kursi berkaki roda. May mengipas-ngipasnya sementara Dokter Li coba memberinya minuman.

Maledo seperti bermimpi. Matanya memicing karena cahaya lampu LED yang menyilaukan. Ia melihat bola-bola kecil yang berbaris memancarkan cahaya itu, dan terus mengira dirinya sudah di pembaringan, dokter sudah memoleskan cairan etanol dan perawat mulai menyuntiknya dengan bius lokal dari pipi sampai telinga. Ia seperti terbaring dalam kondisi bahagia dengan empat dokter bedah plastik sedang mengerjakan tubuhnya, membuatnya cantik seperti Joo dan membisikkannya ketenaran yang didapatkannya begitu kembali ke kotanya. Akan tetapi semua bayangan itu tetiba menjadi sesuatu yang menjemukan, memuakkan. Seperti ocehan sopir taksi yang terus berbicara tentang Incheon Grand Bridge. Maledo terbuai dengan kebingungannya. Ia jadi malas, dunianya menyempit. Negeri ini seperti ingin memenjarakannya, seperti si malang Anwar. Maledo menelan ludah. Ingin bermalam di situ saja, merasakan empuk kasur bedah JK dan menghirup dalam-dalam bau klinik ini.

**

Malam dingin memeluk orang-orang di jalan distrik Gongdeok, yang jaraknya limabelas menit taksi dari JK. Di sini dataran agak tinggi dan orang lebih senang bersantai di rumah. Lalu lintas sepi di jalan ini karena dikhususkan untuk perumahan kalangan menengah. Maledo bersama tas-tasnya, bersandar di sebuah tiang listrik di depan rumah  bertulis angka Korea yang berarti “78”, yang jendelanya besar-besar dan CCTV di atap gerbangnya. Setengah jam lamanya ia berdiri di situ sampai akhirnya seseorang berjalan bungkuk dengan dua tangan menyelip ke saku jaketnya.

“Dokter Li,” sapanya dalam bahasa Inggris terbata-bata.

Pria berjaket itu menoleh, dan meski terkejut karena merasa diikuti, dokter itu kemudian tersenyum. Maledo meremas-remas tangannya sebelum akhirnya mengutarakan kalimatnya. “Kalau boleh saya meminta satu hal terakhir sebelum kembali ke Indonesia, dokter….”

Dokter Li (yang kemudian meminta dipanggil akrab Chen), tak butuh berpikir lama untuk menyanggupi permintaan calon-pasien-namun-batal-nya ini. Ia mendekat dan menepuk pundak Maledo. “Sebelum kuberikan yang kau minta, mari. Aku ingin menunjukkanmu sesuatu.”

**

The Beauty Belt, basically, is a name given by the west, er… journalists.” Dokter Li langsung menawarkan kopi hangat dari mesin vendor saat mereka baru saja turun dari taksi. “Pada 1995, belum banyak klinik kecantikan di Apgujong, di Gangnam. Kebanyakan warung makan, toko kelontong, rice, eggs, potatoes, pakaian belum tren seperti apa yang kalian sebut K-Pop. Semuanya natural, seperti kota-kota di Indonesia.” Dokter Li menyesip kopinya dan tersenyum melihat tingkah Maledo yang kebingungan. Ia lalu mengajaknya menuruni tangga yang membawa mereka menembus jantung jalan, dan berakhir di terminal kereta bawah tanah AREX. “Lihat sekarang. Industri memaksa kami menawarkan cara instan di banyak hal. Pakaian, popularitas penyanyi. Jadi, kau bisa lihat, bedah plastik hanya alat. Dan seperti produk lainnya, ia punya tanggal kadaluarsa. Tapi walaupun mereka tahu itu palsu, betapa mereka memuja-muja kecantikan….”

Maledo ternganga berjalan pelan di depan deretan reklame neon yang memancarkan kecantikan dan ketampanan hasil operasi plastik. Koridor terminal bawah tanah ini selalu dijaga terang jadi meskipun jam padat penumpang telah lewat, segala bentuk periklanan tidak pernah redup. Di sana Maledo melihat mata-mata besar, hidung-hidung tegak, dan bibir-bibir merah muda. Semuanya mirip. Yang perempuan seperti satu cetakan, dan yang laki-laki seperti perempuan. Lebih dari tigapuluh reklame berjajar dan bersaing dengan warna-warna merah muda dan hijau alami (biru adalah lambang kematian di Korea jadi jarang dipakai sebagai iklan). Tulisan-tulisan waspada efek samping dicetak dengan huruf-huruf paling kecil, dan ditempatkan di bawah sampai membentur lis bingkai reklame. Saking ternganga, Maledo terkejut ketika kembali mendengar seruputan kopi dokter Li di belakangnya.

“Dulu aku juga punya klinik sendiri, tapi kemudian tutup. Setelah tahun 2006, keuntungan dari jasa bedah plastik merosot tajam. Empat tahun kemudian kami menyadari bahwa orang-orang asli Korea tidak lagi berminat bedah plastik seperti dulu. Pasar berkurang, saingan bertambah banyak. Sebetulnya itu tanda-tanda awal kelesuan karena kami sebetulnya yakin semua ada akhirnya. Yin akan bertemu Yang. Klinik mengupayakan segala cara agar bertahan, membuat rumah bedah seperti hotel, memberi minuman paling enak, dan menyediakan penerjemah. Aku tidak sanggup membayar itu semua, jadi kupilih bekerja untuk orang lain. Tapi itupun rasanya belum cukup.

“Pemilik klinik berupaya tetap membuka pasar. Jika orang Korea sedang lesu, maka pasar luar negeri pasti masih besar. Kau pernah berpikir kenapa pemerintah Korea begitu gencar menjual video-video K-Pop keluar negeri? Hm… tentu saja itu untuk mendorong bisnis lain, yang menunjang devisa terbesar kami yang sebagiannya merosot di sektor lain. Kemudian setelah orang-orang di Asia begitu mendamba K-Pop, seperti keajaiban, mereka juga mulai berdatangan untuk mengikuti idola mereka. Jadi kelihatan, bedah plastik hanya buah pemasaran jeli, kami para dokter pun masih punya kekhawatiran bahaya efek samping.”

Maledo terheran-heran. “Tapi… kenapa? Bukannya kalian dibayar mahal?”

“Bayaran tidak meruntuhkan logika pengetahuan kami. Ilmu bedah plastik bukan hal yang main-main dan bisa dibayar begitu saja. Meski sekarang kami pasang standar ketat bagi mereka yang mau mengubah wajah, tetap saja kami marah dengan tulisan-tulisan efek samping yang mereka cetak terlalu kecil. Ini seperti tidak menghargai ilmu kami, dan mereka menjual kemahiran kami demi uang, dan devisa. Itu menyedihkan ya, tapi kami butuh penghidupan. Selama pemerintah masih menjual ini di etalase terdepan, kami akan bekerja seperti pelayan, bukan pakar sebagaimana gelar doktor kami. Dan… para pasien tetaplah raja.” Chen mengakhiri penjelasannya itu dengan senyuman. Dan setelah melempar gelas stirofomnya ke tong sampah, dokter baik itu berjalan menaiki tangga. Sungging senum tertangkap dari ujung bibirnya, seperti dadanya dipenuhi kelegaan. “Pulanglah dengan selamat, Nona Maledo. Dan sampaikan salam terbaikku untuk keluargamu. Aku yakin mereka sudah menunggu.”

Maledo menggaetkan dua tangannya, berdiri di tengah-tengah barisan reklame. Tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Sama sekali.

**

Wilayah udara Jakarta, Pelabuhan Banten di bawahnya.


Para penumpang yang terhormat...

Pengumuman radio pramugari membangunkannya dari tidur. Tidur yang rasanya panjang sekali. Pesawat mendarat dengan sedikit goncangan dan Maledo terus mengawasi barang-barangnya di atas sabuk berjalan. Di luar pintu kedatangan, dua perempuan sudah tidak sabar menunggunya. Satunya seorang sopir yang clingak-clinguk menjunjung kertas bertuliskan nama, dan seorang lagi Rini, seorang sahabat yang sengaja jauh-jauh ke Jakarta untuk menjemput dan mengantar mereka pulang.

Maledo menghentikan kaki di dalam terminal, dan duduk mengamati gambar rekonstruksi wajah yang sempat dibuatkan oleh Dokter Li. Andai operasi itu jadi, andai ia menjelma, dan andai uangnya terpakai benar, maka seperti inilah wajah yang didapatkannya. Foto itu seperti nyata, dan ia membayangkan nanti memasang foto itu di kamarnya setelah merobek turun poster Min Hoo.

Ia merogoh sesuatu lagi dari tasnya kemudian mengenakannya. Rini berteriak-teriak saat seseorang mulai mendekat padanya dari kerumunan pendatang yang baru saja keluar dengan sumringah mereka. Akan tetapi sopir mereka tergugu, terdiam dan terheran. Benarkah ini orang yang ia hendak jemput dengan tulisan Nona Maledo di kertasnya? Orang ini berbeda, atau mungkin karena topeng elastis yang dikenakan, menutupi dagu sampai garis rambutnya. Rini berjingkratan. Ia dan sahabatnya berpelukan lama, tapi Maledo tidak mengeluarkan sepatah katapun.

Sampai akhirnya Maledo membuka topengnya, dan memperlihatkan wajahnya yang sama saat ia berangkat berhari-hari lalu. Sahabatnya itu, Rini, tak kuasa menahan senyum, meski perasaan haru dan seribu pertanyaan terdesak di dadanya ingin segera ia muntahkan. Tapi seorang sahabat tidak pernah banyak tanya tanpa diperlukan, maka di situ saja mereka, kembali berpelukan. Maledo menyinggung oleh-oleh sebuah gantungan kunci berbentuk haanbok, tapi Rini hanya tertawa dan tak melepaskan pelukan. Maledo sesengukan. Entah mengapa, tapi ia merasa senang bisa pulang.

--------------

Ilustrasi: Incheon Grand Bridge oleh Skyscrappercity.com/

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun